Liputan6.com, Jakarta Keputusan pemerintah melalui PT Pertamina (Persero) menetapkan harga Pertamax naik menjadi Rp 12.500 per liter dinilai cukup bijak. Apalagi, di sisi lain harga Pertalite tetap dipertahankan sebesar Rp7.650 per liter.
Dengan keputusan tersebut, dampak kenaikan harga BBM nonsubsidi ini diperkirakan minim karena konsumen Pertamax adalah kalangan menengah atas.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai keputusan menaikkan harga Pertamax lebih kepada pertimbangan agar tidak berdampak terlalu besar terhadap masyarakat, khususnya kelompok bawah.
Advertisement
Bagi sekelompok konsumen, kenaikan harga Pertamax bisa mendorong peralihan (shifting) ke Pertalite. Tapi kelompok masyarakat yang benar-benar mampu tidak akan beralih.
"Mereka lebih sayang dengan mobil mewah mereka," kata Piter melansir Antara di Jakarta, Jumat (1/4/2022).
Menurut Piter, untuk mengantisipasi terjadinya shifting, hanya ada satu yang perlu disiapkan yakni memastikan pasokan Pertalite mencukupi.
Peralihan konsumsi, tidak perlu dilawan karena nanti pada waktunya konsumen akan kembali lagi ke Pertamax. "Jadikan orang miskin naik kelas ke orang kaya," katanya.
Kenaikan harga Pertamax ini hampir tidak ada dampaknya ke inflasi karena Pertamax bukan masuk kantong perhitungan inflasi. Akan tetapi efek berikutnya tetap ada.
Kenaikan harga Pertamax bisa saja mempengaruhi kenaikan harga barang-barang lain walaupun diperkirakan tidak besar.
Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi mengatakan penetapan harga Pertamax mestinya ditentukan oleh mekanisme pasar. Karena itu, harga yang ideal adalah sesuai dengan harga keekonomian.
Saat ini harga Pertamax harus dinaikkan, mengingat harga minyak dunia sempat mencapai USD 130. Jika tidak dinaikkan beban Pertamina semakin berat."Kenaikan harga Pertamax Rp12.500 pada 1 April sudah tepat,” ujarnya.
Picu Inflasi
Dia mengakui kenaikan harga Pertamax memang memicu inflasi, tetapi kontribusinya kecil. Pasalnya, proporsi konsumen hanya sekitar 14 persen. Selain itu, konsumen Pertamax adalah golongan menengah atas yang menggunakan mobil mahal.
“Mereka juga tidak akan migrasi ke Pertalite yang harganya lebih murah karena tidak proper dengan mesin mobil yang rata-rata bagus,” katanya.
Fahmy mengapresiasi sikap pemerintah dan Pertamina yang tidak menaikkan harga Pertalite yang proporsi konsumen mencapai 76 persen. Kenaikan harga Pertalite akan menyulut inflasi dan menurunkan daya beli rakyat.
“Penetapan Pertalite sebagai BBM penugasan juga sangat tepat agar pemerintah dapat memberikan subsidi pada saat tidak menaikkan harga Pertalite,” ujarnya.
Per 1 April 2022 harga Pertamax resmi dinaikkan dari semula Rp 9.000 menjadi Rp 12.500 per liter untuk wilayah Jawa, Sumatera, serta Bali dan Nusatenggara. Untuk wilayah Kalimantan dan Indonesia Timur harga Pertamax naik menjadi Rp12.750 per liter.
Kenaikan harga BBM yang disampaikan oleh Pertamina itu berlaku mulai Jumat (1/4/2022) pukul 00.00 sebagai respons terus meningkatnya harga minyak dunia di atas level 100 dolar AS per barel. Sedangkan Pertalite tidak mengalami perubahan harga tetap Rp7.650 per liter.
Advertisement
Pertimbangkan Kondisi Sosial Masyarakat
Pertamina melalui PT Pertamina Patra Niaga (PPN) menyatakan bahwa penyesuaian harga tidak terelakkan namun dengan tetap mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Karena itu, penyesuaian harga dilakukan secara selektif, hanya berlaku untuk BBM nonsubsidi yang dikonsumsi masyarakat sebesar 17 persen, terdiri atas 14 persen merupakan jumlah konsumsi Pertamax dan 3 persen jumlah konsumsi Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex.
Sedangkan BBM subsidi seperti Pertalite dan solar Subsidi yang dikonsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia sebesar 83 persen, tidak mengalami perubahan harga.
Hal ini merupakan kontribusi Pemerintah bersama Pertamina dalam menyediakan bahan bakar dengan harga terjangkau.
"Pertamina selalu mempertimbangkan daya beli masyarakat, harga Pertamax ini tetap lebih kompetitif di pasar atau dibandingkan harga BBM sejenis dari operator SPBU lainnya. Ini pun baru dilakukan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, sejak 2019," ucap Irto Ginting, Pjs. Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga.