Liputan6.com, Jakarta - Bank Dunia dituding mengeluarkan dana sebesar USD 14,8 miliar atau setara Rp 225,7 triliun ke dalam proyek-proyek terkait bahan bakar energi fosil secara global, pada periode setelah kesepakatan iklim Paris (Paris Climate Accords).
Diketahui bahwa dalam Paris Agreement 2015, para pemimpin dunia berkomitmen untuk membatasi pemanasan jangka panjang hingga 1,5 derajat Celcius untuk mencegah hasil yang menghancurkan bagi kelayakhunian Bumi di masa depan.
Baca Juga
Dikutip dari Channel News Asia, Jumat (7/10/2022) laporan itu disusun oleh koalisi LSM bernama Big Shift Global, berjudul Investing in Climate Disaster: World Bank Finance for Fossil Fuels.Â
Advertisement
Laporan tersebut mengatakan, bahwa pada 2018, Bank Dunia berjanji akan mengakhiri pembiayaan hulu minyak dan gas, sehingga pendanaan langsung pun menurun. Namun, janji itu gagal karena ada pendanaan tidak langsung.Â
Gagalnya janji Bank Dunia, menurut laporan Big Shift Global, terjadi seiring dengan meningkatnya tekanan terhadap Presiden AS Joe Biden untuk membebastugaskan Gubernur Bank Dunia David Malpass.
"Setiap kali Bank Dunia berinvestasi dalam proyek bahan bakar fosil lain, itu memicu lebih banyak bencana iklim," kata Sophie Richmond dari Big Shift Global.
"Tidak ada pembenaran untuk menggunakan uang pembayar pajak untuk memperburuk krisis iklim," ujarnya.Â
Sophie menyebut, salah satu cara Bank Dunia terus mendanai bahan bakar fosil adalah dengan memanfaatkan celah besar, dengan meminjamkan kepada perantara seperti bank atau lembaga keuangan dan dengan bertindak sebagai penjamin jika suatu negara tidak memenuhi kewajibannya.
Proyek terbesar yang dituliskan dalam laporan Big Shift Global adalah Pipa Trans-Anatolia di Azerbaijan, yang didanai pada 2018 sebesar USD 1,1 miliar, dengan Bank bertindak sebagai penjamin. "Ini berfungsi untuk melanggengkan penggunaan gas fosil yang sedang berlangsung di Eropa," demikian laporan tersebut.
Proyek Batu Bara di Indonesia jadi Sorotan LSM Energi Bersih
Selain Big Shift Global, laporan lain yang menjadi sorotan adalah terkait proyek pembangunan dua pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia bernama Java 9 dan 10, di mana Bank Dunia dituding memasok dana tidak langsung sebesar USD 65 juta - meskipun jaringan di Jawa dan Bali sudah mengalami kelebihan pasokan listrik sebesar 40 persen.
"Jelas bahwa pembangkit listrik tenaga batu bara Jawa 9 & 10 yang baru akan membawa lebih banyak bencana dalam hal masalah lingkungan, sosial dan kesehatan, di daerah yang sudah tertutup oleh pembangkit dan industri batu bara," kata Yuyun Indradi dari Trend Asia, LSM yang mempromosikan energi bersih.
Penulis laporan tersebut juga menolak langkah Bank Dunia terhadap gas alam sebagai "jembatan" antara bahan bakar fosil dan energi terbarukan, dengan mengatakan hal itu mengesampingkan investasi yang dibutuhkan dalam energi bersih.
Sementara itu, Bank Dunia membantah laporan-laporan terkait pendanaan proyek yang tidak ramah iklim.
"Kami membantah temuan laporan: Itu membuat asumsi yang tidak akurat tentang pinjaman Kelompok Bank Dunia," demikian penyataan Bank Dunia kepada outlet berita AFP.
"Pada tahun fiskal 2022, Grup Bank memberikan rekor USD 31,7 miliar untuk investasi terkait iklim, untuk membantu masyarakat di seluruh dunia menanggapi krisis iklim, dan membangun masa depan yang lebih aman dan bersih," terang Bank Dunia.
Advertisement
Menko Airlangga Tagih Janji Negara Maju Sumbang Rp 1.427 Triliun untuk Atasi Perubahan Iklim
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mendesak negara maju untuk memenuhi janji memberikan dana USD 100 miliar atau kurang lebih Rp 1.427 triliun kepada negara berkembang. Dana ribuan triliun tersebut guna mengatasi perubahan iklim di negara berkembang.
Hal ini disampaikan Menko Airlangga dalam sambutannya di acara Parliamentary Forum in the Context of the G20 Parliamentary Speaker’s Summit (P20) pada Rabu (5/10/2022).
"Dalam hal ini, saya ingin menggunakan kesempatan terhormat untuk mendesak negara-negara maju, untuk memenuhi janji mereka, untuk memberikan USD 100 miliar pembiayaan iklim kepada negara-negara berkembang," kata Airlangga Hartarto.
Indonesia berkomitmen dalam menanggulangi perubahan iklim. Upaya ini tengah ditempuh Indonesia demi mencapai target penurunan emisi hingga hingga Net Zero Emission (netralitas karbon) yang ditargetkan akan tercapai di 2060.
Untuk mitigasi perubahan iklim, Pemerintah Indonesia akan terus mengurangi deforestasi, memulihkan speedline dan reboisasi. Pemerintah juga akan menerapkan sistem teknologi canggih dalam amonia biru, terutama di industri logam menengah dan juga memajukan rencana yang lebih ambisius untuk pembiayaan yang lebih hijau dari dalam negeri.
"Transisi energi adalah salah satu yang harus berkelanjutan dan kontributif bagi masyarakat. Indonesia selama G20 ini telah berupaya untuk transisi energi melalui teknologi seperti pemanfaatan penyimpanan co-firing, pembangkit listrik tenaga batubara dengan amonia biru serta model pembiayaan untuk menghadapi out of coal, dan pembangkit listrik," ujarnya.