Bos LPS: Sisa Anggaran Pemerintah Masih Cukup Ketimbang Naikan PPN

Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa, buka suara soal kebijakan negara yang akan menaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 mendatang.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 21 Mar 2024, 20:40 WIB
Diterbitkan 21 Mar 2024, 20:40 WIB
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa dalam Konferensi Pers Suku Bunga Penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), di Jakarta, Selasa (30/1/2024). (Arief/Liputan6.com)
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa dalam Konferensi Pers Suku Bunga Penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), di Jakarta, Selasa (30/1/2024). (Arief/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa, buka suara soal kebijakan negara yang akan menaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 mendatang.

Purbaya mengaku sependapat jika lonjakan pengenaan pajak tersebut diperlukan untuk mengungkit pendapatan negara.Di sisi lain, ia menganggap sebenarnya pemerintah masih punya cukup anggaran sisa dari tahun sebelumnya untuk membiayai negara, di luar harus mendongkrak PPN.

"Tapi saya kritisi lebih bagus diperbaiki sistem yang ada sehingga dari yang ada misal 10 persen kan, tapi masuk semua. Itu lebih baik dampaknya ke keuangan negara," kata Purbaya dalam sesi temu media di Fairmont Hotel, Jakarta, Kamis (21/3/2024).

"Kalau saya lihat juga dari kelebihan dari uang pemerintah setiap tahun yang tidak terpakai, tidak butuh juga kenaikan PPN sebesar itu," tegas dia.

Menurut dia, pemerintah semustinya bisa mengakali kebutuhan uang negara dengan cara memperbaiki efisiensi pengaturan pajak, ketimbang menaikan PPN di tengah situasi ekonomi yang tak menentu.

"Jadi ketika ekonomi susah, harusnya kita memberi stimulus perekonomian memang pendapatan pajak perlu ditingkatkan, tapi bukan dengan berburu di kebun binatang," ungkapnya.

Kenaikan Tarif PPN

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, kebijakan kenaikan tarif PPN yang dinaikkan menjadi 12 persen di 2025 akan dilaksanakan pada pemerintahan selanjutnya.

Dimana, mayoritas masyarakat Indonesia telah menjatuhkan pilihannya kepada keberlanjutan. Dengan demikian, kebijakan masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan terus dilanjutkan oleh pemerintahan berikutnya.

"Pertama tentu masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan-pilihannya adalah keberlanjutan. Tentu kalau keberlanjutan, program yang dicanangkan pemerintah dilanjutkan termasuk kebijakan PPN," kata Airlangga saat ditemui di kantornya beberapa waktu lalu.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Undang-Undang

Ilustrasi pajak (Istimewa)
Ilustrasi pajak (Istimewa)

Sebagaimana ketetapan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat dinaikkan dari 11 persen menjadi 12 persen sebelum 1 Januari tahun 2025.

Untuk diketahui, tarif PPN sendiri telah ditetapkan pemerintah Indonesia menjadi 11 persen sejak 1 April 2022 lalu, dan akan dinaikkan secara bertahap sampai dengan 12 persen di tahun 2025.

Hal ini disebut dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau lebih dikenal dengan UU HPP Bab IV pasal 7 ayat (1) tentang PPN.

Sedangkan dalam pasal 7 ayat (3) dijelaskan bahwa tarif PPN dapat diubah paling tinggi 15 persen dan paling rendah 5 persen dan perubahan tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah. Tarif PPN ini mengalami kenaikan sebesar 1 persen dimana sebelum perubahan ditetapkan sebesar 10 persen.

 


Pajak PPN Naik jadi 12% di 2025, Pendapatan Negara Bakal Melesat

Ilustrasi Pajak (2)
Ilustrasi Pajak (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kembali mengemuka ditengah transisi pemerintahan. Kebijakan ini merupakan kelanjutan atas aturan yang telah disusun dan telah ditetapkan di masa pemerintahan saat ini.

Dasar hukum kenaikan PPN 12% adalah UU No.7 Tahun 2021 tentang HPP Pasal 7 Ayat (1), salah satunya adalah mengatur kenaikan tarif PPN secara bertahap, yaitu dari 10% menjadi 11% yang berlaku pada 1 April 2022 dan kemudian menjadi 12% yang mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025.

Praktisi Keuangan dan Bankir, Wibisana Bagus Santosa mengatakan bahwa awal mula kebijakan peningkatan PPN ini dilakukan dalam mengatasi dampak dari Covid-19, dimana menjadi tambahan penerimaan negara.

"Atas tambahan penerimaan tersebut, Pemerintah bisa membeli bantuan barang kebutuhan pandemi Covid-19 seperti vaksin dan bantuan sosial lain untuk masyarakat," ungkap dia dikutip Kamis (12/3/2024).

Wibisana melanjutkan penjelasannya bahwa meskipun saat ini kita sudah dalam fase recovery dari Covid-19, peningkatan pendapatan negara yang dihasilkan dari peningkatan tarif PPN nantinya akan digunakan untuk menunjang pemulihan ekonomi & keberlanjutan pembangunan nasional. Selain itu, kenaikan PPN ini diharapkan dapat membangun fondasi pajak yang kuat. Hal ini sangat penting bagi Indonesia di mata dunia, terlebih PPN saat ini masih relatif cukup rendah dibanding negara-negara lain.

Beliau juga menyikapi akan ada aspek di masyarakat yang terdampak, misalnya berpengaruh pada daya beli masyarakat yang kembali tertekan atau bahkan menurun. Belanja produk sekunder juga akan tertahan dimana masyarakat akan menunda untuk memenuhi kebutuhan sekunder mereka.

 


Daya Saing Produk Lokal

Pelaporan SPT Pajak 2020 Ditargetkan Capai 80 Persen
Petugas melayani masyarakat yang ingin melaporkan SPT di Kantor Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta, Rabu (11/3/2020). Hingga 9 Maret 2020, pelaporan SPT pajak penghasilan (PPh) orang pribadi meningkat 34 persen jika dibandingkan pada tanggal yang sama tahun 2019. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kemudian beliau juga mengkhawatirkan bahwa kenaikan PPN juga dapat berpengaruh terhadap daya saing produk lokal, yang mana apabila produk lokal ini mengalami kenaikan harga karena kenaikan PPN, dikhawatirkan justru konsumen akan beralih ke barang import yang bisa jadi lebih terjangkau harganya.

“Pemerintah pasti sudah mengkaji dengan sangat matang atas kebijakan tersebut sehingga dapat memberikan hasil yang balance antara peningkatan penerimaan pajak dengan dampak yang akan terjadi di masyarakat. Disamping itu, masyarakat sendiri juga harus lebih selektif dalam belanja kebutuhan rumah tangganya dan dapat mengelola keuangannya secara baik. Kesadaran berinvestasi juga perlu diterapkan, seperti menginvestasikan kepada instrumen keuangan yang dapat memberikan hasil yang optimal, seperti saham, obligasi maupun reksadana," tutup dia.

Infografis Google Hindari Pajak (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Google Hindari Pajak (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya