Kasus Dokter PPDS Unpad Ingatkan pada Sleeping Beauty Syndrome, Ini Alasannya

Ada beberapa kesamaan antara pelaku tindak kekerasan seksual yang merupakan dokter PPDS Unpad dengan kelainan seksual sleeping beauty syndrome.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori Diperbarui 11 Apr 2025, 15:26 WIB
Diterbitkan 11 Apr 2025, 13:00 WIB
Kasus Residen PPDS Unpad Ingatkan Edukator Seks pada Sleeping Beauty Syndrome, Ini Alasannya
Ilustrasi Kasus Dokter PPDS Unpad Ingatkan Edukator Seks pada Sleeping Beauty Syndrome, Ini Alasannya. Foto dibuat oleh AI.... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Kasus kekerasan seksual yang dilakukan peserta didik Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran (Unpad) berinisial PAP mengingatkan konselor dan seks edukator dari Asosiasi Seksologi Indonesia, Febrizky Yahya, pada sleeping beauty syndrome.

Sleeping beauty syndrome atau somnophilia adalah penyimpangan seksual yang membuat pengidapnya terangsang dan ingin berhubungan intim pada seseorang yang tidak sadar dan tidak mampu memberikan respons.

Bukan tanpa alasan, konselor yang akrab disapa Eby melihat beberapa kesamaan antara pelaku tindak kekerasan seksual dengan kelainan seksual tersebut.

“Jika hanya dilihat dari modusnya, PAP (inisial pelaku) menggunakan obat bius untuk membuat korban dalam kondisi tidak sadar dan melakukan kekerasan seksual sama seperti pengidap somnophilia lainnya,” kata Eby kepada Health Liputan6.com, Kamis (10/4/2025).

Meski begitu, tetap perlu diketahui motif pelaku. Pasalnya, dari motif ini akan ketahuan apakah pelaku termasuk pengidap somnophilia atau pelaku kekerasan seksual biasa.

“Yang membedakan apakah PAP ini termasuk somnophilia atau pelaku kekerasan seksual biasa adalah motifnya," kata Eby.

"Jika PAP membius korban dikarenakan ia mendapat akses bebas pada obat bius dan membuat korban tidak bisa melawan atau menyadari adanya kekerasan seksual yang terjadi sehingga perbuatannya tidak ketahuan, maka PAP tidak dapat dikategorikan somnophilia,” jelas Eby.

“Namun, jika motifnya adalah sengaja membuat korban tidak sadar khusus untuk membuat dirinya terangsang, maka bisa jadi ia somnophilia atau sleeping beauty syndrome," katanya.

Namun, Eby menegaskan penegakan diagnosa harus dengan pemeriksaan oleh profesional di bidangnya.

"Sekali lagi, (penegakan diagnosis) harus dengan pemeriksaan intensif oleh psikiater dan psikolog,” imbuhnya.

 

Somnophilia adalah Gangguan Seksual Tipe Predatory Paraphilia

Lebih lanjut, Eby menjelaskan, somnophilia termasuk dalam kelainan atau gangguan seksual tipe Predatory Paraphilia.

"Kenapa predatory? Soalnya biasanya orang dengan gangguan ini juga menyerang orang lain untuk meraih kepuasan seksualnya. Beda sama fetish pada benda mati, enggak ada tindakan pelecehan pada orang lain secara langsung,” jelas Eby.

Faktor Penyebab Sleeping Beauty Syndrome

Terkait penyebab sleeping beauty syndrome, Eby menyampaikan bahwa belum terlalu banyak penelitian khusus soal itu.

Kebanyakan pakar berpendapat bahwa orang yang terobsesi secara seksual pada orang yang tidak sadar biasanya mengalami masalah obsesi pada dominasi dan kontrol.

“Pelaku merasa memegang kontrol atau mendominasi penuh jika lawannya adalah orang yang sedang tidak sadar dan tidak bisa melawan,” terang Eby

“Isu ini bisa terjadi karena trauma masa kecil, gangguan kepribadian, dan pengalaman traumatik di masa lalu, dan bahkan pada suatu kasus terjadi karena adanya trauma pada otak akibat benturan,” tambahnya.

 

Somnophilia Umumnya Terjadi Sejak Kecil

Umumnya somnophilia terjadi sejak kecil, sambung Eby, tapi baru terlihat ketika menginjak usia remaja.

“Gangguan ini udah ada mostly (kebanyakan) dari kecil, cuma baru kelihatan mulai remaja.”

Belum ditemukan penelitian kualitatif pada pelaku somnophilia dengan menggali masa kecil mereka. Namun, secara umum, anak-anak yang berpotensi mengidap penyimpangan seksual dapat menunjukkan tanda dengan melakukan hal-hal berikut:

  • Kesulitan mengendalikan emosi dan keinginannya (diluar normal dan tidak sesuai dengan tahap perkembangan).
  • Kurangnya kemampuan empati sesuai tahap usia.
  • Pernah menjadi korban pelecehan seksual yang tidak diintervensi atau diterapi.
  • Terpapar oleh pornografi terlalu dini dan kecanduan pornografi.
  • Pada kasus yang lebih ekstrem, bisa melakukan pelecehan seksual pada saudari atau keluarganya saat mereka sedang tertidur.

Terapi dan Penanganan Orang dengan Sleeping Beauty Syndrome

Orang dengan kelainan seksual sleeping beauty syndrome harus mendapat penanganan dan terapi yang tepat.

“Terapi yang dilakukan harus berbagai cara, mulai dari CBT (Cognitive behavioral therapy), hypnotherapy, group therapy, orgasm reconditioning (dilakukan oleh sex therapist), dan jika perlu ditambahkan terapi obat-obatan psikiatri,” jelas Eby.

Kelainan ini pun tidak bisa didiagnosa sembarangan. Perlu bantuan psikiater atau psikolog untuk menegakkannya.

“Tentunya yang mendiagnosa hanya boleh dilakukan psikiater dan atau psikolog, khususnya yang mendalami bidang seksologi yang kompeten dalam menangani kasus penyimpangan seksual,” ucap Eby.

 

Sleeping Beauty Syndrome Tak Bisa Dihilangkan Sepenuhnya

Sleeping beauty syndrome adalah kondisi yang tidak dapat dihilangkan sepenuhnya. Namun, terapi dan kontrol yang baik dapat membantu.

“Hilang sepenuhnya mungkin tidak, namun dikontrol dengan terapi seperti yang dijelaskan di atas,” tutup Eby.

Seperti diketahui, dokter PPDS Unpad melakukan kekerasan seksual di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung pada pertengahan Maret lalu. Residen ini melakukan tindak kekerasan seksual pada pendamping pasien. Sebelum melakukan aksinya, ia membius korban hingga tak sadarkan diri.

Infografis 5 Alasan Kemenkes Datangkan Dokter Asing dan Payung Hukumnya. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Infografis 5 Alasan Kemenkes Datangkan Dokter Asing dan Payung Hukumnya. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya