Bea Masuk Impor Mau Naik hingga 200 Persen, Ini Dampak Negatifnya

Pemerintah diimbau untuk mempertimbangkan matang-matang kebijakan untuk menaikkan bea impor hingga 200 persen. Karena kebijakan itu memiliki dampak yang cukup besar bagi masyarakat, pelaku usaha, dan Perekonomian Nasional.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 11 Jul 2024, 17:00 WIB
Diterbitkan 11 Jul 2024, 17:00 WIB
Neraca Perdagangan RI Alami Surplus
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan neraca perdagangan Indonesia pada September 2021 mengalami surplus US$ 4,37 miliar karena ekspor lebih besar dari nilai impornya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diimbau untuk mempertimbangkan matang-matang kebijakan untuk menaikkan bea masuk impor hingga 200 persen. Karena kebijakan itu memiliki dampak yang cukup besar bagi masyarakat, pelaku usaha, dan Perekonomian Nasional.

Anggota Dewan Pakar DPP Gerindra, Bambang Haryo Soekartono (BHS) menyatakan rencana pemerintah untuk menaikkan bea masuk hingga 200 persen terutama barang dari China, harus dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya dan mempertimbangkan semua sektor.

"Ada hal yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah sebelum menaikkan bea masuk impor. Yaitu dampaknya pada masyarakat konsumen, industri dan perdagangan dalam negeri," ujarnya, Kamis (11/6/2024).

Ia menyampaikan jika barang jadi dari luar negeri, khususnya dari negara China atau negara lain dinaikkan bea masuknya, maka tidak menutup kemungkinan negara tersebut akan mencari cara untuk menaikkan pendapatan negaranya dari ekspor barang mereka ke negara kita terutama untuk bahan baku sektor industri kita di dalam negeri.

"Sebagai contoh, di industri tekstil saat ini di Indonesia banyak mengambil bahan baku produksi dari China. Dimana industri tekstil di Indonesia mengimpor bahan baku sekitar 80 persen dari China yang menjadi ongkos biaya produksi industri tekstil di Indonesia," ucap BHS.

Dimana beban biaya bahan baku mengambil porsi sekitar 70 persen dari total biaya produksi di industri tekstil. Sedangkan di negara tetangga seperti Malaysia, ketergantungan bahan baku impor di industri tekstilnya hanya sekitar 60 persen, dan di Vietnam hanya sekitar 50 persen.

"Apabila Pemerintah China membalas menaikkan harga komponen bahan baku, maka ini akan menjadi beban harga produk tekstil di Indonesia yang akan semakin meningkat," ujar BHS.

 

Sulit Menjangkau Daya Beli

FOTO: Ekspor Impor Indonesia Merosot Akibat Pandemi COVID-19
Aktivitas bongkar muat kontainer di dermaga ekspor impor Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (5/8/2020). Menurut BPS, pandemi COVID-19 mengkibatkan ekspor barang dan jasa kuartal II/2020 kontraksi 11,66 persen secara yoy dibandingkan kuartal II/2019 sebesar -1,73. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Sehingga masyarakat sulit menjangkau daya beli untuk produksi industri di dalam negeri maka produk Industri dalam negeri akan hancur karena masyarakat Indonesia tidak mampu membelinya.

"Sedangkan harga tekstil impor dari China yang dinaikkan hingga 200 persen juga akan membebani daya beli masyarakat yang ada di dalam negeri," ucap BHS.

Dan akhirnya perdagangan total hasil dari industri dalam negeri tidak terjangkau oleh masyarakat, serta hasil industri dari China pun tidak terjangkau oleh masyarakat dan akhirnya membawa dampak kehancuran perdagangan tekstil di dalam negeri.

"Ini tentu bisa mengakibatkan kehancuran industri dan perdagangan yang ada di dalam negeri ini, sehingga mengakibatkan pengangguran yang demikian besar dan tentu membawa dampak kemiskinan serta keterpurukan ekonomi nasional kita," ujar BHS.

Sehingga, BHS meminta pemerintah untuk lebih memikirkan dampak dari penetapan kenaikan bea impor ini secara lebih luas.

"Sudah seharusnya pemerintah mengambil kebijakan alternatif dengan menurunkan ongkos biaya produksi industri dalam negeri kita terutama sektor industri untuk kebutuhan pokok seperti tekstil, alat pertanian, pupuk, dan lain lain dengan menurunkan biaya energi terutama listrik," ucapnya.

Seperti halnya Malaysia, yang dimana harga listriknya 60 persen lebih murah daripada Indonesia. Demikian juga beberapa negara tetangga di ASEAN lainnya, juga energi gas yang dimana saat ini gas di Indonesia dijual ke industri dengan harga 8 - 12 USD per MMBTU.

"Sedangkan negara negara seperti China, Malaysia, menjual harga gas nya di industrinya sekitar 3 USD kebawah. Padahal Indonesia adalah penghasil gas alam terbesar di Asia Tenggara, bahkan nantinya mungkin di Asia ataupun dunia," ujar BHS.

 

Insentif Perpajakan

Neraca Perdagangan RI Alami Surplus
Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Surplus ini didapatkan dari ekspor September 2021 yang mencapai US$20,60 miliar dan impor September 2021 yang tercatat senilai US$16,23 miliar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Dan sudah seharusnya pemerintah bisa mendukung untuk memberikan insentif perpajakan yang saat ini sangat besar. Demikian juga dari bunga perbankan, serta biaya pungutan yang muncul akibat ekonomi biaya tinggi.

Demikian juga biaya transportasi logistik harusnya bisa diturunkan bila BBM transportasi logistik murah, dan juga BBM Industri yang saat ini besarannya cukup membebani biaya usaha industri dalam negeri seharusnya juga di turunkan, sehingga harga produk Industri dalam negeri kita bisa bersaing dengan produk luar negeri.

"Dan pemerintah harus secara terus menerus mendorong masyarakat untuk mau membeli atau menggunakan produk dalam negeri. Walaupun harganya agak lebih mahal sedikit ya dibandingkan dengan harga impor," pungkas BHS.

Diketahui, pemerintah berencana akan mengenakan bea masuk impor sebesar 100 hingga 200 persen pada sejumlah barang, termasuk alas kaki dan keramik sebagai bagian dari upaya untuk melindungi industri dalam negeri, kata Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pada Jumat (28/6/2024).

Zulkifli Hasan mengatakan, rencana bea masuk atas barang-barang tersebut rata-rata mencapai lebih dari 100 persen. “Kalau kita kebanjiran (barang impor), UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) kita bisa kolaps,” ujarnya.

Pemerintah mengeluarkan peraturan pada akhir tahun lalu untuk memperketat pengawasan terhadap lebih dari 3.000 barang impor, mulai dari bahan makanan, elektronik, hingga bahan kimia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya