Liputan6.com, Jakarta - Bank Dunia memperkirakan bahwa lebih dari 200 juta orang akan terpaksa bermigrasi karena dampak perubahan iklim pada 20250. Selain itu, perubahan iklim juga membuat jutaan orang jatuh miskin.
“Dan dalam 10 tahun ke depan, perubahan iklim dapat menyebabkan lebih dari 130 juta orang jatuh ke dalam kemiskinan," ungkap Country Director Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Satu Kahkonen dalam kegiatan Climate Change and Indonesia's Future: An Intergenerational Dialogue yang disiarkan pada Senin (27/11/2023).
Baca Juga
Kahkonen pun kembali mengingatkan bahwa tidak ada negara di dunia yang kebal terhadap dampak perubahan iklim.
Advertisement
“Seperti yang kita semua ketahui dengan baik, frekuensi dan tingkat keparahan kejadian terkait perubahan iklim sudah semakin meningkat. Saat ini, perubahan iklim berdampak pada seluruh populasi, dan kaum muda akan menanggung dampaknya,” ujarnya.
Satu menambahkan, hal ini tak terkecuali di Indonesia, dimana separuh penduduknya berusia di bawah 30 tahun.
“Bagu Anda yang hadir di sini yang berusia di bawah 30 tahun, Anda lah yang paling dipertaruhkan dalam pengambilan keputusan saat ini mengenai bagaimana dan bagaimana perubahan iklim akan diatasi,” ucapnya.
Oleh karena itu, Satu menyampaikan, sangat penting untuk mengajak masyarakat dari semua generasi untuk berpartisipasi dalam diskusi mengenai perubahan iklim.
Bank Dunia percaya, aksi perubahan iklim dapat membantu Indonesia mencapai kemajuan lebih cepat dalam menciptakan kesejahteraan salah satu menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045.
Sri Mulyani: Emisi per Kapita Indonesia Paling Rendah di G20
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, Indonesia terus meningkatkan income per kapita untuk menuju negara maju. Namun di balik usaha tersebut, kenaikan income per kapita tersebut ternyata juga dibarengi dengan kenaikan emisi per kapita.
Sri Mulyani mengutip data Bank Dunia yang menunjukkan bahwa Indonesia telah berhasil meningkatkan PDB per kapita hingga sekitar USD 4.000. Tetapi di sisi lain, emisi per kapita juga meningkat hingga 3,0 ton CO2e.
“Emisi per kapita naik dua kali lipat sementara income per kapita naik hampir 4 kali lipat,” papar Sri Mulyani dalam kegiatan Climate and Indonesia’s Future yang disiarkan pada Senin (27/11/2023).
Hal ini menggambarkan bahwa kita masih perlu untuk terus meningkatkan kemampuan kita di dalam meningkatkan pembangunan yang berkelanjutan,” lanjut Sri Mulyani.
Maka dari itu, permasalahan yang dihadapi Indonesia adalah bagaimana meningkatkan pendapatan per kapita yang merupakan indikator proksi kesejahteraan masyarakat tanpa menimbulkan emisi per kapita.
Hal itu meskipun emisi per kapita Indonesia masih terkecil dibandingkan di antara negara G20.
“Di antara negara G20 kita urutan ketiga terendah setelah India dan Brazil,” beber Sri Mulyani.
Data World Renounce Institute mencatat, India, Brazil dan Indonesia memiliki emisi per kapita terkecil di antara negara G20.
India dan Brazil masing-masing memiliki 2 ton CO2e dan 2,2 ton CO2e emisi per kapita pada tahun 2022.
Sementara Indonesia memiliki 2,6 ton CO2e emisi per kapita
Tercatat, negara G20 dengan emisi per kapita tertinggi adalah Canada, dengan 18,7 CO2e dan Australia 17 ton CO2e.
Daftar tersebut disusul oleh Arab Saudi di urutan ketiga terbesar dengan emisi per kapita 16,5 ton CO2e dan Amerika Serikat 15,1 CO2e.
“Tapi bukan berarti emisi per kapita kita terendah, kemudian Indonesia tidak peduli untuk mendesain proses pembangunannya untuk menjaga planet secara bersama. Tantangan kita adalah bagaimana kita menaikkan our prosperity tanpa membuat planet semakin tidak layak ditempati karena perubahan iklim,” ujar Menkeu.
Sri Mulyani juga menambahkan, “Perubahan iklim bukan satu-satunya tantangan. Saat ini Indonesia juga sedang dihadapi dengan dampak dari suku bunga The Fed yang bertahan tinggi untuk waktu yang lebih lama, tensi geopolitik, dan digitalisasi”.
Advertisement
Pemerintah Kejar Nol Emisi 2060, Wamen BUMN: Rumusnya Bagus, Eksekusinya Pusing
Sebelumnya, Pemerintah meneken target ambisius untuk mengurangi emisi karbon sebesar 31,9 persen di 2030 dan nol emisi karbon di 2060. Ambisiusnya target ini disebut memerlukan langkah detail dalam implementasinya.
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo alias Tiko menyampaikan target ini tertuang dalam enhanced nationally determined contribution (E-NDC) Indonesia. Target ini perlu dikejar dengan model yang telah dirancang kedepannya.
"Ini target yang tidak mudah, tadi saya sampaikan ke bu Tina (Jubir Menteri Investasi Tina Talisa), rumusnya bagus, tapi yang eksekusi pusing, jadi kita harus benar-benar membuat rencana yang sangat detail dan sangat executable," ungkapnya dalam HSBC Summit 2023, di St Regis, Jakarta, Rabu (11/10/2023).
Tiko menyampaikan, pelaksana dari target ini salah satunya adalah korporasi, dimana BUMN ikut terlibat didalamnya. Untuk mengejar itu, pihaknya telah menyusun 5 inisiatif strategis.
Pertama, merumuskan cara untuk membuat pembangkit listrik tenaga uap bertenaga batu bara menjadi lebih bersih. Caranya dengan sistem co-firing, menggunakan bio massa, hingga bahan bakar gas.
"Sehingga kita tidak terburu-buru me-retier coal kita tapi bagaimana menghasilkan coal tapi dengan clean coal dan menurunkan emisi (gas) rumah kaca-nya," jelas dia.
Kedua, dengan membidik penurunan emisi di sektor transportasi. Caranya, dengan mendorong pemanfaatan bahan bakar ramah lingkungan. Ini dituangkan lewat biodiesel dengan kadar B35 dan campuran bioetanol di Pertamax Green 95.
"Dan juga ke depan sustainable aviation fuel untuk pesawat yang beroperasi di Indonesia," kata Tiko.