Liputan6.com, Jakarta - Ketua Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell mengatakan bahwa ia dan rekan-rekan di Bank Sentral AS belum yakin kebijakan mereka sudah cukup untuk menjaga momentum inflasi.
Dalam pidatonya di hadapan Dana Moneter Internasional (IMF) di Washington, D.C., Powell menyampaikan bahwa masih banyak upaya yang perlu dilakukan the Fed untuk meredam tingginya harga minyak.
Baca Juga
“Komite Pasar Terbuka Federal berkomitmen untuk mencapai kebijakan moneter yang cukup ketat untuk menurunkan inflasi hingga 2 persen seiring berjalannya waktu; kami tidak yakin bahwa kami telah mencapai sikap seperti itu,” ujar Powell, dikutip dari CNBC International Jumat (10/11/2023).
Advertisement
“Saya dan rekan-rekan saya merasa bersyukur dengan kemajuan ini, namun kami memperkirakan bahwa proses untuk menurunkan inflasi secara berkelanjutan hingga 2 persen masih memerlukan perjalanan panjang,” ungkapnya.
Ia melanjutkan bahwa The Fed sedang berfokus untuk mengkaji apakah suku bunga perlu dinaikkan kembali dan berapa lama suku bunga tetap tinggi.
“Jika diperlukan pengetatan kebijakan lebih lanjut, kami tidak akan ragu untuk melakukannya,” katanya.
“Namun, kami akan terus bergerak dengan hati-hati, sehingga memungkinkan kami mengatasi risiko disesatkan oleh data beberapa bulan yang bagus, dan risiko pengetatan yang berlebihan. Kebijakan moneter secara umum berjalan sesuai dengan apa yang kita pikirkan,” kata Powell dalam diskusi setelah pidatonya.
Pidato Powell disampaikan ketika inflasi Amerika Serikat masih jauh di atas target 2 persen The Fed, tetapi juga jauh di bawah level puncaknya pada paruh pertama tahun 2022.
Dalam serangkaian 11 kenaikan suku bunga yang merupakan pengetatan kebijakan paling agresif sejak awal tahun 1980an, komite tersebut menetapkan suku bunga acuan dari mendekati nol ke kisaran target 5,25%-5,5%.
Kenaikan tersebut bertepatan dengan ukuran inflasi pilihan The Fed, yaitu indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi inti, yang turun ke tingkat tahunan sebesar 3,7%, dari 5,3% pada Februari 2022.
Ekonomi AS Tumbuh Kuat, The Fed Bakal Kerek Suku Bunga?
Sebelumnya, ekonomi di Amerika Serikat (AS) berlanjut menguat dengan pertumbuhan ekonomi 4,9 persen pada kuartal III 2023. Pertumbuhan ekonomi itu lebih tinggi dari prediksi pasar 4,3 persen.
Kontribusi utama pertumbuhan ekonomi AS berasal dari peningkatan belanja konsumen yang dipimpin oleh perumahan dan utilitas.
Investasi perumahan meningkat pertama kali dalam hampir dua tahun dan belanja pemerintah dipercepat. Pada tingkat fiskal AS saat ini defisit selain pelonggaran kuantatif pada 2023 bisa menjadi dua kali lipat selama pandemi COVID-19 menjadi USD 2,8 miliar dibandingkan 2021 sebesar USD 1,3 miliar.
Bank sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) mempertahankan pendirian untuk bergantung pada data ekonomi, angka-angka terbaru menunjukkan kekuatan dalam perekonomian dan akan menjadi faktor pendorong bagi the Fed untuk terus menaikkan suku bunga.
Pelaku pasar akan melihat hasil personal consumption expenditure (PCE) inti MoM. PCE adalah indeks yang mengukur tingkat rata-rata kenaikan harga dari konsumsi domestik. Diperkirakan sekitar 0,2 persen-0,3 persen mematahkan tren penurunan sejak Januari 2023 yang dapat menjadi faktor utama penyebab keputusan the Fed ke depan. “Untuk saat ini, berdasarkan data dari CME, pasar masih percaya suku bunga akan dipertahankan meski data kuat,” demikian dikutip dari riset Ashmore.
Sementara itu, Indonesia baru-baru ini melihat tiga pasangan final calon presiden dan kampanye politik akan sering ditemui menjelang pemilihan umum (pemilu) pada Februari. Hal ini mengingat anggaran belanja sosial 2023 sebesar Rp 100 triliun. Diperkirakan pengeluaran akan meningkat ke depan dan dapat menjadi katalis pertumbuhan.
Advertisement
Pasar Saham Indonesia Masih Menarik
Di sisi lain, saham Indonesia masih menarik dengan imbal hasil di Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) 7,3 persen masih di atas imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun sekitar 7,2 persen.
“Seperti situasi ekonomi global masih fluktuatif, kami terus merekomendasikan diversifikasi di antara kelas aset. Kami merekomendasikan ASDN dan ADPN untuk saham dengan ADON dan ADOUN untuk obligasi,” kata Ashmore.
Pekan ini, IHSG ditutup melemah dibandingkan pekan lalu terutama didorong sektor saham teknologi dan bahan dasar.Kontribusi dua sektor saham itu -3,53 persen dan -2,20 persen terhadap indeks.
Selain itu, pekan ini, pasar dikejutkan ekonomi AS pada kuartal III yang tumbuh lebih kuat dari yang diharapkan dan tertinggi sejak kuartal IV 2021. Di sisi lain, kawasan Eropa menunjukkan pelemahan dan peningkatan risiko resesi.
“ECB mempertahankan suku bunga untuk pertama kali dalam 15 bulan dan menegaskan kembali tujuannya untuk menekan inflasi menjadi 2 persen,”
Oleh karena itu, bank sentral Eropa perlu mempertahankan suku bunga tetap tinggi dalam jangka panjang. Indikator kepercayaan konsumen Jerman melemah selama tiga bulan berturut-turut. “Situasi Eropa sangat berbeda dengan Amerika Serikat. Eropa punya tingkat risiko lebih tinggi dibandingkan AS. Bank sentral Eropa mungkin terpaksa melakukannya untuk turunkan suku bunga menjelang pertemuan the Fed jika AS lebih kuat,” tulis Ashmore.