Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan barang mewah terkemuka dunia mulai terkena dampak dari perlambatan ekonomi China. Hal ini juga terjadi ketika konsumen barang mewah di China mengurangi pembelian mahal dan sensor pemerintah menutup akun media sosial para influencer yang memamerkan barang-barang mewah mereka secara online.
Mengutip BBC, Kamis (25/7/2024) raksasa barang mewah asal Prancis, LVMH mengungkapkan penjualannya di Asia, termasuk China tetapi tidak termasuk Jepang, turun 14% dalam tiga bulan hingga akhir Juni 2024.
Angka tersebut melanjutkan penurunan 6% pada kuartal pertama 2024. Pesaing LVMH juga mengalami penurunan penjualan di negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu.
Advertisement
LVMH, yang merupakan grup barang mewah terbesar di dunia, juga mengatakan pertumbuhan pendapatannya secara keseluruhan telah melambat menjadi 1% pada periode tersebut. Meski begitu, ketua dan kepala eksekutif LVMH Bernard Arnault tetap optimistis.
"Hasil pada paruh pertama tahun ini mencerminkan ketahanan LVMH yang luar biasa... dalam iklim ketidakpastian ekonomi dan geopolitik,” ujar Arnault.
"Sementara tetap waspada dalam konteks saat ini, perusahaan mendekati paruh kedua tahun ini dengan percaya diri,” ungkapnya kepada investor.
Saham LVMH, rumah bagi 75 merek kelas atas termasuk Louis Vuitton, Dior dan Tiffany & Co telah turun hampir 20% selama setahun terakhir.
Perusahaan Lain Ikut Terkena Dampak
LVMH bukan satu-satunya nama besar yang merasakan perlambatan penjualan barang mewah di China.
Dalam laporan keuangan terbarunya, label fesyen kelas atas asal Inggris, Burberry mengatakan penjualannya di China telah turun lebih dari 20% dibandingkan tahun sebelumnya.
Kemudian ada Swatch Group, pembuat jam tangan asal Swiss yang memiliki Blancpain, Longines dan Omega mengatakan lemahnya permintaan di China menekan penjualannya sebesar 14,4% selama enam bulan pertama tahun 2024, dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Pemilik Cartier juga Alami Penurunan
Richemont, pemilik Cartier, juga mengalami penurunan penjualan di China, Hong Kong, dan Makau sebesar 27% pada kuartal yang berakhir pada 30 Juni.
Adapun raksasa fesyen Jerman, Hugo Boss, menurunkan perkiraan penjualannya untuk tahun ini di tengah kekhawatiran lemahnya permintaan konsumen di pasar seperti China dan Inggris.
Pelaku industri barang mewah besar lainnya, termasuk Hermes dan pemilik Gucci, Kering, akan melaporkan hasil keuangan terbaru mereka minggu ini.
Pembatasan Aksi Tunjuk Kemewahan di China menjadi Sorotan
Data terbaru dari China menunjukkan perekonomian masih berjuang untuk pulih dari penurunan akibat pandemi, karena pertumbuhan kuartal kedua dan angka penjualan ritel bulan Juni berada di bawah ekspektasi. Memamerkan merek-merek mewah secara online juga berada di bawah pengawasan otoritas China.
Pada Mei 2024, surat kabar yang dikendalikan pemerintah, Global Times, melaporkan bahwa seorang selebritas internet bernama Wanghongquanxing dilarang mengakses media sosial "di tengah tindakan keras terhadap pamer kekayaan online."
Advertisement
Populasi Menurun jadi Risiko Hambatan Kinerja Ekonomi China
Sebelumnya, penurunan pada populasi China menimbulkan kekhawatiran terkait dampak terhadap perekonomian negara itu, yang berisiko mengurangi angkatan kerja, dan memberikan tekanan pada kebijakan fiskal.
"Populasi usia kerja (di China) akan turun begitu cepat dalam dekade berikutnya, sehingga perekonomian China harus menghadapi hambatan sebesar 1% dalam pertumbuhan PDB per tahun selama 10 tahun ke depan," ungkap Darren Tay, kepala risiko negara Asia di BMI Country Risk & Industry Analysis, dikutip dari CNBC International, Jumat (5/7/2024).
"Ketegangan fiskal akibat penuaan adalah hal yang mendesak dan mengkhawatirkan," kata Economist Intelligence Unit.
Menurut EIU, menaikkan usia pensiun kini menjadi salah satu dari sedikit pilihan untuk menjaga keseimbangan fiskal jangka panjang di China.
"Perhitungan kami menunjukkan bahwa jika usia pensiun dinaikkan menjadi 65 tahun pada tahun 2035, kekurangan anggaran pensiun dapat dikurangi sebesar 20% dan pensiun bersih yang diterima dapat ditingkatkan sebesar 30%, yang berarti meringankan beban pemerintah dan rumah tangga," ujar dia.
Populasi China telah menurun selama dua tahun berturut-turut pada 2023 menjadi 1,409 miliar orang, turun 2,08 juta orang dibandingkan tahun sebelumnya, menurut data dari Biro Statistik Nasional negara itu.
Jumlah tersebut lebih besar dari penurunan populasi sekitar 850.000 pada 2022, tahun pertama jumlah kematian melebihi jumlah kelahiran di negara tersebut sejak awal tahun 1960an selama krisis Kelaparan Besar.
"Ini adalah konsekuensi dari kebijakan satu anak yang diterapkan pada tahun 1980an," ujar Erica Tay, direktur penelitian makro di Maybank.
Populasi China diperkirakan menyusut menjadi 1,317 miliar pada 2050, dan turun hampir setengahnya menjadi 732 juta pada 2100.
Tingkat Kesuburan China Menurun Lebih Cepat Dibanding Korea dan Jepang
Ekonom senior di The Economist Intelligence Unit (EIU) menyoroti tingkat kesuburan di China menurun lebih cepat dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia Timur seperti Korea Selatan dan Jepang
Dia mengatakan ketiga negara tersebut terkena dampak besar dari populasi yang menua dengan cepat, yang sebagian besar disebabkan oleh peningkatan standar hidup, yang memiliki "hubungan terbalik yang sangat kuat dengan tingkat kesuburan.:
Menyusutnya tenaga kerja
Penurunan tingkat kesuburan memberikan tekanan pada perekonomian dan masyarakat secara luas seiring dengan menyusutnya populasi pekerja.
"Tingkat kelahiran di suatu negara akan berdampak pada pertumbuhan populasi usia kerja, sekitar dua dekade ke depan," kata Tay dari Maybank.
Selain itu, penurunan tingkat kesuburan dapat berdampak pada rasio lansia yang membutuhkan dukungan dari generasi muda, yang dapat memberikan beban berlebihan pada sistem layanan kesehatan dan pensiun suatu negara, kata Tay dari Maybank.
Pada akhirnya, beban generasi muda akan bertambah karena mereka tidak hanya perlu merawat anak-anak mereka sendiri, tetapi juga orang tua mereka yang sudah lanjut usia.
“Pergeseran demografis di beberapa wilayah Asia merupakan masalah struktural yang memerlukan upaya pemerintah yang penuh tekad dan holistik, baik dalam kebijakan fiskal maupun moneter,” jelas dia.
Advertisement