Revisi Aturan Produk Tembakau Diminta Libatkan Pengusaha

Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang sedang digodok

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Okt 2022, 15:44 WIB
Diterbitkan 11 Okt 2022, 15:40 WIB
20160119-Buruh-Tembakau-AFP
Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau memproduksi rokok kretek di Malang Jawa Timur, (24/6/2010). (AFP/AMAN RAHMAN)

 

Liputan6.com, Jakarta Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang sedang digodok Kementerian Kesehatan.

Sayangnya, dalam penggodokannya ini disebut tanpa melibatkan pengusaha tembakau. Atas dasar itu, dinilai melanggar prosedur hukum yang berlaku karena tidak adanya partisipasi yang bermakna seperti diamanatkan oleh Undang- Undang.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Airlangga Gitadi Tegas Supramudyo menjelaskan keterlibatan pemangku kebijakan dalam penyusunan kebijakan publik diperlukan agar regulasi yang diterbitkan komprehensif. Hal ini bukan hanya formalitas belaka melainkan memang diwajibkan oleh Undang- undang.

“Regulasi pengendalian tembakau yang saat ini dijalankan melalui penerapan PP 109/2012 memang merupakan domainnya Kementerian Kesehatan, namun untuk menjamin komprehensivitas serta efektivitas regulasi, keterlibatan para pemangku kebijakan regulasi perlu dilibatkan. Jika tidak, regulasi tidak akan efektif,” ungkapnya kepada wartawan, Selasa (11/10/2022).

Polemik terkait revisi PP 109/2012 kembali mengemuka setelah Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (KemenkoPMK) menggelar uji publik pada Juli lalu. Pada uji publik ini, hanya segelintir pelaku IHT yang turut diundang, peritel mengaku tak pernah dilibatkan sekalipun dalam pembahasan revisi.

Uji publik tersebut juga dihadiri oleh Wakil Menteri Kesehatan, Dante Wibowo yang menyebutkan poin- poin usulan revisi PP 109 Tahun 2012 termasuk perbesaran gambar peringatan kesehatan menjadi 90 persen, dimana saat ini luasannya mencapai 40 persen. Tidak ada Kementerian lain yang turut diundang pada uji publik tersebut, selain Kementerian Kesehatan.

 

Ancam Penerimaan Negara

Ilustrasi kenaikan cukai rokok (Liputan6.com / Abdillah)
Ilustrasi kenaikan cukai rokok (Liputan6.com / Abdillah)

Gitadi menambahkan, jika Kemenko PMK dan Kementerian Kesehatan memaksakan revisi regulasi terbit, mata rantai IHT bakal terancam. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap pendapatan negara. Terlebih cukai hasil tembakau menopang hampir 10 persen pemasukan negara.

“Kementerian Kesehatan harus melibatkan pelaku kepentingan mata rantai tembakau, terlebih dalam implementasinya regulasi tersebut juga harus dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Indonesia memiliki mata rantai IHT yang panjang tidak seperti negara lain. Nah, ini sulit dilakukan di Indonesia terlebih pemerintah juga masih mengandalkan pemasukan dari cukai tembakau,” paparnya.

Oleh karenanya, untuk mewujudkan kebijakan publik yang komprehensif, Gitadi menyarankan Kementerian Kesehatan untuk melakukan pemetaan pemangku kebijakan yang terpengaruh atas revisi PP 109/2012 secara menyeluruh.

 

Wajib Dilakukan

20160930- Bea Cukai Rilis Temuan Rokok Ilegal-Jakarta- Faizal Fanani
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Roberia secara terpisah menjelaskan bahwa kajian sekaligus analisis dampak regulasi merupakan prosedur wajib untuk dipenuhi dalam penyusunan kebijakan-kebijakan nasional. Hal ini merupakan prosedur yang berlaku untuk semua jenis usulan kebijakan, tidak terkecuali tentang tembakau.

“Kajian dan analisis itu wajib dan sudah menjadi prosedur tetap (Protap) dalam setiap penyusunan kebijakan. Tidak boleh jika tidak ada kajian dan analisisnya. Mau peraturannya hanya 10 halaman, 20 halaman wajib ada kajian dan analisisnya,” ungkap Roberia.

Lebih lanjut, ia juga menjelaskan bahwa analisis dan kajian tersebut juga perlu disusun lintas kementerian. Terkait revisi PP 109/2012, ia mencontohkan bagaimana Kementerian Kesehatan perlu berkoordinasi menyusun analisis dan kajiannya misalnya bersama Kementerian Pertanian, sebagai pihak yang mengatur tata laksana perkebunan tembakau.

“Terkait zat Adiktif ini bukan hanya Kementerian Kesehatan, juga ada Kementerian Pertanian karena dia yang menanam tembakau, dia yang mengatur penanaman tembakau di pertanian. Begitu proses penyusunan kebijakan dibuat dalam peraturan perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM diajak dan akan memimpin prosesnya,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya