Liputan6.com, Jakarta Tahun 2025 menjadi tahun penuh tantangan bagi sektor manufaktur dan industri di Indonesia. Badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melanda sejumlah perusahaan di berbagai sektor yang mengalami kebangkrutan.
Salah satu perusahaan yang mengalami kebangkrutan yakni PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex. Kondisi tersebut membuat raksasa tekstil nasional itu melakukan penutupan operasional salah satu pabriknya per 1 Maret 2025, dan melakukan PHK terhadap ribuan pekerjanya.
Advertisement
Baca Juga
Kemudian ada PT Sanken Indonesia yang juga mengumumkan penutupan semua lini produksinya di kawasan industri MM 2100, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Sebanyak 400 pekerja diperkirakan akan terdampak keputusan tersebut pada Juni 2025.
Advertisement
Adapun di sektor manufaktur alat musik, PT Yamaha Music Manufacturing Indonesia yang dilanda badai PHK imbas pemberhentian produksi dan merumahkan 2.700 karyawan.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), menilai bahwa dinamika ketenagakerjaan saat ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat mikro atau terkait kondisi internal keuangan perusahaan masing-masing, maupun faktor yang sifatnya makro termasuk kondisi ekonomi global, perubahan tren industri, kenaikan biaya produksi dan kompetisi dengan produk impor, serta kebijakan ketenagakerjaan yang berlaku.
"Dalam menanggapi dinamika ini, perlu dilakukan analisis secara komprehensif dan berbasis data dengan melihatnya secara case by case. Penting untuk memahami apakah dinamika ketenagakerjaan yang terjadi merupakan keputusan bisnis yang bersifat individual atau mencerminkan tantangan industri secara makro," kata Ketua Umum APINDO, Shinta Kamdani di Jakarta, Senin (3/3/2025).
Shinta mengungkapkan, pihaknya mencermati bahwa beberapa sektor industri saat ini menghadapi tekanan ekonomi yang signifikan, yang berdampak pada keputusan bisnis yang sulit, termasuk pengurangan tenaga kerja.
Industri Padat Karya
Dia mengutip Outlook Ekonomi dan Bisnis 2025 yang telah dirilis APINDO sebelumnya, bahwa industri padat karya diprediksi masih akan menghadapi berbagai tantangan besar sepanjang tahun ini.
"Salah satu isu fundamental yang harus kita hadapi bersama adalah gejala deindustrialisasi dini, yang ditandai dengan terus menurunnya kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB, dari 29% pada tahun 2001 menjadi hanya 19% pada tahun 2024. Tren ini menunjukkan bahwa sektor industri, khususnya padat karya, membutuhkan kebijakan yang lebih mendukung agar tetap mampu bersaing dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional," paparnya.
Shinta pun menyoroti sejumlah tantangan yang dihadapi industri padat karya masih berkisar pada struktur biaya operasional yang tinggi.
Tingginya biaya tersebut mencakup logistik, kenaikan biaya produksi, kenaikan UMP yang cukup signifikan, serta tekanan dari kompetitor di negara lain yang memiliki biaya tenaga kerja lebih rendah, juga pergantian regulasi ketenagakerjaan yang terlalu sering yang menciptakan ketidakpastian yang berdampak pada minat investasi.
Pentingnya Reformasi Struktural
"Oleh karena itu, APINDO terus berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait guna mencari solusi terbaik bagi dunia usaha dan tenaga kerja, termasuk melalui peningkatan keterampilan baik itu upskilling maupun reskilling, serta kebijakan ketenagakerjaan yang mendukung peningkatan investasi pada sektor padat karya," tutur Shinta.
Shinta lebih lanjut menyarankan Pemerintah agar memastikan berjalannya reformasi struktural yang berfokus pada efisiensi biaya operasional, seperti penurunan biaya logistik, efisiensi rantai pasok, dan penyederhanaan regulasi yang sering kali menjadi hambatan bagi pelaku usaha.
"Dalam hal ini, APINDO berharap agar pemerintah terus menjalin dialog terbuka dengan dunia usaha untuk menyempurnakan kebijakan yang ada, sehingga mampu menciptakan ekosistem bisnis yang lebih sehat, berdaya saing, dan berkelanjutan," kata Shinta.
"APINDO juga senantiasa mendorong perusahaan untuk mengedepankan dialog sosial dengan para pekerja serta mengupayakan langkah-langkah yang mendukung keberlangsungan usaha dan perlindungan tenaga kerja," tuturnya.
Advertisement
Pemerintah Siapkan Skema 8.400 Karyawan PHK Sritex Kembali Bekerja 2 Pekan Lagi
Dilaporkan, sebanyak 8.400 karyawan PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan berhenti bekerja per 1 Maret 2025. Kondisi tersebut menjadi perhatian pemerintah, dengan salah satunya berupaya mempekerjakan mereka kembali, paling cepat 2 pekan ke depan.
"Bapak Presiden berkali-kali memberikan pengarahan kepada kami untuk dicarikan jalan keluar supaya teman-teman pekerja di Sritex dapat diperhatikan, dapat dicarikan solusi terhadap permasalahan yang menimpa PT Sritex," ungkap Mensesneg Prasetyo Hadi di Kantor Sekretariat Negara, Jakarta, dikutip Senin (3/3/2025).
Kurator PT Sritex Nurma Sadikin mengulas, pihaknya telah membuka opsi untuk penyewaan alat berat untuk meningkatkan harta pailit dan menjaga aset agar nilainya tidak turun.
Sejauh ini, tim kurator telah membangun komunikasi dengan sejumlah investor, yang nantinya dalam dua minggu ke depan mereka akan memutuskan siapa pihak yang akan menyewa aset Sritex tersebut.
"Yang mana ini akan menyerap tenaga kerja, yang mana juga ini bisa karyawan yang telah terkena PHK dapat di-hire kembali kemudian oleh penyewa yang baru," jelas Nurma.
Dia menegaskan, tim kurator Sritex berkomitmen untuk membayarkan seluruh hak para buruh yang terdampak PHK, yang masih dalam proses pendaftaran tagihan.
"Di situ terdapat dari hak-hak buruh, termasuk dengan pesangon dan juga hak-hak lainnya,” ungkapnya.
