Alasan Sebuah Negara Melakukan Impor
Ada beberapa alasan sebuah negara harus melakukan impor, antara lain:
- Negara yang melakukan impor tidak bisa memproduksi barang tersebut karena beberapa alasan, seperti ketiadaan bahan baku, keterampilan, dan sebagainya.
- Negara pengimpor bisa saja memproduksi barang itu sendiri, akan tetapi biayanya lebih mahal yang nantinya akan membuat harga barang yang dijual justru akan lebih mahal pula.
- Negara pengimpor sudah bisa menghasilkan sendiri, namun tak cukup untuk memenuhi permintaan di dalam negeri.
Halau Impor, Kemenperin Usul Tarif Safeguard untuk Produk Kaos, Hijab hingga Gamis
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengusulkan sejumlah tarif safeguard untuk produk-produk garmen impor guna melindungi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional dari serbuan impor yang menghimpit pelaku industri dalam negeri, terutama industri kecil dan menengah (IKM).
"Saat ini, prosesnya masih rekomendasi dari Kementerian Perdagangan ke Kementerian Keuangan. Masih ada satu tahapan lagi di Kemenkeu, baru dapat ditetapkan oleh Menteri," kata Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Elis Masitoh dikutip dari Antara, Selasa (27/4/2021).
Elis mengatakan Kemenperin mengusulkan tarif safeguard bervariasi pada produk-produk garmen, misalnya untuk atasan casual yang di dalamnya termasuk produk T-shirt, diusulkan tarif Rp 27.000 untuk setiap produk impor yang masuk.
"Jadi, ketika ada atasan casual dari China sebut saja, masuk dengan harga Rp 20.000, dikenakan safeguard Rp 27.000, harga yang masuk ke Indonesia menjadi Rp 47.000," papar Elis.
Dengan harga demikian, Elis mengatakan bahwa industri dalam negeri mampu memproduksi jenis pakaian serupa, bahkan dengan harga yang relatif lebih murah yakni Rp 40.000, sehingga produksi dalam negeri dapat bersaing di tingkat harga yang relatif sama.
Selain itu, untuk produk outer seperti jaket, Kemenperin mengusulkan tarif safeguard sebesar Rp 63.000 per buah, di mana usulan untuk tarif outer merupakan yang tertinggi dibanding produk garmen lainnya. Bahkan, sebelumnya Kemenperin mengusulkan tarif Rp 79.000 untuk outer.
Usulan tersebut kemudian mendapat penolakan, terutama dari merek global yang telah beredar di Indonesia. Namun, Elis memastikan bahwa usulan itu akan melindungi industri nasional sekaligus tidak mengganggu merek global.
"Kalau naiknya harga (outer) untuk merek global, Zara misalnya, yang harga awalnya Rp 1.500.000, kemudian naik jadi Rp1.579.000, pasti tidak akan pengaruh. Tapi, kalau head to head dengan harga produk dari China, nah itu akan berpengaruh besar," ujar Elis.
Selain itu, untuk produk headwear atau hijab, tarif yang diusulkan adalah Rp19.800. Elis mengatakan serbuan impor hijab dari Negeri Ginseng harus betul-betul diantisipasi, terlebih harga hijab yang diimpor tanpa safeguard bisa mencapai Rp2.000 per buah.
"Harga dari impor itu Rp2.000, sementara produk hijab di Zoya atau El Zatta kan Rp78.000. Jadi, bagaimana mau beli produk dalam negeri kalau produk impornya saja harganya Rp3.000-Rp6.000," tutur Elis.
Sementara untuk produk gamis, Kemenperin mengusulkan tarif sebesar Rp59.000, sebagai upaya untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai kiblat pakaian Muslim dunia.
"Selain itu, gamis dan terusan itu banyak yang diproduksi oleh IKM dalam negeri," tukas Elis.
Ia menambahkan Kemenperin memilih untuk mengusulkan harga pasti dan bukan persentase untuk tarif safeguard garmen, karena mekanisme tersebut dinilai lebih tepat sasaran ketimbang persentase.
"Kalau pakai persentase untuk garmen itu sulit, karena yang murah akan tetap dikenakan harga rendah, sementara yang mahal, misalnya produk sportware, itu akan kena tinggi sekali, padahal kita belum mampu memproduksinya di dalam negeri," kata Elis.
Adapun penentuan besaran tarif yang diusulkan tersebut diformulasikan dari perbedaan rata-rata harga impor dengan harga jual di dalam negeri.
"Harga rata-rata impor, kemudian harga jual di dalam negeri. Nah, perbedaan harga jual di dalam negeri dengan harga rata-rata impor tersebut dihitung perbedaannya berapa, itulah tarifnya," pungkas Elis.
Indonesia Impor Vaksin Rp 6,4 Triliun Sepanjang Kuartal I 2021
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor vaksin pada Maret 2021 mengalami peningkatan signifikan. Di mana pada periode tersebut nilai impor mencapai USD 178,7 juta.
"Nilai impor vaksin untuk lansia maret ini adalah USD 178,7 juta. Artinya naik 102,5 persen dari bulan lalu," kata Kepala BPS, Suhariyanto dalam rilis BPS, di Kantornya, Jakarta, Kamis (15/4).
Pria yang kerap disapa Kecuk ini menekankan, nilai impor vaksin tersebut untuk keseluruhan. Artinya tidak hanya untuk vaksin Covid-19 saja.
"Jadi itu yang saya sampaikan vaksin secara keseluruhan," imbuhnya.
Adapun selama kuartal I-2021 yakni Januari-Maret total nilai impor vaksin mencapai sebesar USD 443,4 juta atau sekitar Rp 6,4 triliun (kurs 14.638 per dolar AS). Angka ini naik sekitar 135 persen jika dibandingkan posisi bulan sebelumnya atau Februari 2021.
Impor Barang Capai Rp 1.300 Triliun, Menko Luhut: Padahal Bisa Bikin Sendiri
Indonesia masih hobi belanja barang dan belanja modal dari luar negeri. Bahkan nilainya tidak tanggung-tanggung mencapai Rp 1.300 triliun. Tingginya belanja barang dan modal dari luar negeri tersebut tidak lepas dari rendahnya tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, dari jumlah tersebut, terdapat 45 item yang memberikan sumbangan terbesar. Tingginya belanja barang dan modal tersebut tidak lepas dari rendahnya TKDN.
Dari 45 item tersebut, Luhut menyatakan, telah menemukan bahwa 17 item bisa dibuat di dalam negeri. 17 item itu memiliki nilai yang sangat besar, yakni mencapai USD 17 miliar atau setara dengan Rp 225 triliun.
Menurut Luhut jika nilai belanja barang dan belanja modal tersebut diarahkan untuk diinvestasikan di dalam negeri dan mampu di produksi di Tanah Air, maka hal ini akan bisa membuka lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan penerimaan negara.
"Ini angka yang sangat besar. kalau kita buat itu dalam negeri, diinvestasikan dalam negeri, itu akan menciptakan lapangan kerja mendatangkan pajak dan seterusnya," jelasnya.
Oleh sebab itu, dirinya ingin memaksimalkan penerapan penggunaan TKDN lewat seperangkat aturan, termasuk sanksi administratif. Sebab, sudah dua tahun terakhir tidak ada perbaikan penggunaan TKDN.
Apalagi, saat ini telah ada aturan megenai penggunaan TKDN di pemerintahan. Hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2018 yang mewajibkan penggunaan produk dalam negeri oleh seluruh kementerian atau lembaga.
"Penerapan TKDN harus dimaksimalkan lewat seperangkat aturan, seperti memberikan sanksi administratif bahkan bila perlu yang lebih tegas misalnya pergeseran jabatan," tutur dia.
Berita Terbaru
Selamat Hari Ibu Trending Topic di X Twitter, Warganet Curahkan Ucapan dan Doa Penuh Cinta
Tragedi di Pasar Natal Jerman: Korban Tewas Bertambah Jadi 5 Orang, Ratusan Lainnya Terluka
Top 3: Manfaat Makan Alpukat Secara Rutin untuk Kesehatan
Catat, Pembayaran Pakai QRIS Tak Kena PPN
10 Lagu yang Mendominasi Pencarian di Indonesia pada 2024, Didominasi Musisi Lokal
Kayu Tebangan di Ijen Berpotensi Picu Banjir, Ini Langkah Bupati Banyuwangi
Top 3 Berita Bola: Amad Diallo Sebut Ada Sosok Lain di Manchester United Layak Jadi Pemimpin
Kaleidoskop 2024: 6 Peristiwa Paling Menggegerkan di Dunia Hiburan Korea Selatan
Prestasi Timnas Indonesia di Piala AFF 2024 Tetap Layak Dapat Apresiasi meski Gagal Maju ke Semifinal
Pegulat Rey Mysterio Meninggal Dunia di Usia 66 Tahun, Begini Perjalanan Kariernya yang Luar Biasa
Viral Pungli Joki Pemandu Jalur Alternatif Puncak Bogor Rp850 Ribu, Apakah Permintaan Maaf Pelaku Cukup Loloskan dari Jerat Hukum?
Kapolri Sambut Baik Mantan Anggota Jamaah Islamiyah Kembali ke NKRI