Dapatkah PPN Multitarif Menjadi Solusi Adil untuk Mengurangi Ketimpangan Ekonomi?

PPN Multitarif memungkinkan tarif pajak yang berbeda diterapkan pada berbagai jenis barang dan jasa, disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan nilai ekonominya

oleh Gilar Ramdhani pada 27 Des 2024, 16:33 WIB
Diperbarui 27 Des 2024, 16:13 WIB
Dapatkah PPN Multitarif Menjadi Solusi Adil untuk Mengurangi Ketimpangan Ekonomi?
Ilustrasi pajak. (belchonock/depositphotos.com)

Liputan6.com, Jakarta Di tengah upaya pemerintah memberikan berbagai insentif pajak imbas kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% mulai Januari 2025, pemerintah juga mempertimbangkan penerapan PPN Multitarif sebagai bagian dari reformasi sistem perpajakan dan meningkatkan penerimaan negara untuk mendukung perekonomian nasional.

PPN Multitarif memungkinkan tarif pajak yang berbeda diterapkan pada berbagai jenis barang dan jasa, disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan nilai ekonominya. Kebijakan ini dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dengan membedakan tarif berdasarkan jenis dan kategori barang atau jasa. Langkah ini dapat meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani masyarakat berpenghasilan rendah, sekaligus menekan ketimpangan ekonomi.

Pengamat Perpajakan, Yustinus Prastowo menjelaskan bahwa skema multitarif PPN sebenarnya sudah mengemuka sejak penyusunan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

"Waktu itu mau multitarif, multirate mencontoh banyak negara maju agar fleksibel," kata Yustinus Prastowo dalam diskusi bertajuk 'Wacana PPN 12%: Solusi Fiskal atau Beban Baru Bagi Masyarakat beberapa waktu lalu.

Tujuan penerapan PPN Multitarif ini untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan, terutama antara masyarakat kaya dan miskin. Prastowo mencontohkan di sektor jasa makanan, kesehatan dan pendidikan yang masih kurang berkeadilan.

"Rela nggak yang makan daging wagyu 1 porsi 5 juta dengan yang makan sate madura 1 porsi 10 ribu sama-sama enggak bayar pajak? Nggak rela kan? Ada 2 anak, satunya miskin dia masuk sekolah bersubsidi, satunya sekolah di sekolah internasional, sama-sama bebas pajak. Ada 2 ibu-ibu, yang satu ke puskesmas sakit asam urat, ditanggung BPJS. Satunya ibu-ibu sosialita, estetik, operasi macam-macam, sama-sama enggak kena pajak. Adil enggak? Enggak adil. Maka waktu itu, kita mau multitarif. Biar beras premium dan daging premium bisa dikenai pajak," kata Prastowo.

Penerapan Multitarif Perlu Kesiapan Administrasi Perpajakan

Penerapan Multitarif Perlu Kesiapan Administrasi Perpajakan
Ilustrasi pajak. (razihusin/depositphotos.com)

Sayangnya penerapan PPN Multitarif tidak jadi dimasukkan, pasal 7A UU HPP tidak jadi direvisi. Saat itu, para pakar berpandangan penerapan PPN Multitarif dapat dilakukan secara bertahap dengan syarat administrasi sudah lebih mumpuni, tidak bisa tiba-tiba karena akan berbahaya.

"Waktu itu perdebatannya, boleh nggak pasalnya tetap ditulis (UU HPP)? Implementasinya bertahap atau nanti dikasih waktu? Karena kalau nggak ditulis, khawatirnya kita butuh nggak punya cantolan (dasar hukum). Keputusan waktu itu enggak usah. Kejadian sekarang, kita ribut-ribut 12 persen, mau nyantolin (pajak) barang mewah di mana nggak ada pasalnya sekarang," jelas Prastowo.

Menurut Prastowo belum adanya dasar hukum PPN Multitarif sejak penyusunan awal UU HPP bisa menjadi pelajaran bersama. Terlepas dari maksud dan tujuannya, upaya pemerintah dan DPR dalam meningkatkan penerimaan negara sudah banyak. Mulai dari memasukkan pajak karbon, menaikan tarif PPh orang super kaya, melebarkan gap pajak penghasilan karyawan dan membebaskan pajak UMKM yang omsetnya tidak lebih dari Rp500 juta.

"Sekarang kalau mau tetap naik, bisa diperkuat barang-barang yang mau di support untuk masyarakat bawah, diperlebar fasilitasnya, insentifnya yang bisa dikonsumsi masyarakat. Mari kita cari jalan tengah terbaik, bukan yang ideal memang, tapi jalan tengah terbaik," tutur Prastowo.

Barang dan Jasa Barang Bebas PPN

Konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi, Senin, 16 Desember 2024. (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)
Konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi, Senin, 16 Desember 2024. (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)

1) Barang kebutuhan pokok yaitu beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran

2) Jasa-jasa di antaranya jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa tenaga kerja serta jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum

3) Barang lainnya misalnya buku, kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, rusunami, listrik, dan air minum dan berbagai insentif PPN lainnya yang secara keseluruhan diperkirakan sebesar Rp265,6 triliun untuk tahun 2025.

"Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenai tarif 11%, kecuali beberapa jenis barang yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak, yaitu minyak goreng curah “Kita”, tepung terigu dan gula industri. Untuk ketiga jenis barang tersebut, tambahan PPN sebesar 1% akan ditanggung oleh pemerintah (DTP), sehingga penyesuaian tarif PPN ini tidak mempengaruhi harga ketiga barang tersebut," kata Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak dalam keterangan rilisnya.

Dwi menjelaskan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% tidak berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa kenaikan PPN 11% menjadi 12% hanya menyebabkan tambahan harga sebesar 0,9% bagi konsumen.

“Sementara itu, jasa layanan uang elektronik dan dompet digital bukan merupakan objek pajak baru. Artinya, berapapun nilai uang yang di-top up tidak akan mempengaruhi PPN terutang atas transaksi tersebut, karena PPN hanya dikenakan atas biaya jasa layanan untuk top up tersebut. Sehingga, sepanjang biaya jasa layanan tidak berubah, maka dasar pengenaan PPN juga tidak berubah,” jelasnya. 

Sebagaimana telah diumumkan dalam Konferensi Pers di Kantor Kemenko Perekonomian pada tanggal 16 Desember 2024, Pemerintah juga telah menyiapkan paket insentif ekonomi untuk kesejahteraan yang akan semakin melindungi kelompok masyarakat tidak atau kurang mampu, meliputi:

a) Dukungan untuk Rumah Tangga dan Individu (PMK)

b) Dukungan untuk pekerja

c) Stimulus untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) (perubahan PP 55 Tahun 2022)

d) Dukungan untuk Sektor Industri dan Padat Karya (PMK)

e) Stimulus untuk Sektor Perumahan (PMK PPN DTP)

f) Insentif untuk Sektor Otomotif (PMK PPN DTP)

Pemberian paket insentif ekonomi untuk kesejahteraan tersebut akan melengkapi berbagai program pemerintah yang saat ini telah dianggarkan dalam APBN 2025, khususnya yang berkaitan langsung dengan masyarakat, seperti Pendidikan, perlindungan social, Kesehatan dan ketahanan pangan.

"Total paket insentif ekonomi di atas sebesar Rp1.549,5 triliun (51,56% dari total penerimaan APBN 2025)," kata Dwi Astuti.

 

(*)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya