Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menilai, kenaikan harga komoditas seperti batu bara dan minyak mentah justru memberikan kekuatan tersendiri bagi penerimaan negara. Diyakini dengan kenaikan harga komoditas ii akan membuat defisit APBN di tahun ini menjadi lebih kecil.
Kendati begitu, ia tak memungkiri, lonjakan harga komoditas saat ini secara jangka pendek justru berdampak pada kenaikan harga bahan pokok seperti di sektor energi. Sehingga turut membuat pemerintah mengeluarkan kocek lebih untuk memberi subsidi.
Baca Juga
"Kalau harga komoditas masih tinggi? Tentunya itu akan berdampak pada harga energi. Sekarang kan banyak administered price. Ada BBM, listrik, dan gas LPG," ujar Febrio dalam sesi jumpa media secara virtual, Jumat (13/5/2022).
Advertisement
Namun kembali lagi, ia mengatakan, prioritas pemerintah adalah pertumbuhan ekonomi yang dinilai sangat penting untuk menjaga daya beli masyarakat.
"Dengan konteks prioritas tersebut, APBN bertindak sebagai shock absorber. Kenapa kita yakin bisa lakukan, selain punya prioritas tadi, kita punya modal. Dengan commodity price meningkat, penerimaan negara meningkat," ungkapnya.
"Sehingga shock absorber bisa berfungsi efektif, meski challenge untuk tahun ini memang berat," sambung Febrio.
Febrio memastikan, pemerintah sudah punya perhitungan untuk menanggung berapapun kenaikan harga komoditas yang terjadi. Dia menegaskan, APBN bukan hanya cukup kuat menanggung, tapi bahkan akan menurunkan defisit anggaran.
"Pertumbuhan ekonomi terjaga, daya beli masyarakat terjaga, APBN akan absorb shock tersebut. Tapi APBN bisa lebih sehat tahun ini, bisa lebih sehat dari tahun lalu (2021) malah," pungkas dia.
Â
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Waspada, Inflasi di 2022 Bisa Sentuh 8,7 Persen
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara buka kemungkinan inflasi bisa menyentuh angka 8,7 persen pada 2022 ini. Ini merupakan imbas dari scarring effect pasca pandemi Covid-19, ditambah konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina.
Suahasil mengatakan, dampak luka akibat pandemi turut menyebabkan peningkatan harga dan kenaikan angka inflasi. Pemerintah terus berupaya agar lonjakan harga komoditas tidak terlalu tinggi, sehingga proses pemulihan ekonomi bisa berjalan lancar.
"Jadi recovery memiliki hal yang harus kita waspadai. Di tengah-tengah itu lalu tiba-tiba terjadi geopolitik, perang Rusia dan Ukraina. Sehingga yang tadinya kita bayangkan bahwa oke, ada inflasi tapi akan kita tangani, inflasi tersebut tiba-tiba ditambah lagi krisis geopolitik ini," ujarnya dalam Rakorbangpus 2022, Kamis (21/6/2022).
Merujuk rilis IMF, Suahasil menyebut, IMF meramal pertumbuhan ekonomi dunia bakal turun 0,8 persen di 2022, dari sebelumnya 4,4 persen menjadi 3,6 persen.
Â
Advertisement
Proyeksi
Sementara proyeksi inflasi tahun ini bahkan bisa mencapai angka 5,7 persen di negara maju, dan 8,7 persen di negara berkembang. Itu 1,8 dan 2,8 poin lebih tinggi dari yang diperkirakan pada Januari 2022 lalu.
"Inflasi dunia yang tadinya dipikirkan 3,9 persen saja, diperkirakan akan naik lagi 1,8 dan 2,8 poin presentase lebih tinggi. Dan emerging market termasuk Indonesia di dalamnya diperkirakan inflasinya juga akan meningkat," ungkapnya.
Suahasil tak memungkiri, Indonesia tidak bisa lepas dari kondisi geopolitik dunia saat ini. Namun, pemerintah tetap perlu mensiasatinya agar tak berdampak lebih para pada perekonomian nasional.
"Kalau kita lihat inflasi yang meningkat di berbagai macam tempat, kita lihat inflasi ini sudah mulai naik di berbagai negara, termasuk Indonesia. Ini harus kita tangani," seru dia.