Liputan6.com, Jakarta Harga minyak naik sekitar 2 persen pada perdagangan Rabu (Kamis waktu Jakarta). Harga minyak hari ini rebound dari posisi terendah di hari sebelumnya, karena pengawas energi internasional memperkirakan peningkatan peralihan gas ke minyak.
Baca Juga
Dikutip dari CNBC, Kamis (15/9/2022), harga minyak mentah berjangka Brent naik USD 1,61 per barel atau 1,8 persen menjadi USD 94,78. Sedangkan harga minyak mentah AS West Texas Intermediate naik USD 1,89 atau 2,1 persen menjadi USD 89,20.
Advertisement
Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan perlambatan ekonomi yang semakin dalam dan ekonomi China yang goyah akan menyebabkan permintaan minyak global terhenti pada kuartal keempat tahun ini.
Namun, IEA juga mengatakan pihaknya memperkirakan peralihan dari gas ke minyak untuk tujuan pemanasan, dengan mengatakan akan rata-rata 700.000 barel per hari (bph) pada Oktober 2022 hingga Maret 2023 atau naik dua kali lipat tingkat tahun lalu.
Ini bersama dengan ekspektasi keseluruhan untuk pertumbuhan pasokan yang lemah, membantu mendorong pasar. IEA mencatat, persediaan minyak turun 25,6 juta barel pada Juli.
Stok minyak AS naik pada minggu lalu, sekali lagi didorong oleh rilis yang sedang berlangsung dari Strategic Petroleum Reserve (SPR), data terbaru pemerintah menunjukkan.
Stok komersial naik 2,4 juta barel karena 8,4 juta barel dilepaskan dari SPR, bagian dari program yang dijadwalkan berakhir bulan depan.
“Harga minyak mentah menunjukkan bahwa begitu kita mengurangi waktu rilis Cadangan Minyak Strategis, kita akan melihat penurunan substansial dalam persediaan sehingga menjaga minyak tetap tinggi,” kata Analis di Price Futures Group di Chicago.Phil Flynn.
Permintaan Minyak Global
Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada hari Selasa mengatakan permintaan minyak global pada tahun 2022 dan 2023 akan datang lebih kuat dari yang diharapkan, mengutip tanda-tanda bahwa ekonomi utama bernasib lebih baik dari yang diharapkan meskipun ada tantangan seperti lonjakan inflasi.
Pasar sebelumnya diperdagangkan lebih rendah karena kekhawatiran permintaan akibat bank sentral global terus menaikkan suku bunga untuk mengekang inflasi.
Kepala ekonom Bank Sentral Eropa (ECB), Philip Lane, mengulangi janji bank untuk terus menaikkan suku bunga dengan fokus pada inflasi.
"Harga energi yang lebih tinggi tetap menjadi kekuatan pendorong dominan inflasi di zona Eropa," kata Lane.
Laporan inflasi AS yang lebih panas dari perkiraan pada hari Selasa juga menghancurkan harapan Bank Sentral AS atau Federal Reserve yang dapat mengurangi pengetatan kebijakan suku bunganya dalam beberapa bulan mendatang.
Advertisement
Jokowi Minat Beli Minyak Rusia, Pengamat: Harga BBM Turun, tapi Dimusuhi AS
Presiden Joko Widodo atau Jokowi tengah mempertimbangkan segala opsi untuk menahan kenaikan biaya di sektor energi seperti harga BBM. Salah satunya, mengikuti jejak China dan India membeli minyak Rusia.
Namun, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai, pembelian minyak Rusia ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi kebutuhan BBM nasional bisa lebih terpenuhi, namun negara potensi dimusuhi oleh Amerika Serikat (AS) dan Eropa.
Mamit pun menyambut baik rencana Jokowi mendatangkan impor minyak Rusia, lantaran itu bakal lebih memperkuat stok dan harga BBM yang mendapat banyak sokongan subsidi dari pemerintah.
"Saya kira jika opsi berhasil dilaksanakan akan sangat baik kita. Dengan harga yang jauh lebih murah maka akan ada pengurangan biaya produksi untuk BBM kita," ujar Mamit kepada Liputan6.com, Selasa (13/9/2022).
Hanya saja, ia menambahkan, tinggal seberapa besar negara mampu membeli minyak Rusia dari total nilai impor yang ada. Jika mampu besar, maka itu akan signfikan mengurangi beban.
"Dengan demikian ada potensi untuk bisa menurunkan harga BBM. Jika sedikit ya tidak akan signifikan karena impor yang lain nilainya sesuai dengan harga pasar," ungkap dia.
Terlebih, saat ini Indonesia jadi net importir minyak mentah dengan kebutuhan mencapai 1,6 juta barel per hari (BOPD). Sedangkan produksi dalam negeri hanya 620.000 BOPD. "Jadi masih besar sekali nilai impor kita," imbuh Mamit.
Sanksi dari AS
Namun, bila Jokowi jadi mencomot minyak Rusia, maka Indonesia terancam kena sanksi dari negara lain, terutama AS dan sekutunya lantaran dianggap membiayai perang melawan Ukraina.
Padahal di sisi lain, neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat, Uni Eropa dan sekutunya juga sangat bagus.
"Bayangkan kalau sampai kita diembargo oleh mereka, maka akan berdampak besar terhadap perekonomian kita. Bayangkan kita semuanya pakai dollar dan tiba-tiba dolar kita di-freeze, bisa berabe kitanya," tutur Mamit.
Oleh karenanya, ia berharap langkah diplomasi yang dilakukan oleh Kementeria Luar Negeri dan instansi terkait lain bisa berhasil. Sehingga semua akan baik-baik saja, dan Indonesia bisa bebas dari sanksi negara-negara tersebut.
"Jadi potensi penurunan harga bisa terjadi jika benar harganya lebih murah dari harga pasar dan kita bisa mengimpor dalam jumlah yang besar. Jika perlu semua kebutuhan kita impor dari Rusia, asalkan kilang kita bisa mengolah minyak dari sana," bebernya.
"Tetapi rencana ini bener-bener (harus) dipertimbangkan, terutama dari sisi politik dan potensi embargo dari negara lain," tandas Mamit.
Advertisement