Harga Patokan Ekspor Produk Pertambangan Turun di Oktober 2022, Cek Rinciannya

Hampir seluruh komoditas produk pertambangan yang dikenakan bea keluar (BK) mengalami penurunan harga pada periode Oktober 2022.

oleh Tira Santia diperbarui 02 Okt 2022, 18:45 WIB
Diterbitkan 02 Okt 2022, 18:45 WIB
Bak Manusia Emas, Begini Cara Pembuatan Baja di Jerman
Seorang pekerja mengenakan pakaian pelindung mengambil cairan untuk membuat baja di Salzgitter, Jerman (22/3). Baja dibuat‎ dari hasil peleburan pasir besi, batu bara dan kapur dengan suhu di atas 1.000 derajat celciu‎s. (AP Photo / Markus Schreiber)

 

Liputan6.com, Jakarta Hampir seluruh komoditas produk pertambangan yang dikenakan bea keluar (BK) mengalami penurunan harga pada periode Oktober 2022 setelah sempat menunjukkan tren kenaikan harga pada periode sebelumnya.

Tren harga ini dipengaruhi permintaan di pasar dunia yang pada akhirnya turut memengaruhi analisis penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) produk pertambangan yang dikenakan bea keluar (BK) untuk periode Oktober 2022.

Ketentuan HPE periode Oktober 2022 ditetapkan dalam Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 1358 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor Atas Produk Pertambangan Yang Dikenakan Bea Keluar, tanggal 28 September 2022.

“Mayoritas komoditas produk pertambangan yang dikenakan bea keluar mengalami penurunan harga dikarenakan turunnya permintaan atas produk tersebut di pasar dunia," ungkap Plt. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Veri Anggrijono dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (2/10/2022).

"Komoditas yang mengalami penurunan harga tersebut yakni konsentrat tembaga, konsentrat besi, konsentrat besi laterit, konsentrat mangan, konsentrat timbal, konsentrat seng, konsentrat pasir besi, konsentrat ilmenit, konsentrat rutil, dan bauksit yang telah dilakukan pencucian. Sementara itu, harga pellet konsentrat pasir besi tidak mengalami perubahan sebagaimana biasanya,“ lanjut dia.

Produk pertambangan yang mengalami penurunan harga rata-rata pada periode Oktober 2022 adalah konsentrat tembaga (Cu ≥ 15 persen) dengan harga rata-rata sebesar USD 2.974,01/WE atau turun sebesar 0,17 persen; konsentrat besi (hematit, magnetit) (Fe ≥ 62 persen dan ≤ 1 persen TiO2) dengan harga rata-rata sebesar USD 85,04/WE atau turun sebesar 5,70 persen.

 

 

Harga Komoditas Lain

Ilustrasi pertambangan ilegal (Arfandi/Liputan6.com)
Ilustrasi pertambangan ilegal (Arfandi/Liputan6.com)

Kemudian, konsentrat besi laterit (gutit, hematit, magnetit) dengan kadar (Fe ≥ 50 persen dan (Al2O3 + SiO2) ≥ 10 persen) dengan harga rata-rata sebesar USD 43,45/WE atau turun sebesar 5,70 persen; konsentrat mangan (Mn ≥ 49 persen) dengan harga rata-rata USD 223,56/WE atau turun sebesar 1,54 persen; konsentrat timbal (Pb ≥ 56 persen) dengan harga rata-rata sebesar USD 796,49/WE atau turun sebesar 7,06 persen; konsentrat seng (Zn ≥ 51 persen) dengan harga rata-rata sebesar USD 974,23/WE atau turun sebesar 2,17 persen.

Selanjutnya, konsentrat pasir besi (lamela magnetit-ilmenit) (Fe ≥ 56 persen) dengan harga rata-rata sebesar USD 50,78/WE atau turun sebesar 5,70 persen; konsentrat ilmenit (TiO2 ≥ 45 persen) dengan harga rata-rata USD 471,13/WE atau turun sebesar 4,68persen; konsentrat rutil (TiO2 ≥ 90 persen) dengan harga rata-rata USD 1.448,52/WE atau turun sebesar 5,67 persen; dan bauksit yang telah dilakukan pencucian (washed bauxite) (Al2O3 ≥ 42 persen) dengan harga rata-rata sebesar USD 31,37/WE atau turun sebesar 4,69 persen.

Sementara untuk komoditas produk pertambangan pellet konsentrat pasir besi (lamela magnetitilmenit) (Fe ≥ 54 persen) dengan harga rata-rata USD 117,98/WE tetap tidak mengalami perubahan.

Studi Ungkap Aktivitas Tambang Picu Kerugian Besar Hutan Tropis di 4 Negara, Ada Indonesia

Ilustrasi pohon, hutan
Ilustrasi pohon, hutan. (Photo by Arnaud Mesureur on Unsplash)

Penelitian baru mengungkapkan aktivitas penambangan skala industri untuk bahan-bahan seperti batu bara, emas, dan bijih besi memicu deforestasi besar, di mana penabangan hutan dilakukan untuk akses jalan ke area tambang.

Studi yang diterbitkan pada Senin (12/9) di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences mengungkapkan dampak terbesar keberadaan tambang industri terhadap hilangnya hutan tropis terjadi di 4 negara, yaitu Brasil, Indonesia, Ghana and Suriname. 

Dilansir dari Channel News Asia, Selasa (13/9/2022) empat negara kaya hutan tersebut menyumbang sekitar 80 persen deforestasi tropis yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan skala besar dari tahun 2000 hingga 2019, ungkap studi itu.

Sementara setidaknya 70 persen deforestasi dilakukan untuk membuka lahan untuk pertanian, para ilmuwan menyebut pertambangan industri sebagai kekhawatiran karena meningkatnya selera global pada mineral yang digunakan dalam teknologi energi bersih untuk mencegah perubahan iklim.

"Transisi energi akan membutuhkan mineral dalam jumlah yang sangat besar - tembaga, lithium, kobalt - untuk teknologi dekarbonisasi," kata salah satu penulis jurnal, Anthony Bebbington, Ahli Geografi di Clark University di Massachusetts.

"Dibutuhkan banyak perencanaan di pihak pemerintah dan perusahaan untuk mengurangi dampak penambangan terhadap hilangnya hutan," jelasnya. 

Studi menyebutkan jika tambang di seluruh dunia mengekstrak lebih dari dua kali jumlah bahan baku daripada yang mereka lakukan pada tahun 2000.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya