Pengaruh Menangnya Erdogan di Pemilu Turki terhadap Ekonomi Indonesia

Presiden petahana Recep Tayyip Erdogan kembali terpilih sebagai Presiden Turki untuk periode ketiga. Lalu bagaimana pengaruh Erdogan yang kembali jadi Presiden Turki untuk ekonomi Indonesia?

oleh Agustina Melani diperbarui 30 Mei 2023, 21:00 WIB
Diterbitkan 30 Mei 2023, 21:00 WIB
Pengaruh Menangnya Erdogan di Pemilu Turki terhadap Ekonomi Indonesia
Presiden petahana Recep Tayyip Erdogan kembali terpilih sebagai Presiden Turki untuk periode ketiga. (AFP/Ozan Kose)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden petahana Recep Tayyip Erdogan kembali terpilih sebagai Presiden Turki untuk periode ketiga. Lalu bagaimana pengaruh Erdogan yang kembali jadi Presiden Turki untuk ekonomi Indonesia?

Dewan Pemilihan Turki pada Minggu, 28 Mei 2023 mengkonfirmasi Erdogan memenangkan pemilihan Presiden Turki 2023 dengan 52,14 persen suara, sementara lawannya Kemal Kilicdaroglu menerima 47,86 persen

Lira Turki kembali merosot setelah terpilihnya kembali Presiden petahana Recep Tayyip Erdogan. Lira turun ke level terendah sepanjang masa pada Selasa, 30 Mei 2023. Dikutip dari CNBC, Lira diperdagangkan di posisi 20,29 terhada dolar Amerika Serikat sekitar pukul 11.00 Selasa pagi waktu setempat, dan melampui posisi terendah pada Senin pekan ini.

Pada awal sesi perdagangan, Lira sempat melemah ke level 20,2 terhadap dolar AS. Lira telah susut lebih dari 7 persen sejak awal 2023.

"Jika langkah besar melemahkan lira, dan potensi krisis ekonomi sistemik ingin dihindari, Erdogan perlu bergerak cepat dan menunjuk seseorang seperti Simsek sebagai tokoh ekonomi,” ujar BlueBay Asset Management’s Senior EM Sovereign Strategist Timothy Ash.

Mehmet Simsek adalah mantan menteri keuangan Turki yang dikenal karena kebijakannya yang ramah pasar. Ia menjadi wakil perdana menteri Turki dari 2015-2018.

Lalu dengan terpilihnya Erdogan sebagai Presiden Turki untuk periode ketiga, bagaimana pengaruhnya ke ekonomi Indonesia?

Direktur Celios, Bhima Yudishistira menuturkan, pengaruh Erdogan kembali jadi Presiden Turki relatif kecil karena pelaku pasar masih ke plafon utang Amerika Serikat (AS) dan proyeksi kenaikan suku bunga the Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral AS. Ia menunjukkan dari indeks dolar AS yang naik ke level 104.

“Sentimen di negara berkembang masih diliputi kekhawatiran aliran modal yang keluar. Tapi pemerintah (Indonesia-red) bisa mendorong kerja sama perdagangan yang lebih intens dengan Turki setelah hasil pemilu Turki,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com.

 

Potensi Kerja Sama Perdagangan

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. (Source: AP Photo/Burhan Ozbilici)

Bhima menuturkan, potensi kerja sama perdagangan yang lebih intensif dengan Turki dapat didorong yakni komponen elektronik, suku cadang otomotif, produk turunan sawit dan furniture.

Untuk mendorong kerja sama perdagangan itu, Bhima mengatakan, perlu kerja keras dari kedutaan atau perwakilan dagang di Turki membaca tren produk yang permintaannya sedang naik.

“Kemudian melakukan fasilitas perdagangan dengan libatkan pelaku industri dan UMKM lokal. Jadi model business matching harus diperbanyak,” ujar dia.

Ia menambahkan, Turki memang hadapi inflasi tinggi. Namun, Bhima melihat Turki merupakan pintu gerbang ke pasar Timur Tengah yang potensial. Hal tersebut menurut Bhima peluang bagi Indonesia.

Referendum Jadi Kunci Erdogan Bisa Berkuasa 25 Tahun di Turki

Erdogan Terpilih Jadi Presiden Turki di Pilpres 2023
Presiden Turki dan calon presiden dari Aliansi Rakyat Recep Tayyip Erdogan memberi isyarat kepada pendukungnya di istana kepresidenan, di Ankara, Turki, Minggu, 28 Mei 2023. (AP)

Sebelumnya, Recep Tayyip Erdogan berhasil meraih kemenangan di pemilu Turki 2023. Ia meraih 52,18 persen suara, sementara pesaingnya Kemal Kılıçdaroğlu (KK) mengantongi 47,8 persen suara. 

Kemenangan ini menandakan kekuasaan Recep Tayyip Erdogan yang memasuki dekade ketiga. Totalnya, ia akan berkuasa selama 25 tahun hingga masa jabatan terbaru berakhir.

Total jabatan 25 tahun itu sangatlah panjang bagi negara-negara demokrasi modern. Sebagai perbandingan, Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher (The Iron Lady) berkuasa selama 11 tahun, Kanselir Jerman Angela Merkel menjabat selama 14 tahun.

Sementara, negara-negara sistem presidensial seperti Amerika Serikat, Indonesia, Filipina, dan Korea Selatan memiliki masa jabatan yang fiks antara lima hingga 10 tahun. 

Referendum Adalah Kunci

Erdogan awalnya berkuasa di Turki sebagai perdana menteri pada tahun 2003 hingga 2014. Setelah jabatannya selesai, Erdogan pindah menjadi presiden. 

Taktik "pindah-pindah" ini serupa dengan taktik Presiden Rusia Vladimir Putin yang berkuasa dari awal tahun 2000-an. Ia awalnya adalah presiden, kemudian jadi perdana menteri, lalu ia kembali menjadi presiden.

Namun, Turki menggelar referendum yang signifikan pada 2017. Referendum itu diajukan oleh partai AKP yang mendukung Erdogan. Dampak dari referendum itu adalah amandemen agar jabatan presiden semakin perkasa. 

Jabatan presiden di Turki sebelumnya hanya simbolis sebagai kepala negara, sementara PM adalah kepala pemerintahan. 

Brookings Institute mencatat bahwa Referendum Turki bisa membuat presiden mengatur isu politik, sosial, ekonomi, dan keamanan. Presiden lantas menjadi kepala negara dan pemerintahan. Alhasil, kemenangan referendum itu membuat Erdogan kembali berkuasa secara penuh di Turki hingga hari ini.

Infografis Penyebab Gempa Turki Magnitudo 7,8 dan Lindu Dashyat Sebelumnya. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Penyebab Gempa Turki Magnitudo 7,8 dan Lindu Dashyat Sebelumnya. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya