Liputan6.com, Jakarta Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno, menilai musibah Kapal Motor Penyeberangan atau KMP Royce 1 terbakar di alur Penyeberangan Merak, Provinsi Banten, ke Bakauheni, Provinsi Lampung, Sabtu (6/5/2023), seharusnya menjadi momentum untuk sungguh-sungguh membenahi transportasi penyeberangan secara menyeluruh, agar keselamatan dan layanan lebih terjamin.
"Carut marut pengoperasian transportasi penyeberangan di negeri ini harus segera diakhiri, jika musibah seperti KMP Royce 1 tidak akan terulang kembali," kata Djoko, Kamis (18/5/2023).
Padahal, kata Djoko, regulasi untuk membenahinya sudah ada sejak lama dan infrastruktur pendukung sudah tersedia, tinggal menanti nyali untuk membenahinya.
Advertisement
Sejumlah regulasi berikut ini akan menjadi patokan untuk membenahi transportasi poenyeberangan. Diantaranya, PM Nomor 115 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengangkutan Kendaraan di Atas Kapal.
Dalam pasal 3 (1) menyebutkan setiap pelabuhan yang digunakan untuk mengangkut kendaraan dengan menggunakan kapal harus menyiapkan alat timbang kendaraan di area pelabuhan, untuk menimbang kendaraan sebelum diangkut di atas kapal.
Setiap kendaraan yang akan diangkut di atas kapal wajib dilengkapi informasi mengenai jenis dan berat muatan termuat dalam Pasal 5 (1). Sementara di Pasal 8 (1), menyebutkan perusahaan angkutan di perairan bertanggungjawab terhadap keselamatan dan keamanan kendaraan beserta penumpang dan/atau barang yang diangkutnya.
Untuk kendaraan di atas kapal diatur dalam Pasal 17, yaitu kendaraan harus ditempatkan memanjang (membujur) searah haluan atau buritan kapal dan tidak boleh melintang kapal; ruang penempatan kendaraan harus steril dari adanya penumpang selama pelayaran; jarak kendaraan dengan dinding kapal harus sedemikian rupa, sehingga tidak boleh menutupi kran atau katup pemadam kebakaran dan akses jalan orang; dan mesin kendaraan harus dimatikan, perseneling dan rem tangan harus diaktifkan serta semua kendaraan harus diikat (lashing) dengan alat lashing yang sesuai dengan jarak dan kondisi cuaca pelayaran serta roda kendaraan harus diganjal.
"Melihat aturan di atas, nampaknya pelabuhan penyeberangan di Indonesia belum ada yang memiliki alat timbang kendaraan. Sangat berisiko dan akan merugikan perusahaan angkutan jika terjadi musibah kecelakaan di perairan," ujarnya.
Oleh sebab itu, secara bertahap harus diadakan alat penimbangan itu di pelabuhan penyeberangan. Jika tidak memenuhi aturan itu, penyelenggara pelabuhan berhak menolak kendaraan untuk masuk ke kapal.
Â
Â
Selanjutnya
Selanjutnya, PM Nomor 62 Tahun 2019 tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Penyeberangan, yang mengatur adanya informasi atau himbauan antara lain memuat dilarang merokok, dilarang menghidupkan mesin kendaraan selama pelayaran sampai pintu ramp dibuka kembali, dilarang membuang sampah ke laut, dilarang bersandar di reling, dan pemberitahuan ketika kapal akan berlayar dan sandar.
Pasal 6 PM Nomor 25 Tahun 2016 tentang Daftar Penumpang dan Kendaraan Angkutan Penyeberangan, menyebutkan pengemudi kendaraan wajib menyampaikan informasi kepada penumpang mengenai larangan penumpang berada dalam kendaraan selama pelayaran.
Pasal 5 PM 30 Tahun 2016 tentang Kewajiban Pengikatan Kendaraan pada Kapal Angkutan Penyeberangan, menyatakan jarak antara salah satu sisi kendaraan sekurang-kurangnya 60 cm; jarak antara muka dan belakang masing-masing kendaraan sekurang-kurangnya 30 cm, dan untuk kendaraan yang sisi sampingnya bersebelahan dengan dinding kapal, berjarak 60 cm dihitung dari lapisan dinding dalam atau sisi luar gading-gading (frame).
Pasal 9 PM Nomor 45 Tahun 2012 tentang Manajemen Keselamatan Kapal*. Setiap perusahaan harus mengembangkan, melaksanakan dan mempertahannkan sistem manajemen keselamatan yang mencakup fungsi yang dipersyaratkan.
Meliputi (a) kebijakan keselamatan dan perlidungan lingkungan, (b) tanggungjawab dan wewenang perusahaan, (c) personal darat yang ditunjuk ( Designated Persons Ashore/ DPA); (d) tanggung jawab dan wewenang nakhoda; (e) sumber daya dan personil; (f) pengoperasian kapal; (g) kesiapan keadaan darurat; (h) pelaporan dan analisa atas ketidaksesuaian, kecelakaan, dan kejadian berbahaya; (i) perawatan kapal dan perlengkapannya; (j) dokumentasi; dan (k) audit, tinjauan ulang, dan evaluasi perusahaan.
Selanjutnya, PM Nomor 62 Tahun 2019 tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Penyeberangan. Terkait fasilitas keselamatan, yaitu (a) jaket keselamatan (life jacket) tersedia sebanyak 110 persen dari jumlah kapasitas penumpang; (b) jumlah rasio pengguna life raft, life buoy, dan sekoci; (c) lemari/kotak tempat jaket keselamatan (life jacket) kapasitas 1 lemari maksimal memuat 100 jaket keselamatan (life jacket) dan tidak terkunci serta sesuai dengan kapasitas penumpang yang tertera pada SKKP (Sertifikat Keselamatan Kapal Penumpang); dan (d) jumlah ketersediaan life jacket anak sebanyak 10 persen.
Â
Â
Advertisement
Regulasi Lain
Regulasi lainnya, yaitu Pasal 3 (2) PM 103 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Pengendalian Kendaraan yang Menggunakan Jasa Angkutan Penyeberangan, menyebutkan pemuatan kendaraan beserta muatannya ke dalam kapal harus memperhitungkan jarak aman (clearance) dengan sprinkler yang terdapat di ruang kendaraan agar sprinkler dapat bekerja maksimum pada saat terjadi kebakaran.
PM 25 Tahun 2016 tentang Daftar Penumpang dan Kendaraan Angkutan Penyeberangan, mengatur pengemudi kendaraan sebelum membeli tiket wajib mengisi daftar penumpang pada kendaraan dan data kendaraan pada formulir yang telah disediakan oleh operator pelabuhan (pasal 8 ayat 1), perusahaan angkutan umum orang di bidang lalu lintas dan angkutan jalan yang melayani trayek tetap lintas antar negara, antar kota antar provinsi dan antar kota dalam provinsi wajib membuat manifes, manifes wajib diserahkan kepada pengemudi, pengemudi kendaraan angkutan umum sebelum masuk pelabuhan wajib melakukan pengecekan dan/atau penyempurnaan manifes (pasal 11).
Pasal 2 di dalam PM 28 Tahun 2016 tentang Kewajiban Penumpang Angkutan Penyeberangan Memiliki Tiket, menyebutkan penumpang angkutan penyeberangan terdiri dari penumpang pejalan kaki; dan penumpang pada kendaraan. Setiap penumpang angkutan penyeberangan memiliki tiket.
PM 66 Tahun 2019 tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Angkutan Penyeberangan, bertentangan dengan PM 25 Tahun 2016 tentang Daftar Penumpang dan Kendaraan Angkutan Penyeberangan, yang berlaku sekarang tarif angkutan penyeberangan untuk kendaraan penumpang dan kendaraan barang beserta muatannya ditetapkan berdasarkan panjang kendaraan yang diukur melalui fasilitas pengukur dimensi kendaraan di pelabuhan dan satuan unit produksi sesuai dengan golongan kendaraan (Pasal 5 Ayat 1).
Sementara, tarif untuk penumpang, kendaraan penumpang, maupun kendaraan barang beserta muatannya dihitung berdasarkan jarak dan satuan unit produksi (Pasal 16).
"Untuk mendapat manifes yang jelas, maka mestinya diterapkan PM 25 Tahun 2016 tentang Daftar Penumpang dan Kendaraan Angkutan Penyeberangan," ujarnya.
Selain itu, regulasi PM 91 Tahun 2021 tentang Zonasi di Kawasan Pelabuhan yang Digunakan untuk Melayani Angkutan Penyeberangan, sistem zonasi meliputi Zonasi A untuk orang; Zonasi B untuk kendaraan; Zonasi C, untuk fasilitas vital; Zonasi D untuk daerah khusus terbatas; Zonasi E, untuk kantong parkir di luar pelabuhan penyeberangan bagi Kendaraan yang akan menyeberang (Pasal 3 ayat 1).
"Zonasi E merupakan area parkir untuk antrian kendaraan yang sudah memiliki tiket namun belum waktunya untuk masuk pelabuhan penyeberangan. Bagi pelabuhan penyeberangan yang telah menetapkan tiket secara elektronik, untuk penumpang dan kendaraan yang berada di area zona A1 dan Zona B1 wajib memiliki tiket," pungkasnya.Â