Syarat Naik Pesawat Berubah-ubah, Industri Penerbangan Gelisah

Regulasi atau aturan penerbangan di masa pandemi Covid-19 ini selalu berubah dalam waktu hitungan bulan.

oleh Pramita Tristiawati diperbarui 26 Agu 2021, 19:30 WIB
Diterbitkan 26 Agu 2021, 19:30 WIB
[Bintang] Pesawat Terbang
Ilustrasi pesawat terbang. (travelandleisure.com)

Liputan6.com, Jakarta Regulasi atau aturan penerbangan di masa pandemi Covid-19 ini selalu berubah dalam waktu hitungan bulan. Perubahan regulasi yang dinilai sangat cepat ini, ternyata dinilai merugikan dunia penerbangan atau aviasi di Indonesia.

Hal tersebut terungkap pada saat Serikat Karyawan PT Angkasa Pura II atau SEKARPURA II menggelar diskusi panel pada Kamis, 26 Agustus 2021 bertajuk 'Saturasi Oksigen Aviasi Indonesia'.

Diskusi panel yang digelar bertepatan di Hari Ulang Tahun (HUT) SEKARPURA II ke 22 Tahun 2021 ini, menghadirkan 2 narasumber, Alvin Lie selaku Pengamat Penerbangan dan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.

Pemeritah diharapkan dapat mengkaji ulang kebijakan atau regulasi terkait pergerakan masyarakat khususnya pengguna transportasi udara dalam masa Pandemi Covid-19.

Dimana, sejak mewabahnya Covid-19 di Tanah Air, regulasi yang mengatur persyaratan bagi masyarakat pengguna transportasi udara khususnya penerbangan domestik sangat cepat berubah. Di awal pandemi, penumpang pesawat diminta menyertakan hasil negatif Covid-19 dengan metode Rapid Tes Antibody, tidak lama kemudian menjadi Swab Antigen.

Alvin Lie juga mengatakan, ada aturan yang terkesan diskriminatif terhadap transportasi udara. Salah satunya adalah persyaratan hasil negatif Covid-19 dengan metode PCR Test dan wajib vaksin bagi penumpang pesawat.

"Dengan regulasi yang diskriminatif ini justru menambah kesan publik bahwa terbang itu tidak aman. Percuma saja menteri pariwisata mempromosikan daerah wisata tapi tidak mempromosikan penerbangan. Padahal daerah-daerah wisata itu membutuhkan tranportasi udara," tuturnya, saat diskusi berlangsung.

Menurutnya, harusnya syarat untuk perjalanan udara disamakan dengan moda transportasi lain. Moda tranportasi yang paling banyak yang digunakan adalah tranportasi darat, tapi justru paling longgar, tidak disiplin.

"Pemerintah juga seharusnya mengapresiasi juga bahwa transportasi udara selama ini paling ketat dan paling disiplin. Juga alat angkutnya ini, sebelum pandemi juga sudah dilengkapi HEPA filter kemudian ada peraturannya penerbangan dibawah 2 jam tidak boleh makan, tidak boleh bicara, harus pakai masker. Ini kok masih ditambahin PCR lagi," jelasnya.

Namun demikian, dia mendukung penuh program vaksinasi yang tengah digencarkan oleh pemerintah.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Diskriminatif

Ilustrasi
Ilustrasi pesawat terbang. (dok. unsplash.com/Asnida Riani)

Senada dengan Alvin Lie, Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan, pemerintah terkesan diskriminatif terhadap sektor transportasi udara yang sangat merugikan konsumen.

"Memang pemerintah tidak seharusnya memberikan satu kebijakan yang diskriminatif pada sektor udara. Karena toh, ketika sektor udara dibatasi dengan ketat khususnya dengan tes PCR dan segala macam kemudian sektor lainnya tidak, mobilitas juga sama saja," ujarnya.

Tulus Abadi mengatakan, adanya kebijakan untuk membatasi mobilitas masyarakat dengan melakukan pembatasan penerbangan tidak mempengaruhi atau tidak membatasi mobilitas masyarakat lain karena pengawasannya berbeda.

Sementara Ketua Umum SEKARPURA II Trisna Wijaya menjelaskan, selama pemberlakuan PCR bagi penumpang pesawat, banyak masyarakat yang urgent dikarenakan kemalangan, keluarga sakit kritis atau urgensi lainnya tidak dapat langsung menggunakan transportasi udara dan harus menunggu beberapa hari.

"Ada 2 hal yang disoroti oleh kami, yang pertama keluhan penumpang terhadap persyaratan penerbangan yang sangat sering berubah. Terlalu mahal, terlalu lama hasilnya, terlalu membingungkan dan keluhan lainnya. Selain diwajibkan vaksinasi, namun juga harus PCR," kata Trisna Wijaya.

Oleh karenanya, dia menganggap, kebijakan terkait persyaratan wajib PCR tersebut ditinjau ulang dan diberlakukan sama antara Jawa-Bali dan Luar Jawa-Bali. Dimana dapat menggunakan Rapid Antigen dan Gnose bagi calon penumpang yang sudah divaksinasi.

Selain itu kata Trisna Wijaya, Bandar udara salah satunya Bandara Soekarno-Hatta yang dikelola AP II, telah mendapatkan banyak sertifikat terbaik penanganan COVID-19 oleh asosiasi internasional seperti dari ACI dan Skytrax.

"Adanya begitu banyak memperoleh penghargaan dari lembaga Internasional, meski di situasi yang sulit dan penuh keterbatasan, sudah seharusnya pemerintah memberikan perhatian," katanya.

Misalnya, meminta Bank Himbara untuk mau memberikan pinjaman, memberikan insentif PSC kembali seperti yang dilakukan di Q4 2020 yang lalu. Kemudian juga memberikan PMN.

"Agar saturasi oksigen kami masih bisa terjaga dengan baik, dan yang terpenting adalah memastikan operasional Bandar udara tetap terlaksana dengan baik," katanya. (Pramita Tristiawati)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya