Pengusaha Gambarkan Kondisi Menyedihkan Industri Baja Nasional

Kondisi menyedihkan di industri baja karena utilisasi produsen baja nasional saat ini rata-rata baru mencapai 40 persen dari yang idealnya 80 persen.

oleh Tira Santia diperbarui 05 Feb 2022, 18:00 WIB
Diterbitkan 05 Feb 2022, 18:00 WIB
Produk Canai Lantaian dari Besi atau Baja.
Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) melakukan inisiasi penyelidikan perpanjangan pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) atas impor Produk Canai Lantaian dari Besi atau Baja.

 

Liputan6.com, Jakarta Pelaku usaha dalam negeri mengeluhkan kenaikan volume impor baja tahun lalu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan impor baja sebesar 23 persen yang semula 3,9 juta ton pada 2020 menjadi 4,8 juta ton pada 2021.

Data diataslah yang mendasari diadakannya Forum dialog Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) bersama The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) yang membahas masa depan investasi di Industri Baja RI.

Dalam pengantar diskusi, Ketua Umum Bidang Perbankan dan Keuangan BPP HIPMI, Anggawira menyebutkan bahwa tantangan sektor investasi baja nasional harus dihadapi dengan serius.

HIPMI menyayangkan membanjirnya produk baja impor, karena hal ini tentu akan merusak tatanan pasar di Indonesia, dan berdampak negatif terhadap iklim investasi dimana investasi industri baja di Indonesia menjadi tidak menarik.

“Kalau investasi mandeg akan menghambat implementasi pembangunan Cluster Industri Baja 10 Juta Ton Cilegon yang telah dicanangkan pemerintah dan ditargetkan selesai di Tahun 2025. Investasi industri baja yang telah ditanamkan investor baik PMDN maupun PMA hingga saat ini telah mencapai USD 15,2 miliar atau setara Rp 215 Triliun," ujar Anggawira yang juga Komite Investasi di Kementerian Investasi/BKPM RI dikutip Sabtu (5/2/2022). 

"Angka tersebut merupakan nilai investasi yang sangat besar namun sangat disayangkan impor baja tidak dijaga dengan baik sehingga jangankan mencari keuntungan atas investasi tersebut untuk return/balik modal saja tentu akan sulit.” ujar

Wakil Ketua Umum KADIN Bidang Perindustrian, Bobby Gafur Umar menyampaikan kondisi yang menyedihkan yaitu utilisasi produsen baja nasional saat ini rata-rata baru mencapai 40 persen dari yang idealnya 80 persen, ini angka yang tidak terlalu baik dibandingkan industri lain sebagai contohnya keramik. Dengan tingkat utilisasi yang hanya di angka 40 persen investor di industri baja tentu akan berfikir berkali kali.

"Hal lainnya serangan impor juga dilakukan dengan berbagai macam cara oleh para trader, oleh karenanya KADIN berharap agar pemerintah secara konsisten menerapkan peraturan yang ada khususnya untuk mengendalikan impor dan menjaga investasi yang sudah ditanamkan”, ungkap Bobby.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Serbuan Impor Baja

FOTO: Konsumsi Baja Lesu Akibat Pandemi COVID-19
Suasana proyek pembangunan konstruksi LRT dan gedung bertingkat di Jakarta, Selasa (17/11/2020). Pandemi COVID-19 yang terjadi sejak awal tahun menurunkan konsumsi dan utilitas industri baja konstruksi dan baja ringan konstruksi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Senada dengan pendapat tersebut, Ketua Cluster Flat Product Asosiasi Industri Besi dan Baja Nasional/The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA), Melati Sarnita mengatakan Industri Baja masih dihadapkan pada permasalahan utama yaitu impor baja yang masih tinggi.

"Permasalahan yang terjadi dari peningkatan impor adalah impor tersebut mengisi pangsa pasar yang diisi oleh produk baja dalam negeri, sehingga menurunkan tingkat utilisasi industri baja dalam negeri yang saat ini masih rendah yaitu rata-rata hanya 40%. Disamping itu, impor baja yang masuk ke pasar dalam negeri diindikasi banyak yang dilakukan dengan cara unfair trade seperti dumping dan circumvention (pengalihan pos tarif)”, ujar Melati Sarnita yang juga Direktur Komersial PT Krakatau Steel tersebut.

Melati Sarnita juga menyampaikan praktik impor baja yang telah mengganggu kestabilan industri baja dalam negeri serta upaya yang sudah dilakukan untuk mengantisipasinya.

“Kecenderungannya impor yang masuk masih dilakukan secara unfair trade baik dengan harga dumping (predatory pricing) maupun adanya praktik pengalihan kode HS dari baja karbon ke baja paduan (circumvention). Pengajuan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atau Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) baik yang perpanjangan maupun yang baru sudah kita sampaikan, besar harapan kami pemerintah bisa memberlakukan kebijakan trade remedies seperti yang negara-negara lain sudah lakukan”, ujar Melati menjawab pertanyaan salah satu peserta diskusi.

Dalam penutupnya, Melati juga menambahkan terkait upaya pengamanan perdagangan lainnya yaitu technical barrier untuk membendung derasnya produk impor diantaranya penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk baja secara wajib dari hulu hingga hilir yang harus segera diterapkan oleh Kementerian terkait serta mendorong pemenuhan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dengan memperhatikan dari sisi material pada proyek-proyek pemerintah.

 

BMAD

Tata Logam
Ilustraso besi baja.

Djaka Kusumartata selaku perwakilan dari Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menyampaikan kabar baik bahwa salah satu pengenaan BMAD untuk Produk Hot Rolled Coil (HRC) Alloy/Paduan yang diajukan oleh produsen baja nasional saat ini sudah dalam posisi akan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) oleh Menteri Keuangan.

Perwakilan pemerintah yang hadir yaitu Dr. Indra Darmawan (Kementerian Investasi) dan Djaka Kusumatarta menegaskan langkah-langkah yang telah dilakukan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan investasi industri baja.

Baik Indra dan Djaka sepakat forum yang dilaksanakan siang hari tersebut menjadi forum yang sangat bermanfaat untuk mendengarkan masukan dari sektor pengusaha sehingga pemerintah dapat memberikan kepastian hukum.

Forum ini menghadirkan Melati Sarnita (Ketua Cluster Flat Product Asosiasi Industri Besi dan Baja Nasional/IISIA), Bobby Gafur Umar (WKU Bidang Perindustrian KADIN Indonesia), Anggawira, Indra Darmawan (Staff Ahli Bidang Ekonomi Makro Kementerian Investasi), dan Jaka Kusmartata (Analis Kebijakan Madya Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya