Liputan6.com, Jakarta Masyarakat terus menunggu kepastian wacana kenaikan harga BBMĀ atau Bahan Bakar Minyak terus berlanjut.
Muncul prediksi, harga BBM jenis Pertalite akan mengalami kenaikan Rp 10.000 per liter dari yang sekarang sebesar Rp 7.650.
Baca Juga
Ekonom Center of Economics Law and Studies (Celios) Bhima Yudhistira meminta pemerintah mencermati dampak yang terjadi jika harga Pertalite naik. Apalagi pada Juli 2022 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi bahan pangan mencapai 11 persen.
Advertisement
"Kenaikan harga BBM jenis subsidi terutama Pertalite tolong benar-benar dicermati baik-baik oleh pemerintah. Apa kondisi masyarakat miskin saat ini siap hadapi kenaikan harga BBM?," kata Bhima saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Rabu (31/8).
Bhima menuturkan, kenaikan harga Pertalite tidak hanya mengancam masyarakat miskin di Indonesia. Kalangan menengah juga rentan terhadap kenaikan BBM dengan RON 90 ini.
Pasalnya, masyarakat kelas ini sebelumnya memang mengkonsumsi BBM jenis Pertamax. Namun karena harganya naik menjadi Rp 12.500 per liter, mereka pun beralih menggunakan Pertalite.
"Mungkin sebelumnya mereka kuat beli Pertamax, tapi sekarang mereka migrasi ke Pertalite dan kalau harga Pertalite juga ikut naik maka kelas menengah akan korbankan belanja lain," tutur Bhima.
"Yang tadinya bisa belanja baju, mau beli rumah lewat KPR, hingga sisihkan uang untuk memulai usaha baru akhirnya tergerus untuk beli bensin," sambungnya.
Ā
Efek Domino
Konsumsi belanja masyarakat yang berkurang ini bisa menimbulkan efek domino yang lebih luas. Penurunan permintaan barang bisa membuat sektor manufaktur terganggu dan berakhir pada tidak tercapainya target pemulihan ekonomi nasional.
"Permintaan industri manufaktur bisa terpukul, serapan tenaga kerja bisa terganggu dan target-target pemulihan ekonomi pemerintah bisa buyar," kata dia.
Selain itu, kenaikan harga Pertalite bisa meningkatkan inflasi. Jika kenaikan terjadi dengan cepat, serapan tenaga kerja akan semakin terganggu.
Ancaman Indonesia mengalami stagflasi pun tak terhindarkan. "Jika inflasi menembus angka yang terlalu tinggi dan serapan tenaga kerja terganggu, Indonesia bisa menyusul negara lain yang masuk fase stagflasi," kata dia.
Akibatnya, tren pemulihan ekonomi di Indonesia yang sudah berjalan lama ini akan terganggu. Bahkan untuk kembali ke fase pemulihan membutuhkan waktu bertahun-tahun.
"Imbasnya bisa 3-5 tahun recovery terganggu akibat daya beli turun tajam," pungkasnya.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Meski Harga BBM Naik, Masyarakat Masih Ogah Beralih ke Angkutan Umum
Masyarakat Indonesia tengah ketar ketir terhadap rencana kenaikanĀ harga BBMĀ atau Bahan Bakar Minyak yang hampir dipastikan akan diumumkan pemerintah. Kenaikan harga BBM, dipastikan menambah biaya pengeluaran.
Pakar kebijakan transportasi, Djoko Setijowarno skeptis jika momentumĀ harga BBM naikĀ akan mengubah kebiasaan masyarakat beralih ke transportasi publik.
"Tergantung pemerintah, berpikirkah ke sana?" ujar Djoko kepada merdeka.com, Rabu (31/8).
Alih-alih kenaikan harga BBM dijadikan sebagai momentum reformasi untuk transportasi publik, Djoko menyampaikan bahwa DPR bahkan berencana mengurangi subsidi transportasi publik sebesar 60 persen.
Jika demikian, Djoko meyakini polemik transportasi tak akan kunjung tuntas.
Dia pun mengkritisi jumlah kendaraan sepeda motor semakin meningkat tajam. Sebab menurutnya, realita tersebut cerminan ketiadaan upaya pemerintah dalam perbaikan transportasi publik, sehingga masyarakat tidak melulu bergejolak akibat kenaikan hargaĀ BBM.
"Transportasi umum semakin berkurang, kendaraan pribadi terutama sepeda motor melesat populasinya, saatnya membenahi angkutan penumpang berbadan hukum dan angkutan barang," pungkasnya.
Respons Masyarakat
Sementara itu, Nur Rahmah (37) mengakali pengeluaran atas rencana kenaikan harga BBM dengan menukar mobil. Nur sebagai pemilik toko barang kebutuhan rumah tangga dan grosir, menukar mobil berbahan bakar BBM jenis pertamax menjadi mobil berbahan bakar solar.
Mobil merupakan alat transportasi penting sebagai penunjang keberlangsungan bisnisnya. Dalam sehari, Nur menyampaikan harus menyetir ke beberapa rumah pelanggan untuk mengantarkan barang pesanan.
Pengeluaran Nur saat menggunakan pertamax yaitu Rp700.000 untuk 1 minggu. Saat menggunakan solar, pengeluarannya dapat ditekan menjadi Rp500.000.
"Hampir tidak mungkin saya tidak menggunakan mobil," kata Nur.
Ibu dari enam anak ini enggan memanfaatkan jasa ekspedisi untuk mengirimkan barang dagangannya. Alasan utamanya untuk menyenangkan konsumen, menghindari kerusakan barang, dan tak ingin memperkecil keuntungan karena terpotong biaya ongkos kirim.
Ā Ā
Advertisement