Liputan6.com, Jakarta - Penetapan upah minimum 2025 tinggal menghitung hari. Namun, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta rumus penetapannya menggunakan ketentuan lama.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam turut menyoroti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sektor ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Salah satunya, adalah penetapan upah minimum yang mencakup variabel kebutuhan hidup layak (KHL). Bob bersikukuh, penetapan UMP 2025 sepatutnya masih menggunakan rumus yang sudah ada.
Baca Juga
"Namun khusus terkait dengan proses penetapan Upah Minimum untuk tahun 2025 yang sudah diambang pintu, Apindo berharap agar proses penetapan upah minimum untuk tahun 2025 masih tetap mengikuti ketentuan yang ada sebelum terbitnya putusan MK No. 168/PUU-XX1/2023 tanggal 31 Oktober 2024," ujar Bob dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Sabtu (2/11/2024).
Advertisement
Dia menilai, jika penetapannya dilakukan mengikuti keputusan MK, akan menimbulkan kerumitan. Keadaan tersebut dikatakan bisa terjadi baik di tingkat daerah maupun perusahaan.
"Hal ini mengingat kerumitan yang akan terjadi di seluruh daerah bahkan di tingkat perusahaan apabila putusan MK terkait tentang upah minimum langsung diberlakukan dan menjadi acuan penetapan upah minimum tahun 2025," urainya.
Bob menegaskan harapannya dalam menyusun kebijakan ketenagakerjaan ke depan. Dia meminta keputusan-keputusan yang diambil agar mempertimbangkan situasi ekonomi makro yang dihadapi dunia usaha.
"Kebijakan yang adaptif dan proporsional akan memberikan dampak positif tidak hanya bagi pekerja, namun juga bagi dunia usaha secara keseluruhan, untuk mempertahankan daya saing Indonesia di kancah internasional serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, utamanya untuk penciptaan kesempatan kerja yang lebih luas," pungkasnya.
Pengusaha Khawatir Investasi Terganggu
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) turut menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Cipta Kerja. Pengabulan sejumlah poin dalam UU Cipta Kerja dikhawatirkan mengganggu iklim investasi di Indonesia.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam menilai putusan MK yang membatalakn sejumlah pasal sektor ketenagakerjaan bisa berpengaruh pada ketidakpastian regulasi. Pada ujungnya, mengganggu iklim investasi.
"Dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa ketentuan kunci UU Cipta Kerja, hal ini dapat memicu ketidakpastian regulasi yang berdampak pada iklim investasi," kata Bob dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Jumat (1/11/2024).
Menurutnya, stabilitas regulasi dan kepastian hukum adalah faktor kunci bagi pelaku usaha dan investor dalam membuat perencanaan jangka panjang. Tanpa kepastian ini, Indonesia berisiko menurunkan daya tariknya sebagai tujuan investasi.
"Pada gilirannya dapat memperlambat aliran modal baru dan bahkan memengaruhi ketahanan investasi yang sudah ada," ucapnya.
Bob mengatakan, perubahan 21 pasal yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi ini akan membuat dunia usaha mengukur kembali dampak yang ada terhadap kondisi dan perencanaan perusahaan ke depan, terutama yang berpotensi meningkatkan beban operasional.
Dia menilai, dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, peningkatan beban biaya ini akan berdampak pada kemampuan perusahaan untuk menjaga daya saing.
"Beban operasional yang lebih tinggi akan menekan stabilitas produksi, terutama di sektor padat karya seperti manufaktur, yang mempekerjakan tenaga kerja dalam jumlah besar dan sensitif terhadap perubahan biaya tenaga kerja," bebernya.
Advertisement
Penguatan Industri
Di sisi lain, kata Bob, sektor industri manufaktur dan padat karya perlu diperkuat untuk meningkatkan daya saing Indonesia. Mengingat negara-negara tetangga di Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam, telah lebih dahulu menarik minat investasi multinasional ke sektor manufaktur mereka.
"Bahkan, negara-negara yang sebelumnya tertinggal seperti Kamboja, Laos, dan Myanmar mulai menawarkan fleksibilitas ketenagakerjaan dan kebijakan yang ramah investasi, sehingga menjadi tujuan yang semakin kompetitif," bebernya.
Bob menyoroti kondisi ekonomi global yang masih menghadapi berbagai tantangan. Termasuk juga adanya penurunan daya beli masyarakat.
"Dalam situasi ini, fleksibilitas dalam kebijakan ketenagakerjaan menjadi sangat penting untuk memungkinkan dunia usaha menyesuaikan diri dengan cepat dan efektif, guna mempertahankan kelangsungan operasional dan tetap berkontribusi pada perekonomian," urainya.