Liputan6.com, Jakarta Antrean yang didominasi ibu-ibu rumah tangga mengular di berbagai toko ritel moderen. Ternyata, tujuannya mendapatkan minyak goreng yang dijajakan toko ritel moderen.
Antrean ini terjadi berlarut-larut sejak minyak goreng kemasan dengan harga yang ditetapkan pemerintah Rp 14.000 per liter. Di sisi lain, minyak goreng kemasan bahkan masih berada di angka Rp 18.000-20.000 per liter.
Disamping antrean itu, ada sejumlah ritel yang mewajibkan konsumen minyak goreng membeli produk lainnya. Artinya, ada skema pembelian bundling untuk bisa mendapatkan minyak goreng yang dibutuhkan. Dengan begitu, konsumen perlu merogoh kocek lebih dalam untuk membeli minyak goreng yang dibatasi tersebut.
Advertisement
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno menilai skema bundling yang diterapkan itu dikhawatirkan bisa melanggar undang-undang perlindungan konsumen. Maksudnya, ada pemaksaan kepada konsumen untuk membeli barang diluar yang dibutuhkan.
“Syarat beli bundling itu tidak ada dalam ketentuan, kalau ini kah negative bundling, itu konsumen akan beli tapi dia diwajibkan untuk beli sesuatu lain yang belum tentu dibutuhkan. Artinya konsumen mengeluarkan biaya lebih, ini sesuatu yang negatif, bundling yang itu melanggar dari undang-undang perlindungan konsumen,” terangnya saat dihubungi Liputan6.com Selasa (8/3/2022).
Hal ini melengkapi temuan YLKI di toko-toko ritel kecil yang mewajibkan konsumen membeli sejumlah produk untuk bisa mendapatkan minyak goreng. Di sisi lain, kesulitan masyarakat mendapatkan minyak goreng ini dimanfaatkan pihak penjual.
Namun, Agus menuturkan belum bisa menyimpulkan dugaan adanya penimbunan atau pelanggaran yang dilakukan distributor atau kalangan selain konsumen. Namun, ia mengembalikan, seharusnya pemerintah bisa mengambil jalan tengah dengan menerapkan subsidi tertutup.
“Sejauh ini YLKI belum menemukan, sehingga kita tak bisa menyimpulkan, tetapi kita bisa menyampaikan bahwa apa yang dilakukan saat ini kan pendistribusian minyak goreng subsidi itu terbuka, artinya dijual mulai dari distributor besar sampai minimarket dan pasar tradisional,” paparnya.
Ia menilai dengan skema subsidi terbuka ini memiliki potensi salah sasaran. Artinya, banyak masyarakat ikut mengantre untuk mendapatkan minyak goreng, sedangkan di sisi lain masyarakat yang membutuhkan masih perlu ikut mengantre.
“Kenapa tidak menggunakan sistem tertutup itu yang dilakukan sembako dan BLT. Setiap masyarakat yang berhak untuk tiket dan menebus tempat tertentu,” kata dia.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Sesuai Target
Dengan subsidi dilakukan secara tertutup, artinya penyaluran minyak goreng diharapkan akan sesuai dengan targetnya, yakni masyarakat rentan dan UMKM. Jika masih dilakukan terbuka, akan terjadi penyaluran yang tidak merata.
“Berapa banyak sih masyarakat dengan ekonomi menengah bawah dan ekonomi menengah atas, tentukan siapa sasaran yang bisa terima ini (subsidi minyak),” katanya.
Ia menyebutkan dalam penyampaiannya bisa dilakukan dengan skema yang dijalankan saat penyaluran Bantuan sosial atau bantuan tunai kepada masyarakat yang membutuhkan.
“UKM dan rentan kan jadi sasaran utama. Kita bisa kok mengaca pada penyaluran BLT sembako ketika pandemi awal kemarin itu dilakukan secara tertutup sehingga masyarakat bisa akses bantuan dan bisa merata ini bisa dilakukan seperti itu,” katanya.
Advertisement