Liputan6.com, Jakarta - Venezuela masih mengalami krisis yang berkepanjangan. Venezuela memasuki fase kritis dalam beberapa minggu terakhir dengan semakin melemahkan daya beli masyarakat dan meletakkan dasar bagi resesi.
Hal ini dirasakan salah satu warga Venezuela, Erick Ojeda (24). Ia tidak punya uang, bahkan ketika kembali ke daratan usai menangkap udang dalam perjalanan semalam. Kakak perempuannya dan bayinya baru lahir menunggunya untuk menjemput dari rumah sakit.
Baca Juga
Ia tidak beruntung mendapatkan tumpangan ke sana, sehingga masih membantu nelayan mengeluarkan perahu dari air dan menimbang hasil tangkapannya. Erick Ojeda tidak sendirian. Semua nelayan sedang berjuang seperti kebanyakan warga di Venezuela. Demikian mengutip dari AP, Rabu (16/4/2025).
Advertisement
Babak terakhir dalam krisis 12 tahun ini bahkan mendorong Presiden Nicolas Maduro untuk mengumumkan “darurat ekonomi” pekan lalu.
Lelah, lapar dan khawatir, nelayan tidak mengeluh dan tetap menjalankan tugas atau tidur siang, di bawah gubuk dengan pemandangan kapal tanker minyak di Danau Maracaibo. Mereka tahu kalau mereka beruntung memiliki sumber pendapatan, meski tidak dapat diandalkan pada 2025.
"Saya harus terus bekerja keras, meski pekerjaan itu buruk. Kami terus percaya kepada Tuhan. Mari kita lihat apakah Tuhan melakukan mukjizat untuk memperbaiki seluruh Venezuela,” ujar Ojeda seperti dikutip dari AP.
Perekonomian negara itu kembali terpuruk karena pendapatan utama “mengering”. Hal ini seiring sanksi ekonomi baru yang menghukum Maduro atas kecurangan pemilu dan pemerintahannya tidak memiliki banyak ruang gerak untuk menanggapi meski ada stabilitas pascapandemi.
Kebangkitan Ekonomi
Warga Venezuela bangkit dari pandemi COVID-19 dan kembali ke toko-toko kepntong yang penuh persediaan dan dolar AS sebagai mata uang dominan untuk transaksi sehari-hari.
Warga Venezuela meninggalkan kebiasaan barter selama bertahun-tahun, mengantre berjam-jam di luar supermarket atau bahkan berebut di jalan untuk mendapatkan tepung, beras, roti dan bahan makanan lainnya.
Warga juga berhenti membawa tumpukan uang bolivar yang tidak berharga untuk membayar kebutuhan pokok. Perubahan itu merupakan hasil keputusan pemerintah yang melonggarkan kontrol harga pada barang-barang pkok dan memungkinkan konsumen dan bisnis untuk menggunakan uang kertas tanpa batasan.
Perubahan itu juga terjadi karena pemerintah memakai Bank Sentral Venezuela untuk menyuntikkan jutaan dolar AS ke pasar valuta asing setiap minggu dan menopang Bolivar.
Langkah-langkah pemerintah itu membantu akhiris siklus hiperinflasi selama bertahun-tahun yang telah mencapai 130.000% pada 2018. Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh 8% pada 2022, menurut Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) setelah ekonomi menyusut sekitar 80% pada 2014-2020.
Advertisement
Pemerintah Venezuela Gembor-gemborkan Kebangkitan Ekonomi
Selain itu, Maduro dan pemerintahannya mulai menggembar-gemborkan semacam kebangkitan ekonomi. Di ibu kota, Caracas, toko-toko barang impor, restoran, department store, dan bisnis lainnya mulai bermunculan dalam waktu sangat singkat.
Penggunaan aplikasi pemesanan kendaraan dan pengiriman makanan menjamur. Beberapa keluarga di lingkungan miskin mencoba memiliki bisnis dengan mengoperasikan gerai hot dog dan tempat makan lainnya.
Namun, pertumbuhan itu sebagian besar terpusat di Caracas, dan masyarakat di seluruh negeri termasuk Maracaibo yang bangga menjadi jantung industri minyak, tidak mengalami peningkatan yang berarti.
"Jika Anda lebih memerhatikan jalan-jalan utama itu, Anda akan melihat sebagian besar bisnis tutup,” ujar Luis Medina (21).
"Ada subway yang tutup misalnya, dan di sebelahnya ada Movistar atau toko ponsel yang juga tutup. Di sebelahnya, ada restoran internasional El Gaucho yang berasal dari Argentina yang juga tutup,” kata dia.
Dolar AS sebagai Safe Haven
Seperti orang-orang di negara-negara Amerika Latin lainnya dan jauh sebelum negaranya hancur pada 2013, warga Venezuela telah memakai dolar AS sebagai aset yang aman dan melihat nilai tukar sebagai ukuran kesehatan ekonomi.
Pemerintah Maduro mulai memakai cadangan kas pada 2021 untuk menurunkan nilai tukar secara artifisial yang membuat seseorang pada satu titik membayar 3,50 bolivar untuk satu dolar Amerika Serikat.
Hal itu menyebabkan sekitar 67% transaksi ritel dilakukan dalam mata uang asing.Nilai tukar tumbuh perlahan dan pada 2023, upaya Maduro menyuntikkan dolar AS ke dalam perekonomian dibantu oleh raksasa energi Chevron yang mulai menjual jutaan dolar AS secara rutin ke bank untuk mendapatkan Bolivar guna membayar tagihan setelah pemerintah AS mengizinkannya untuk memulai kembali operasi di Venezuela.
Pergerakan Nilai Tukar
Suntikan dolar AS memungkinkan pemerintah untuk mempertahankan nilai tukar sekitar 35 bolivar Venezuela per satu dolar AS hingga pertengahan 2024, ketika peringatan ekonom terwujud.
"Banyak dari kita mengatakan, cepat atau lambat, itu akan menjadi tidak berkelanjutan. Sudah jelas pada Juli ada kekurangan mata uang asing di pasar resmi dalam menghadapi permintaan yang meningkat dan mereka yang tidak bisa mendapatkan mata uang asing mulai pindah ke pasar gelap, pasar yang sangat kecil di mana ketika lonjakan permintaan tiba, harganya naik,” dia menambahkan.
Bulan ini, nilai tukar resmi mencapai 70 Bolivar untuk satu dolar Amerika Serikat (AS). Namun, di pasar gelar, nilai tukar 100 Bolivaruntuk satu dolar AS pada bulan lalu.
Vera menuturkan, faktor-faktor yang memengaruhi harga itu meliputi klaim terpilihnya kembali Maduro, hasil pemilu AS dan keputusan pemerintahan Trump mencabut izin Chevron untuk memompa dan mengekspor minyak Venezuela.
Pemerintahan Biden memberikan izin Chevron pada akhir 2022 setelah Maduro setuju bekerja sama dengan oposisi politik Venezuela menuju pemilihan umum yang demokratis.
Namun, pemilihan umum yang berlangsung pada Juli 2024 itu tidak adil dan bebas. Maduro dilantik pada Januari untuk masa jabatan ketiga selama enam tahun meski ada bukti yang kredibel kalau lawannya memperoleh lebih banyak suara.
Advertisement
Darurat Ekonomi
Sebelum nilai tukar resmi dan pasar gelap “berjarak”, bisnis formal dan informal menerapkan nilai tukar pemerintah untuk transaksi. Namun, saat ini, bisnis informal seperti pasar tempat sebagian besar warga Venezuela membeli bahan makanan, lebih menyukai harga pasar gelap sehingga beberapa barang menjadi tidak terjangkau.
Harga juga meningkat di bisnis formal, termasuk toko kelontong dan perkakas, karena Perseroan menetapkan harga berdasarkan perkiraan biaya lebih tinggi untuk mengisi kembali ketersediaan.
Ekonom Pedro Palma menuturkan, tingkat inflasi Venezuela dapat mencapai 180%-200%. Ia memperingatkan kalau masyarakat dapat memangkas pengeluaran karena gaji tidak akan mencukupi seiring inflasi. Selain itu, sejumlah warga juga kehilangan pekerjaan.
"Kita memiliki prospek yang dramatis, di satu sisi, inflasi melonjak, dan sisi lain prospek resesi yang sangat signifikan,” ujar dia.
Pekan lalu, Maduro mengirim dekrit ke Majelis Nasional yang dikendalikan partai berkuasa untuk meminta kewenangan memberlakukan langkah-langkah darurat untuk “mempertahankan ekonomi nasional”, termasuk menangguhkan pemungutan pajak dan menetapkan mekanisme dan persentase pembelian wajib produksi nasional. Hal ini untuk mendorong substitusi impor.
Dampak Tarif AS
Ia menuturkan, keputusan itu sebagian besar seiring dampak tarif AS terhadap ekonomi global, tetapi masalah ekonomi terbaru Venezuela terjadi sebelum pengumuman Trump.
Beberapa pekan sebelumnya, ia juga memangkas jam kerja pegawai negeri yang secara efektif memberikan cukup waktu untuk mencari pekerjaan kedua. Hal ini dilakukan untuk melengkapi upah minimum bulanan sekitar USD 1,65 dan tunjangan bulanan USD 100 atau sekitar Rp 1,68 juta (asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah di kisaran 16.816).
Namun, perusahaan pada umumnya tidak merekrut, dan beberapa bisnis sekarang membayar karyawan dalam bolivar, bukan dolar AS. Hal ini telah meningkatkan permintaan terhadap dolar AS di pasar gelap seiring lembaga penukaran mata uang membatasi jumlah yang tersedia untuk masyarakat.
Perkembangan ekonomi terkini menjadi ketakutan terbesar banyak warga Venezuela menjelang pemilihan presiden tahun lalu. Begitu besarnya ketakutan itu sehingga jajak pendapat nasional yang dilakukan sebelum pemilihan menunjukkan sekitar seperempat orang berpikir untuk bermigrasi terutama karena alasan ekonomi.
Namun, saat ini, sebagian besar orang tampaknya lelah meninggalkan gagasan itu, sebagian karena tindakan keras Trump terhadap imigrasi ilegal.
Advertisement
