Tri Mumpuni: Teriakan Allahu Akbar dan Puji Tuhan Saat Listrik Menyala, Itu Momen Tak Ternilai

Tak hanya menghadirkan listrik di pelosok desa, wanita yang karib disapa Puni ini juga memberi dampak ekonomi dan sosial bagi warga sekitar.

oleh Rinaldo diperbarui 25 Mei 2023, 17:01 WIB
Diterbitkan 25 Mei 2023, 17:01 WIB
tri mumpuni
Penggagas Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Tri Mumpuni. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Wanita ini berhasil membuat puluhan desa di Indonesia yang tadinya gelap gulita menjadi terang benderang. Di tangan wanita bernama lengkap Tri Mumpuni Wiyatno ini, desa-desa terpencil yang jarang mendapat perhatian pemerintah diberdayakan melalui pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH).

Dengan apa yang sudah dia lakukan, tokoh yang dikenal mengembangkan kemandirian masyarakat ini diakui kiprahnya di dalam negeri maupun di luar negeri. Tak hanya menghadirkan listrik di pelosok desa, wanita yang karib disapa Puni ini juga memberi dampak ekonomi dan sosial bagi warga sekitar.

Lahir di Semarang pada 6 Agustus 1964, Puni merupakan anak dari pasangan Wiyatno dan Gemiarsih. Sejak kecil ia sudah ikut ibunya keliling ke kampung-kampung mengobati orang yang kena penyakit koreng. Ia terbiasa melihat dan membantu ibunya yang aktif dalam kegiatan sosial. Tak heran ketika itu dia bercita-cita menjadi dokter.

Namun, tamat SMA Puni memilih melanjutkan studi di jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB). Lulus dari IPB, Tri melanjutkan pendidikannya pada studi keberlanjutan di Universidad da Costa Rica pada 1992 dan Chiang Mai University, Thailand pada 1993.

Selama periode tersebut, Puni mendirikan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) bersama suaminya, Iskandar Budisaroso Kuntoadji. Bersama sang suami pula ide awal pembangunan PLTMH tercipta, karena seringnya berkeliling ke desa-desa dan melihat sumber air yang melimpah namum belum ada distribusi listrik.

Puni pertama kali membangun PLTMH pada tahun 1997 di Dusun Palanggaran dan Cicemet, di Gunung Halimun, Sukabumi, Jawa Barat. Untuk mencapai tempat itu dia harus berjalan kaki sembilan jam atau naik motor yang rodanya harus diberi rantai sebab jalan setapaknya licin.

Ia sama sekali tidak mendapat bantuan dari manapun, bahkan awalnya masyarakat masih susah dimintai iuran. Namun setelah enam bulan berlalu, Desa tersebut sudah memiliki kas sebesar Rp 23 juta. Uang dari iuran listrik pun dipakai membangun jalan berbatu yang bisa dilalui kendaraan beroda empat serta membuka peluang membantu 10 dusun lainnya.

Bagi Puni, menjadikan dusun terpencil menjadi terang benderang karena aliran listrik bukan tujuan utama, tetapi bagaimana membangun potensi desa supaya mereka berdaya secara ekonomi dan lainnya. Dengan begitu, mereka bisa mengenali dan membangun peradabannya.

Hingga kini, tidak kurang dari 80 desa dan tempat terpencil yang diterangi PLTMH hasil karya Puni. Kehandalan buah tangannya juga diakui dunia setelah negara lain mengapresiasi PLTMH. Filipina menjadi negara yang memasuki tahap implementasi pengembangan PLTMH, sedangkan Rwanda dan Kenya masih dalam tahap pelatihan.

Atas kontribusinya tersebut, Puni diberikan penghargaan Ashden Awards pada 2012, sebuah lembaga swadaya masyarakat Inggris yang bergerak di bidang pemberdayaan energi ramah lingkungan. Selain itu, Tri juga mendapat penghargaan Ramon Magsaysay bersama Hasanain Junaini pada 2011.

Nama Tri Mumpuni juga tercantum dalam daftar ilmuwan muslim paling berpengaruh di dunia dalam laporan The World's 500 Most Influential Muslims 2021. Namanya bersanding dengan 21 ilmuwan muslim dari penjuru dunia yang dirilis The Royal Islamic Strategic Studies Centre.

Sementara pada pertemuan wirausaha negara-negara muslim bertajuk Presidential Summit on Entrepreneurship pada 27 April 2010, nama Tri bahkan disebut secara khusus oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama sebagai wirausahawati sosial dari Indonesia yang sukses mengembangkan pembangkit listrik di daerah terpencil.

Sepak terjangnya juga membuat banyak pihak menawari Puni masuk partai politik. Namun, dia dengan tegas menolak tawaran itu karena menurutnya di Indonesia belum pernah ada anggota dewan yang dipuji oleh rakyat. Puni sudah cukup puas dengan jabatan Anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang kini diembannya.

Berikut petikan wawancara Tri Mumpuni dengan Sheila Octarina dalam program Bincang Liputan6.

 

Jatuh Hati pada Listrik, Awal Mula

tri mumpuni
Penggagas Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Tri Mumpuni. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Apa saja kesibukan Ibu saat ini?

Saya dalam satu bulan itu ke Jakarta kalau pas ada rapat pleno sama rapat terbatas Badan Riset dan Inovasi Nasional, karena kebetulan saya Dewan Pengarah di situ. Saya juga ke Jakarta kalau ada panggilan-panggilan untuk berbicara memotivasi anak-anak muda atau memotivasi teman-teman di BUMN yang generasi milenial agar mereka tetap semangat membangun negeri ini. Itu saja.

Kalau di Subang yang menjadi kediaman saat ini, Ibu ngapain saja?

Kalau di sini ya bisa dilihat sendiri kan, saya ngurusi mawar, terus ngurusi kebun.

Ibu kan dapat julukan Wanita Listrik, bisa diceritakan bagaimana awalnya Ibu mendapat panggilan itu?

Yang pertama kali memanggil saya Wanita Listrik itu Effendi Gazali, saya inget banget itu. Karena waktu itu dia melihat saya datang ke pelosok-pelosok desa terpencil untuk melistriki daerah-daerah yang memang masih gelap gitu. Itu kan kejadian tahun 90-an lah ya.

Tapi sebetulnya yang mengawali kegiatan ini kan suami saya, dia sebagai orang teknik alumni ITB, terus pernah sekolah di Swiss soal mikrohidro. Kemudian dia berusaha untuk mengimplementasikan itu.

Tetapi begitu saya bergabung, malah justru saya kayanya yang lebih semangat dan bergairah untuk blusukan, terus maksa orang kiri-kanan untuk mau menyokong, membantu kita melistriki. Makanya orang tahunya oh Bu Puni itu Wanita Listrik, padahal sebetulnya kita kerja bersama-sama.

Kemudian bagaimana ceritanya sampai Ibu punya gagasan untuk membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro?

Saya betul-betul 100 persen terlibat tahun 1996, kalau suami saya dari tahun 1979 juga sudah mulai. Hanya yang jadi perbedaannya, Suami saya kalau sudah selesai dibangun ya sudah dinikmati orang desa, dinikmati saja. Falsafah yang dianut dalam hidupnya itu bekerja dalam sunyi. Jadi kalau bisa apa yang dia kerjakan nggak diketahui orang.

Itu bertolak belakang dengan yang saya lakukan. Kalau saya ingin orang mencontoh. Jadi kalau bisa kita itu melakukan sesuatu yang baik, yang baik lho ya, sesuatu yang baik yang kita kerjakan itu kalau bisa ya di announce gitu lho.

Bukan untuk sombong, tapi agar orang lain itu mau sama-sama mengerjakan hal itu, karena apa? Dengan cara mengajak banyak orang, ya terus terang daerah-daerah yang gelap di Indonesia ini bisa cepat-cepat terlistriki gitu lho. Dan benar juga, begitu saya bicara soal mikrohidro ya tahun 1997, saya ngomong itu terus diangkat di media gitu ya. Dan itu luar biasa.

Bahkan pertama kali Liputan6 itu mengajak saya itu tahun 2006 untuk mengunjungi daerah-daerah yang pernah kita bangun. Dan waktu itu kita terus terang nyari yang paling dekat ya di Jawa Barat, di daerah Gunung Halimun namanya. Itu dulu Ciptarasa Ciptagelar di tahun 1996. Kita pertama kali membangun di sana.

Artinya, Ibu dan suami punya kegelisahan jika melihat desa-desa yang masih gelap dan tak terlistriki?

Pastilah. Kalau melihat ketimpangan yang ada di Indonesia ini sudah dalam taraf yang zalim kalau menurut saya. Kenapa saya katakan, pemimpin kita ini ya betul-betul harus diingatkan bahwa tanggung jawabmu tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat gitu.

Kenapa saya katakan begitu? Kita ini dirahmati Allah, sumber daya lokal yang luar biasa di republik ini yang saya yakin kalau dikelola dengan benar, dapat pemimpin yang amanah dan mampu ya, mampu berbuat adil untuk rakyat kita, nggak lamalah kita akan jadi negara yang makmur.

Sekarang ini kan sepertinya kekayaan terkonsentrasi di beberapa kelompok gitu ya? Terus resources juga terkonsentrasi dikuasai sedemikian luar biasa hanya di berapa kelompok gitu. Coba kalau kita punya pemimpin yang betul-betul bisa memaknai Pancasila sila ke-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Di Undang-Undang Dasar juga ada pasal yang jelas-jelas mengatakan seluruh kekayaan negara ini harus ya dikuasai oleh negara untuk keadilan dan kemakmuran bersama-sama sebesar-besarnya buat rakyat Indonesia. Tapi saya dalam perjalan waktu saya ya, melihat pemimpin kita ini belum bisa memenuhi kriteria itu.

Memang saya mendukung sih orang-orang hebat yang saya ingin dia jadi pemimpin, tapi mungkin setelah berada di puncak, kekuasaan tidak di tangan dia. Mungkin ada invisible hand ya, kekuasaan-kekuasaan yang membuat siapa pun yang berada di pucuk pimpinan itu kok seolah-olah berat gitu ya langkahnya untuk bisa bertindak memakmurkan rakyat dengan benar gitu.

Apa yang Ibu rasakan saat berkeliling Indonesia untuk memberikan motivasi kepada generasi muda?

Saya senang sekali bisa dikaruniai Allah punya kesempatan dan didukung oleh kementerian, juga oleh orang-orang yang punya hati, yang di korporasi yang mau mendonasikan keuntungan mereka untuk program namanya Patriot Energi, Patriot Desa dengan Gubernur Jawa Barat, kemudian Wira Bangsa dengan Kemenko PMK.

Itu membuat saya bertemu dengan anak-anak muda yang kita seleksi dan mereka ternyata mencari meaning dalam hidupnya, bukan mencari money. Mungkin uang itu, sudahlah mungkin orangtuanya juga sudah kaya atau memang mereka filosofinya dari awal itu kan khoirunnas anfa'uhum linnas, sebaik-baik manusia kalau dia bermanfaat buat orang lain.

Itu yang saya merasa bahwa saya punya harapan yang luar biasa untuk Indonesia. Karena kita masih mampu menjaring anak-anak muda yang punya pemikiran seperti itu dan itu tidak bisa kita harapkan jatuh dari langit, harus kita buat, kita desain untuk bagaimana anak-anak muda itu mau berjalan keluar dari zona nyaman, memikirkan bagaimana membangun bangsa ini dengan sepenuh hatinya.

Bagaimana cara Ibu meyakinkan mereka untuk tidak menjadikan uang sebagai segala-galanya?

Mereka harus yakin, kalau dia ngurusi orang-orang dhuafa, hidup dia pun juga dijamin sama Yang Maha Kuasa tidak akan pernah sengsara.

Saya selalu berusaha memberi contoh pada mereka, look saya nggak miskin lho, saya bilang gitu, saya bisa hidup layak. Tapi apa yang saya lakukan? Saya ingin orang-orang lain di desa yang terpencil itu bisa menikmati terangnya listrik, bisa hidup nyaman dan layak, bisa memanfaatkan sumber daya lokal yang ada di desa untuk kemakmuran mereka.

Jadi intinya saya katakan ke mereka, kemiskinan itu hanya simptom, yang riil terjadi kemiskinan muncul karena apa? Karena rakyat dipisahkan dari local resources, ada sumber daya lokal, ada masyarakat lokal, harusnya ini dijadikan satu.

Datanglah yang namanya finansial, manajerial gitu ya, teknologi datang untuk mengelola sumber daya alam ini sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat lokal yang tinggal di situ. Nanti bisa sampai kemana-mana setelah kemakmuran itu tercapai.

Tapi, bukankah sekarang tidak aneh melihat orang muda yang punya ilmu pengetahuan masuk ke desa-desa memanfaatkan keahlian mereka?

Yang saya lihat sekarang ini justru teknologi, managerial capability ya, kemampuan mengelola itu, yang anak-anak sekolah tinggilah gitu, sama teknologi jadi satu. Jadi satu datang ke sebuah daerah mengambil local resources-nya, rakyat ditinggalkan, disitulah muncul kemiskinan.

Makanya kita didik anak-anak muda bagaimana agar sumber daya lokal dan masyarakat lokal yang ter-disconnect ini menjadi reconnect, menjadi tersambung kembali. Karena Allah itu menciptakan sumber daya yang luar biasa di desa. Tapi kenapa kita tidak mampu memperkaya masyarakat desa atau memakmurkan orang desa, mensejahterakan mereka?

Persoalanya tidak ada kemampuan secara intelektual yang mengelola sumber daya itu. Makanya saya undang intelektual-intelektual muda untuk mau bergabung dengan orang desa. Tinggal di sana nggak usah jauh-jauh, nggak usah lama-lama ya. Cukuplah setahun, dua tahun, tiga tahun, bahkan kalau perlu lima tahun.

Percaya sama saya, desa itu pasti makmur, karena si anak muda ini sudah kita bekali dengan cara-cara kita kasih alat bagaimana membangun desa itu, ada life in concept, ada kesadaran-kesadaran yang kita sebut sebagai kesadaran hidup yang bermanfaat sebagai makhluk sosial, bukan hanya makhluk individual.

 

Tak Mudah Membangun Kepercayaan

tri mumpuni
Penggagas Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Tri Mumpuni. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Hingga kini sudah berapa banyak pembangkit listrik tenaga mikro hidro yang Ibu bangun?

Sekarang itu sudah ada di 82 lokasi.

Dari mana biaya untuk membangun PLTMH saat Ibu pertama merintis?

Kita dulu awal-awalnya yang dilakukan adalah mengumpulkan orang-orang yang punya hati, yang mau mendukung. Dan kita memang di sini harus menunjukkan bahwa hidup ini harus mampu membuat orang percaya sama kita. Trust building, membangun kepercayaan. Dengan membangun kepercayaan, orang-orang baik itu yakin uang yang dititipkan bakal membuat rakyat desa yang miskin betul-betul akan termakmurkan .

Dan ini enggak gampang ya, membangun trust itu saya perlu waktu tahunan. Sekarang kita sudah 32 tahunan dan yang saya rasakan adalah semakin kita diberi amanah, dititipi orang, uang atau apa pun itu, menjadi tanggung jawab yang luar biasa dan kita menjadi hati-hati.

Dulu-dulu kami pernah gitu ya membangun pembangkit listrik untuk sebuah desa yang cukup untuk 90 orang. Ternyata setelah listriknya nyala, orang-orang dari desa lain pada turun mendekati desa itu sehingga menjadi 210 orang. Sementara dana untuk membangun daya listrik bagi warga pendatang ini kan nggak ada.

Lantas, bagaimana jalan keluarnya?

Di setiap persoalan hidup yang kita hadapi, jangan pernah takut karena Tuhan pasti hadir. Di situ kita lagi pening nih, bagaimana sisanya dari yang 210 tadi bisa juga mendapatkan listrik. Lagi bingung gitu, tiba-tiba ada seorang ibu yang sudah sepuh datang ke kantor menyerahkan emas. Emas batangan, benar-benar batangan.

Waktu emas kami terima si ibu mengatakan, 'saya yakin uang ini kalau berada di tangan Ibu akan membawa manfaat'. Saya antara senang dan sedih, ya Allah ini betul-betul titipan yang luar biasa gitu ya. Akhirnya kita jual emas itu dan kita pakai untuk membeli tiang listrik serta kabel untuk memperpanjang, sehingga akhirnya 210 orang itu betul-betul bisa terlistriki.

Ini kalau diomongkan ya Tuhan mendengar doa kita gitu. Jadi saya kadang-kadang pusing lihat ngapain harus korupsi, membuat dirinya hina di mata masyarakat, belum nanti kemudian di akhirat, kalau dia percaya dengan kehidupan setelah mati, itu berat. Belum lagi anak cucunya, anak turunannya itu generasi sesudah dia itu harus membayar.

Ibaratnya hukum tabur tuai, seperti itu ya?

Betul. Jadi kalau kita bilang karma, ah klise karma, that's happened kalau kamu yakin itu. Maaf ya, saya melihat para koruptor atau orang yang enggak bener itu anaknya pasti enggak benar juga. Coba kalau kita lihat kasus-kasus itu kebongkarnya itu sepele, simpel banget.

Hanya karena kelakuan anaknya yang enggak bener, tiba-tiba orangtuanya yang sudah tenang-tenang aman dengan harta jarahan dia yang menjadi haknya rakyat Indonesia tiba-tiba kebongkar semua. Ini baru hal yang kecil lho.

Tangan siapa yang bergerak? Tangan Allah. Kita nggak ngapa-ngapain kan? Polisi nggak ngapa-ngapain, jaksa nggak ngapa-ngapain, tiba-tiba kayak kotak pandora kebuka, kebuka semua. Dan saya yakin ini tanda-tanda zaman bahwa insaflah gitu ya para koruptor di republik ini, karena sebentar lagi giliran Anda, percaya deh.

Adakah peristiwa menarik yang Ibu temui saat berada di dusun-dusun yang akan dibuatkan PLTMH?

Ketemu orang-orang yang kurang baik. Tapi kalau saya bilang preman kok kasihan juga ya. Seringkali saat kita akan membangun, ada orang yang datang dengan manis gitu. Mereka bertanya, 'Bu, nanti Ibu akan melibatkan rakyat?' Wah itu pasti, karena kita ingin mengajari warga setempat agar sama-sama belajar dengan kita, sehingga nanti kalau ada apa-apa dengan pembangkit itu dia bisa membetulkan, gitu ya.

Tapi terus saja ada yang datang lagi dan bilang, 'Bu kayaknya saya harus memilihkan Ibu orang-orang yang hebat, rakyat yang bisa membantu Ibu. Jadi siapa pun yang nanti Ibu rekrut itu harus lewat saya'. Nah, ini saya sudah mulai mikir.

Biasanya kalau sudah begitu dia ganggunya itu nyolong semen gitu ya, ditumpuk. Tapi ya karena kita buat rakyat itu kuat, punya resilience gitu, sehingga rakyat sendiri yang mengatasi persoalan-persoalan di lapangan. Kita harus percaya sama rakyat.

Sekarang ini kan pembangunan seolah-olah harus pihak ketiga. Padahal mampukan rakyat, dibuat mereka ter-empower, betul-betul berdaya gitu. Sehingga nanti pembangunan itu ya sesuai dengan passion mereka. Jadi bukan top down. Selama top down itu ya lihat saja nantilah banyak yang mangkrak, enggak ada manfaatnya.

 

Momen Listrik Menyala di Dusun yang Gelap Gulita

tri mumpuni
Penggagas Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Tri Mumpuni. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Bagaimana cara Ibu memilih dusun atau tempat yang akan dijadikan lokasi pembangunan PLTMH?

Biasanya saya sama suami itu jalan-jalan. Saya senang ke hutan-hutan Aceh terus juga ke Papua atau ke tempat lainnya. Kita melihat potensi alam kita kan luar biasa. Ada sungai yang luar biasa besar mengalir, keren banget ini kalau jadi listrik. Terus saya lihat ada kampung enggak? Benar, ternyata kampung di sekitarnya itu gelap gulita.

Kita kumpulkan mereka, terus saya kirim kita punya tim, kalau dulu saya dan suami sendiri yang turun, itu sudah dari tahun 90-an ya. Tapi kalau sekarang tim anak-anak muda datang ngobrol gitu ya, ngobrol terus kemudian mulailah dibentuk organisasi.

Pada tahap itu dana untuk pembangunan sudah ada?

Kadang-kadang dananya kan tidak semudah itu, kami harus ketemu siapa dulu, minta tolong siapa dulu dan sebagainya gitu. Mencari orang-orang baik di di republik ini yang mau memikirkan dan menyumbang. Setelah ngobrol nanti biasanya 3 bulan, tergantung sih penduduk mana dulu. Kalau semakin ke Timur semakin agak lama ya. Misalnya di Papua itu sampai 5 tahunan gitu ya.

Jadi kita harus make sure bahwa rakyat itu merasa ini benar-benar untuk aku gitu. Sehingga kalau rusak pun mereka mencari solusi. Tapi kalau hanya dibangunkan terus ditinggal gitu, oke waktu nyala, begitu sudah rusak, lho itu punya pemerintah kok Bu, nanti biar pemerintah yang membetulkan.

Saya sering marah kalau begitu, saya bilang 'kamu nggak boleh begitu, kita masih banyak desa-desa yang belum terlistriki, rakyat yang belum menikmati terangnya dunia di malam hari, uangnya kan harus dialokasikan di tempat-tempat lain. Kalau hanya ngurusi kamu terus, nanti kapan kita menjadi negara yang maju?' Gitu lho.

Dari pengamatan Ibu, sampai hari ini masih banyakkah desa-desa yang belum terlistriki?

Masih banyak. Kemarin itu kami menebar anak-anak Patriot Energi ya, ke Papua, Kalimantan, Maluku dan NTT sana, masih banyak desa-desa yang belum menikmati listrik. Jadi kalau bicara PLN ya, PLN itu menerangi satu desa. Ini teman-teman di PLN juga mengakui gitu ya, mungkin baru di balai desanya itu sudah tercatat sebagai desa yang terlistriki. Kalau kita ukurannya per kapita, setiap rumah tangga harus terang semua, baru kita bisa mengatakan itu sudah 100 persen terlistriki.

Saya itu paling enggak percaya dengan statistik yang bahasanya itu kurang bisa merefleksikan kondisi yang sebenarnya di masyarakat. Saya suka bilang ke teman, kita jangan zalim deh, pokoknya kalau jelek ya kita bilang jelek, belum terlistriki ya kita bilang belum terlistriki, jangan ditutupi.

Jangan bilang sebagian, kalau semuanya terlistriki baru boleh kamu berani ngomong bahwa 100 persen rasio elektrifikasi di Indonesia. Jangan ngomong oh desanya sudah kok sebagian, sudahlah. Apalagi kalau dilistrikinya pakai genset, nyala jam 6 sore sampai jam 10. Selebihnya nggak ada listrik karena mahal gitu ya, itu hanya menikmati listrik sesaat gitu lho.

Jadi 24 hours ya, 24 jam dia terang dengan listrik yang handal baru itu bisa dikatakan bahwa Indonesia sudah 100 persen electrification rasionya gitu. Kalau belum itu jangan deh, mendingan kita melihat yang jelek-jeleknya tapi terus menjadi semangat kita untuk selalu berjuang, bagaimana agar mereka mendapatkan sesuatu yang layak.

Sekarang kita balik, apa hal-hal membahagiakan yang Ibu rasakan saat membangun PLTMH di dusun-dusun itu?

Yang yang paling menyenangkan itu kalau commissioning ya. Commissioning itu adalah begitu listrik sudah jadi, harus full capasity, 78 jam dinyalakan terus, tidak ada gangguan. Jadi dari gelap gulita tiba-tiba terang gitu, muka orang-orang di kampung itu bling-bling pakai teriak Allahu Akbar gitu ya.

Kalau di daerah yang non-muslim dia akan bilang Puji Tuhan gitu, karena bisa ya ternyata malam hari itu yang dari gelap menjadi terang gitu, hanya karena sungai kita diambil airnya, dipakai teknologi apa pun yang mereka mungkin nggak tahu namanya, tapi kan kita terangkan gitu. Dan itu buat saya apa ya, tidak bisa dinilai dengan berapa triliun pun kebahagiaan itu, membuat mereka tuh bahagia banget gitu.

Terus waktu kita membangun uangnya nggak cukup, jadi ya perlu gotong royong gitu. Ibu-ibunya berjejer baris, ngumpulin pasir dari sungai, batu-batu dari sungai untuk mengumpulkan material-material yang dia yakin bahwa inilah kontribusiku, aku hanya bisa begini karena saya nggak punya apa-apa lagi. Wah, itu...

Terasa banget gotong royongnya ya, Bu?

Iya, jadi ini yang saya sebut kita itu membangun modal sosial bangsa. Modal pembangunan itu kan, pertama modal manusia dulu, human capital. Kita sudah banyak PhD, doktor kita, orang-orang hebat banyak. Yang kedua, modal nature resources capital ya, modal sumber daya alam. Kurang apa Gusti Allah memberi sumber daya alam di Indonesia? Ini yang harus kita bangun, modal sosial.

Modal sosial itu adalah orang yang tanpa pamrih, mau memberi yang terbaik untuk bangsa ini gitu ya. Jadi kalau orang-orang desa itu modal sosialnya tinggi banget, dia mau gotong royong itu kan modal sosial. Dulu kita menang melawan penjajah dengan bambu runcing, itu modal sosial.

Orang merasa aku punya common enemy. Musuhku adalah kalau dulu penjajah, sekarang harusnya common enemy adalah kemiskinan yang ekstrim, stanting, ketidakadilan itu harusnya jadi common enemy. Itu yang kita berikan kepada anak-anak muda pengetahuan dan pemahaman itu.

Kemudian modal spiritual. Orang akhirnya tahu bahwa ini bukan hakku, mana yang hak mana yang batil. Nggak mungkinlah saya ngembat haknya rakyat gitu. Apalagi jadi pejabat, tiba-tiba ada BLT. Sudah tahu BLT itu kan buat orang fakir miskin, kok dimanipulasi, diembat gitu kan sudah rusak otaknya itu.

Jadi saya pikir aduh gimana ya negeriku ini. Dan itu intelektual yang melakukan lho. Intelektual yang hidupnya makmur, yang tidak pernah susah, tega-teganya seperti itu. Ada yang keliru mungkin.

Selanjutnya modal finansial. Modal finansial itu harusnya bonus. Tapi tren dunia, bahkan Indonesia, modal finansial selalu taruh di atas, nomor satu, pertumbuhan, pertumbuhan, pertumbuhan investasi. Saya bilang aku enggak sedih lho Indonesia misalnya hanya tumbuh dua persen. Tapi seluruh rakyat bersama-sama tumbuh, makmurnya bareng-bareng.

Buat apa dua digit tumbuh, tapi ada orang yang mampu beli Boeing Business Jet, tapi ada orang yang tidak bisa makan besok. Tinggalnya dengan hewan piaraan dia di rumah gubuk. Is that negara yang diinginkan oleh para pendiri bangsa ini? No, bukan itu. Jadi enggak usahlah ngomong yang muluk-muluk gitu. Semuanya ayo bersama-sama gitu.

Kehidupan yang memprihatinkan itu masih banyak ditemukan ya, Bu?

Banyak. Saya ke Sumba itu bleeding heart gitu. Patah hatinya sudah enggak karu-karuan karena melihat, lho ini kok rumahnya sudah gubuk, dia cuma punya amben (tempat tidur yang dari bambu) gitu. Terus di bawah itu babinya dia, anjingnya dia semua, saking miskinnya.

Padahal saya waktu ke Seattle ya, saya diundang gitu bicara dengan teman-teman dari Boeing, ada kok keluarga yang inden Boeing Business Jet. Itu di sebuah negara yang namanya Republik Indonesia yang kita cintai ini.

Itu seperti di keluarga kita lah, keluarga kita, kakak kita bisa kaya raya, tapi adik kita tuh buat makan besok bingung. Kita enggak mau yang seperti itu. Ini perlu terobosan yang luar biasa.

 

Peneliti Itu Harus Berani Turun ke Lapangan

tri mumpuni
Penggagas Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Tri Mumpuni. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Ibu dulu kuliah di IPB yang jauh dari urusan elektrifikasi, ambil jurusan apa, Bu?

Saya mengambil jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, karena itu satu-satunya jurusan yang saya suka. Saya sudah ngancam diri sendiri nih kalau enggak keterima di Sosek karena masuk Sosek itu susah. Kalau sudah di Sosek gampang, tapi masuknya itu karena jurusan favorit, jadi belum tentu gampang.

Kemudian saya dapat kesempatan belajar, ada beasiswa gitu, belajar energi, belajar soal sustainable development, soal lingkungan. Ketika itu saya ketemu suami yang ngurusin listrik, anak ITB. Dari situ kemudian saya menjadi sangat jatuh hati karena buat saya listrik itu alat yang sangat kuat, the most powerful tools untuk membangun desa-desa di Indonesia.

Omong kosonglah ngomong pembangunan ekonomi desa kalau mau membuat minyak nilam saja enggak ada listriknya, mau membuat minyak sereh, mau mengeringkan kopi, membuat grinding roasting kopi yang bagus itu enggak ada listrik. Jadi disitulah saya ngerasa, pernikahan itu memang kalau kita hati-hati benar memilihnya itu menjadi rahmatan lil alamin ya, bisa membawa manfaat buat alam sekitarnya.

Ketika ketemu suami yang satu frekuensi dan bertualang masuk kampung untuk membangun PLTMH, berapa lama membangun sebuah PLTMH itu?

Paling lama kalau membangun PLTMH yang besar itu sekitar setahun delapan bulan ya, karena persiapan sosialnya yang lama.

Dan Ibu bersama suami menetap di sana berarti?

Iya, tapi saya on and off, paling lama dulu tiga bulan waktu muda ya, sekarang ya nggaklah. Sekarang anak-anak muda saja. Bahkan ada beberapa daerah yang dibangun karena saking saya enggak punya waktu gitu, ada yang saya belum ke sana. Tapi suami pasti sudah ke sana, tim-tim sosial maupun tim-tim teknis pastilah menetap di sana.

Nggak ada waktu karena kesibukan di BRIN juga?

Iya, karena dengan BRIN ini saya menjadi harus keliling juga ke daerah-daerah, memberikan motivasi pada anak-anak muda. Saya tuh bermimpi banget peneliti-peneliti BRIN itu mau turun ke lapangan tinggal selama setahun gitu, karena apa? Karena sebenarnya sumber-sumber hayati itu adanya enggak di kantor Jakarta. Sumber hayati itu adanya di pelosok-pelosok Kalimantan dan tempat lainnya.

Saya sering mengatakan pada mereka yang muda-muda itu, kalau dengan otakmu yang cemerlang, PhD-mu yang hebat itu, yang sudah kau dapatkan karena dibiayai oleh negara, entah dibiayai oleh mana pun juga, berbuatlah untuk kemanusiaan.

Kalau kamu berada di hutan Kalimantan, saya yakin Anda menemukan pasti oh ini ternyata membawa manfaat, ini untuk obat ini dan lain sebagainya. Saya ingin banget para peneliti yang hebat-hebat itu mau tinggal di lapangan cukup lama.

Dari seluruh pelosok negeri yang sudah dikunjungi, daerah mana saja yang menurut Ibu pembangunannya masih belum merata?

Saya masih penasaran dengan Papua. Papua itu berkontribusi luar biasa resources-nya untuk membangun Indonesia. Kita enggak fair sama orang Papua. Masih ada orang stunting. Saya kan kirim anak muda ke sana, terus setahun di sana suruh pulang, cerita di depan Menteri ESDM waktu itu pengalaman di sana.

Dia bercerita bertugas di Kabupaten Asmat. Selama setahun di sana dia mengajak anak-anak untuk mau bersekolah. Ternyata semangat belajar mereka sangat tinggi, meskipun jam sekolah dimulai dari pukul 7 pagi.

Sambil menangis dia kemudian menceritakan, suatu hari dia tengah mengajar. Pukul 9 pagi ada muridnya yang tunjuk jari dan mengatakan kalau dirinya lapar. Menurut pengakuannya, dia belum makan sejak semalam.

Ternyata ini ada hubungannya dengan program pemerintah yang harus kita luruskan. Orang Papua sejak dulu terbiasa makan sagu yang tumbuh di sekitar hutan mereka. Kemudian semua dirombak jadi makan raskin jatah dari pemerintah. Sagu sudah enggak ada karena nggak ada yang urus, sedangkan raskin suka datang telat.

Ini kan soal ketahanan pangan. Kalau dulu tinggal ngambil sagu, mancing di danau ada ikan. Makmur sejahtera rakyat sebelum ada program-program intervensi yang justru memiskinkan mereka.

Apakah harusnya ada program-program yang bisa lebih menghargai dan mengembangkan kearifan lokal?

Saya sanggup kok membuat program dengan anak muda, saya sanggup. Cuma kan dana pemerintah tidak bisa saya akses dengan mudah, karena saya bukan gubernur, saya bukan bupati. Saya hanya orang luar yang ingin berkontribusi.

Dan ASN kita ini besar jumlahnya, namun geraknya lambat sama kerjanya mekanistik. Oh ini enggak sesuai aturan, ini enggak boleh. Di dunia ini hanya hadits dan Alquran yang enggak bisa diubah, saya bilang gitu. Selama peraturan itu dibuat manusia bisa diubah.

Masalahnya, apakah kita mau menjadi orang yang berbuat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta mengurusi kaum dhuafa. Saya bilang sama teman-teman ASN, kamu tuh punya privilege, kerja nggak kerja dibayar kok, ya kan? Mau main gim di kantor juga dibayar.

Itu sebetulnya utang kita kepada rakyat miskin yang hanya bisa memanen buahnya di hutan, yang hanya bisa jualan bakso di pinggir jalan, kalau hujan deras dia kedinginan, yang hanya bisa jualan jagung bakar. Saya respek, sangat menghormati kalau ketemu orang-orang di pinggir jalan, jualan apa pun. Hujan kehujanan, dialah orang-orang mulia.

Saya bilang, kamu bisa jadi penghuni surga karena kamu berkeringat, untuk menegakkan keluargamu agar tetep bisa makan. Jadi sangat zalim kalau yang setiap bulan kerja enggak kerja pokoknya menerima gaji dan tidak berbuat apa-apa, lebih gila lagi korupsi.

Masih Ada Kegelapan di Cianjur dan Tasikmalaya

tri mumpuni
Penggagas Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Tri Mumpuni. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Kenapa Ibu menolak masuk partai politik?

Nanti jadinya malah kusut. Saya sampai sekarang kadang-kadang kalau datang ke rumah teman atau apa gitu ya, yang dapat perumahan yang sangat mewah gitu kan ya, entah di Gatot Subroto entah di mana lah pokoknya, ya Allah ini yang misalnya anggota Dewan gitu ya, mereka bisa tinggal di rumah yang sebagus ini, kendaraan yang sebagus itu, tunjangan Rp 450 juta kali lima setahun, Rp 180 juta kali delapan dalam setahun.

Terus di tanggal 1 katanya menerima Rp 16 juta, terus tanggal 5 tunjangan kinerjanya Rp 59 juta. Wes pokoknya banyak gitu lho. Dan itu didapat karena ada orang-orang miskin di dapil mereka yang nyoblos muka dia, yang nyoblos nama dia. Begitu dia duduk di situ, dia lupa bahwa ini hakku, naudzubillahimindzalik. Ini yang bahaya.

Dan saya ketemu teman-teman yang punya hati. Ya satu dua sajalah, ada anggota Dewan yang memang dia malah nombok, karena dia sudah kaya sih ya, terus dia minta tolong agar warga di dapilnya dilatih. Dilatih dari mulai nggak bisa bertani sampai bisa petani dengan baik, income-nya bagus, ada bisnis kanvasing dan sebagainya.

Celakanya kan sekarang ini orang enggak punya kerjaan, ngalor ngidul enggak jelas, terus pengen jadi anggota Dewan karena melihat duitnya gede, duit yang aspirasi yang Rp 450 juta kali lima tadi yang harusnya dipakai untuk bangun pembangkit listrik di desa mana, tempat dapil dia atau untuk program apa itu enggak dijalankan, itu yang runyam.

Balik lagi ke PLTMH, kabarnya pembangkit listrik ini sudah dibangun di luar negeri juga?

Iya. Suami saya sebulan di Rwanda melatih anak-anak insinyur sipil untuk bisa paham membuat mikrohidro yang benar. Terus ke Filipina kita bikin juga, 3 tahun programnya waktu itu. Saya juga sering ke Kenya, bolak-balik gitu, tapi hanya sharing knowledge, kalau yang betul-betul membangun itu yang di Filipina itu.

Kalau di Rwanda itu juga sharing knowledge, suami saya tuh sudah kayak dosen terbang gitu. Karena dia kan riil orang teknik yang ngerti banget gitu. Kalau saya lebih kepada how development, itu direncanakan. Jadi nanti siapa berperan apa, seperti apa, membangunnya seperti apa dan sebagainya.

Kalau di Indonesia juga masih ada yang dikerjakan?

Masih, kita masih, Tasikmalaya bayangin, kan itu enggak jauh, Tasik itu kan deket, masih ada desa yang gelap. Di Cianjur juga masih ada daerah yang gelap.

Masih adakah impian yang ingin Ibu wujudkan?

Dari dulu saya ingin ada trust fund, dana-dana dari orang-orang yang baik yang dikumpulkan dan dikelola dengan amanah untuk menjawab isu-isu pembangunan yang tidak bisa masuk dalam ranah ABPN, APBD segala macam yang sangat complicated dan seringkali tidak tepat sasaran.

Dalam trust fund itu semua dana masuk diaudit dengan baik gitu ya, dan kita jalankan itu dengan penuh tanggung jawab. Karena saya melihat bahkan ya seperti Baznas saja selalu keluhannya uangnya enggak bisa terdispersi atau apa dan sebagainya. Tapi begitu kita sodori program ya mereka lebih senang menjalankan sendiri gitu lho.

Jadi ya sudah, saya hanya mau menolong orang itu memanfaatkan uangnya. Apalagi itu uang umat gitu ya agar dipakai sesuai dengan peruntukannya dan sampai kepada orang-orang yang memerlukan. Jadi kalau saya ada bantu orang saya bilang, 'maaf aku enggak ngambil duitmu, aku hanya membantu kamu menyalurkan uangmu di jalan yang benar sehingga uangmu bisa memberikan kebermanfaatan dan surga yang nunggu kamu'.

Apa pesan Ibu untuk generasi muda?

Yang paling sederhana buat saya adalah, kalian dirahmati Allah bisa hidup seperti kondisi sekarang. Hidup itu hanya sekali, hiduplah yang berarti. Lihat sekelilingmu, apa yang bisa kamu kontribusikan. Tidak apa-apa langkahmu kecil, tapi kalau itu menjadi berjuta-juta langkah, saya yakin pasti membawa makna. Saya kira itu saja.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya