Liputan6.com, Jakarta Musim kemarau yang panjang atau El Nino diperkirakan akan mencapai puncaknya di bulan Agustus mendatang. Kemarau panjang tersebut bisa menyebabkan kekeringan di berbagai daerah, sehingga dapat berdampak pada produktivitas sektor pertanian. Untuk mengatasi dampak dari El Nino, kehadiran program-program strategis dari Kementan sangatlah penting.Â
Menurut Pengamat Pertanian sekaligus Wakil Dekan Fakultas Pertanian dari Universitas Brawijaya (UB) Malang, Dr. Sujarwo, langkah pemerintah untuk mengantisipasi persoalan ini sudah cukup tepat. Dalam hal ini, Kementan telah menjalankan berbagai program antisipasi kekeringan. Mulai dari pembangunan embung, waduk, rehabilitasi irigasi, hibah pompa hingga asuransi pertanian.Â
Baca Juga
Dr. Sujarwo mengatakan, El nino akan berdampak pada penurunan curah hujan di Indonesia. Jika terjadi, tentunya berpotensi pada penurunan suplai air yang dibutuhkan sektor pertanian.Â
Advertisement
"Dalam sistem produksi pertanian, kekurangan air akan menghambat proses metabolisme tanaman yang berdampak pada penurunan produktivitas sampai pada kegagalan panen. Situasi ini tentunya sangat merugikan bagi petani dan juga ketahanan pangan nasional," kata Sujarwo, dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Selasa (15/5).
Provinsi Berpotensi Kekeringan
Mengutip data BNBP pada Maret 2023, Sujarwo mengatakan terdapat 11 Provinsi yang berpotensi kekeringan dengan curah hujan rendah, yaitu provinsi Aceh, Bali, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, NTT, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi tengah, dan Sumatera Utara. Padahal, Jawa Timur dan Jawa Barat adalah dua Provinsi besar penopang produk pertanian nasional. Hal tersebut tentu perlu diwaspadai Bersama.
"Dari sisi produksi pertanian, hampir pasti ini akan terancam terjadi penurunan, dan berdampak pada pergerakan harga produk pertanian, yang meningkat bukan karena tarikan demand tapi karena efek penurunan produksi (supply side). Penurunan harga ini akan memukul konsumen, pada saat produksi petani juga tidak terlalu bagus," jelasnya.Â
Sehingga, sambung Sujarwo, baik masyarakat sebagai konsumen maupun petani sebagai produsen, tidak menjadi lebih baik keadaannya akibat efek yang ditimbulkan El Nino tersebut.Â
"Ini artinya, secara keseluruhan efek El Nino akan mengancam kesejahteraan masyarakat," tegasnya.
Program Kementan dan Asuransi Pertanian
Program pembangunan embung, waduk, rehabilitasi irigasi, hibah pompa hingga asuransi pertanian yang kini terus berjalan merupakan langkah yang cukup tepat untuk mengantisipasi ancaman kekeringan dan el nino.
"Adanya waduk atau embung adalah hal yang baik dalam meningkatkan daya tampung permukaan atas air hujan yang turun. Rehabilitasi saluran irigasi juga penting, karena meningkatkan efektifitas dan efisiensi distribusi air sehingga tidak banyak yang hilang dalam pendistribusian air ke lahan-lahan pertanian," paparnya.Â
Sementara, lanjut Sujarwo, untuk program Asuransi Pertanian adalah suatu hal yang lain. Asuransi pertanian adalah upaya mitigasi atas risiko dihadapi yang berpotensi pada kehilangan yang besar. Maka, petani yang peduli atas hasil usaha taninya akan cenderung membeli asuransi untuk menjaga agar potensi kehilangan tidak terlalu besar.Â
"Hal ini dikarenakan adanya coverage dari asuransi atas kegagalan produksi yang sangat mungkin terjadi. Apa-apa yang dilakukan pemerintah itu sangat baik dalam upaya mitigasi potensi negatif El Nino," kata Sujarwo.
Advertisement
Pengembangan Teknologi Produksi Pertanian
Sementara itu, dari sisi lain seperti teknologi produksi, Sujarwo mengingat perlu terus diupayakan jenis-jenis tanaman yang mampu bertahan pada situasi air rendah. Menurutnya, Inovasi menjadi kunci untuk perbaikan Teknik budidaya pada berbagai lingkungan yang berbeda.Â
"Selain itu, tentu menjadi penting untuk mengembangkan teknologi produksi berbasis laboratorium terkontrol (precision agriculture) dan penggunaan Artificial Intelligence (AI) untuk membangun sistem produksi sustainable tanpa pengaruh lingkungan luar dan perubahan cuaca," Jelas Sujarwo.Â
Oleh karena itu, sebagai negara tropis, lanjut Sujarwo, pertanian konvensional membawa keberkahan tersendiri dengan sistem produksi yang sederhana dan daya dukung produksi yang melimpah, sehingga memungkinkan biaya produksi yang jauh lebih murah dibandingkan dengan sistem produksi berbasis AI dan laboratorium terkontrol.Â
"Namun demikian, ancaman climate change dan hama penyakit yang semakin tinggi, maka alternatif-alternatif sistem produksi dikembangkan, salah satunya precision agriculture – berbasis laboratorium terkontrol, menjadi alternatif perlu dikembangkan secara bertahap dan berkesinambungan. Hadirnya anak-anak muda pertanian yang melek teknologi menjadi titik kritis dalam hal ini," pungkasnya.
Â
(*)