Liputan6.com, Jakarta Harga minyak Jenis West Texas Intermediate, yang merupakan patokan minyak Amerika Serikat, melewati USD 80 per barel pada Jumat (8/10) untuk pertama kalinya sejak November 2014 karena permintaan yang melambung sementara pasokan tetap ketat.
Dikutip dari CNBC, Sabtu (9/10/2021) patokan harga minyak di AS telah melonjak lebih dari 2 persen atau sebesar USD 80,09 pada Jumat (8/10) sebelum turun di sekitar USD 79,70 di Wall Street.
Baca Juga
Harga minyak mentah Brent, yang merupakan patokan internasional, juga naik 1,7 persen menjadi USD 83,32 per barel.
Advertisement
Diketahui bahwa harga minyak telah melonjak dalam beberapa hari terakhir bersamaan dengan reli komoditas yang lebih luas termasuk gas alam dan batu bara di tengah krisis energi yang melanda Eropa dan Asia.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan membeberkan dampak positif dari kenaikan harga minyak dunia terhadap Indonesia.
"Dari sisi positif, akan adanya kenaikan PNBP di sektor migas, karena biasanya dengan kenaikan harga minyak dunia maka kita (Indonesia) juga akan mengalami kenaikan," kata Mamit kepada Liputan6.com, Minggu (10/10/2021).
"Sisi positif lainnya adalah dengan adanya harga yang naik ini, mungkin diharapkan kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan migas baru," lanjut Mamit.
Terkait dampak perekomonian, dengan harga minyak yang tinggi maka kegiatan pada EOR (Enhanced Oil Recovery) diharapkan bisa terus dilakukan, karena selama ini salah satu isu pada perkembangan EOR adalah masalah perekomonian, menurut Mamit.
"Dengan harga yang sudah cukup bagus, harusnya kegiatan EOR bisa terus tumbuh," jelasnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Dampak Negatif
Sementara untuk sisi negatifnya, hal itu dapat secara otomatis menaikkan harga minyak secara global, termasuk harga MOP atau argus sebagai acuan untuk pemerintah dalam menentukan harga BBM, menurut Mamit.
"Dan pastinya merek-merek BBM swasta pastinya akan melakukan penyesuaian terhadap produk-produk mereka, salah satunya seperti Shell,' kata Mamit.
Untuk Pertamina, Mamit menyebutkan bahwa sepertinya hanya dua produk mereka yang sejauh ini memang diperkenankan naik, yaitu Pertamina dex dan Pertamax Turbo.
"Sedangkan Pertalite, Premium, dan Pertamax sejauh ini Pertamina belum melakukan penyesuaian padahal sebenarnya mereka sudah mengalami kerugian, karena tidak pernah menaikkan harga," beber Mamit.
Disebutkan juga bahwa Pertamina sudah mengalami kerugian yang cukup dalam selama 2021 ini karena harga minyak jauh lebih tinggi dibandingkan pada 2020.
"Terakhir saya hitung, mereka sudah rugi untuk per liternya jenis Pertamax maupun Premium sudah di antara angka Rp 2.500 - 3.000," papar Mamit.
"Saya kira Pertamina bisa melakukan penyesuaian terutama pada jenis Pertamax agar tidak lebih dalam lagi beban usaha mereka," pungkasnya.
Advertisement