Liputan6.com, Jakarta DPR RI kembali menegaskan, penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) soal penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (bungkusan polos), berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal.
Mengingat dampak negatif yang akan ditimbulkan, DPR meminta Kementerian Kesehatan Republik Indonesia agar mengkaji ulang inisiatif tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Anggota DPR RI Komisi XI Puteri Komarudin mengatakan, rencana penyeragaman kemasan rokok perlu didalami lebih lanjut dengan menimbang kerugian sosial ekonomi yang akan terjadi.
Advertisement
Puteri khawarir kondisi di mana akan semakin sulit membedakan antara rokok legal, atau rokok yang membayar cukai, dengan rokok ilegal. Akibatnya, peredaran rokok ilegal bisa semakin meningkat. Tumbuh suburnya rokok ilegal di pasaran pun akan membuat pengawasan semakin kompleks.
"Hal ini tentu berisiko terhadap peredaran rokok ilegal yang sulit dikendalikan dan diawasi. Makanya, rencana ini perlu ditinjau kembali secara komprehensif," ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (19/1/2025).
Selain itu, pemerintah juga dinilai akan mengalami kerugian ekonomi yang besar atas peredaran rokok ilegal. Pasalnya, cukai dari Industri Hasil Tembakau (IHT) mencapai Rp 216,9 triliun atau menyumbang lebih dari 95 persen dari total penerimaan cukai pada 2024.
Anggota dari Fraksi Golkar ini juga memaparkan pada 2023, jumlah rokok ilegal yang berhasil ditindak sebesar 253,7 juta batang. Sementara pada 2024, jumlahnya meningkat menjadi 710 juta batang.
Oleh karena itu, Puteri meminta agar Pemerintah melakukan evaluasi efektivitas kebijakan untuk Rancangan Permenkes yang diinisasi oleh Kementerian Kesehatan ini.
"Bersamaan dengan hal tersebut, pemerintah juga perlu menggencarkan upaya penindakan dan penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal," ungkapnya.
Pengembangan IHT
Selain itu, ia mendesak agar dibuatnya roadmap atau peta jalan pengembangan IHT. Permintaan ini sebelumnya sudah didorong kepada Pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan pada 2022.
Menurut dia, roadmap ini penting untuk memberikan kejelasan bagi industri, petani, dan pekerja di sektor tembakau terkait kemana arah pengembangan IHT ke depan.
Seperti diketahui, IHT merupakan salah satu industri yang menyerap sekitar 6 juta tenaga kerja, mulai dari petani tembakau, pekerja pabrik, hingga pedagang. Bahkan, di sektor SKT yang padat karya, secara nasional, 90 persen tenaga kerjanya adalah perempuan yang merupakan tulang punggung keluarga.
Maka, penerapan kebijakan yang serampangan seperti Rancangan Permenkes bisa berdampak pada keberlangsungan industri, pekerja, dan petani tembakau. Puteri mengatakan, perlu dicari titik temu yang menyeimbangkan antara alasan kesehatan untuk pengendalian konsumsi rokok dengan dampak negatif secara ekonomi.
"Saya berpesan agar kementerian/lembaga bisa saling koordinasi dalam merumuskan rencana ini dengan melibatkan aspirasi dari masyarakat, pekerja, petani, dan pelaku industri," tegasnya.
Advertisement
Penyeragaman Kemasan Rokok Dinilai Langgar Hak Konsumen, Kenapa?
Rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dinilai melanggar hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang akurat, jelas, dan detail mengenai produk yang dikonsumsi. Para pengamat juga menilai aturan ini sebagai bentuk pembangkangan dari kebijakan yang hierarkinya lebih tinggi.
Pengamat Hukum, Ali Ridho, mengatakan rokok merupakan produk legal yang memiliki hak untuk dipasarkan kepada konsumen dewasa. Penerapan aturan tersebut melanggar hak konsumen yang telah dijamin dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tidak hanya itu, penyusunan kebijakan tersebut juga melanggar Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) produk dan dagang yang berlaku.
"Dari hierarki PP, menempatkan aturan yang lebih rendah harus koheren dengan aturan yang lebih tinggi. Kalau lebih rendah yang menyimpang aturan lebih tinggi, baik UU Kesehatan, UU Keterbukaan Informasi publik, UU Perlindungan Konsumen, maka bukan hanya keliru tapi sudah membangkang dari aturan lebih tinggi. Konsekuensinya secara yuridis ini sudah cacat materil," ujar Ali dalam keterangan tertulis, Rabu (15/1/2025).
Ali meminta kepada lembaga dan kementerian di Pemerintahan Indonesia untuk melihat alasan di balik bermasalahnya struktur aturan. Ali menjelaskan, ada tiga lapis yang perlu diketahui, yaitu, substansi, aparatur, atau budaya hukum yang bermasalah.
Ketiga lapis tersebut nyatanya tidak dipahami secara serius oleh lembaga pembentuk aturan, sehingga malah menimbulkan masalah baru saat membuat aturan baru. Menurut Ali, dibanding dengan terus mengubah aturan untuk menyempurnakan kebijakan yang sudah ada, Kementerian Kesehatan sebaiknya lebih menguatkan penegakan hukum yang konsisten.
"Penyakit hukum kita ini ada di penegakkan hukum, aturan tidak ada yang begitu bermasalah, hanya saja cara pandangannya ketika timbul dari adanya ketidakektifitasan pencegahan merokok dianggap substansinya bermasalah padahal itu tidak bermasalah, tinggal penegakannya," kata Ali.
Ali mencontohkan dengan aturan yang semakin ketat tanpa adanya penindakan yang optimal dan konsisten, justru malah membuat peredaran rokok ilegal semakin besar dan liar.
Ada Rencana Kemasan Rokok Polos, Pekerja Industri Tembakau Terancam Kena PHK
Sebelumnya, rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (plain packaging) terus menuai polemik. Kehadiran industri tembakau, termasuk di dalamnya sektor sigaret kretek tangan yang padat karya, dinilai perlu mendapatkan perlindungan.
Pakar Hukum Kris Wijoyo Soepandji, melihat perlu adanya pertimbangan untuk dampak negatif yang muncul atas berbagai kebijakan yang diberlakukan untuk industri tembakau. Salah satu yang disoroti adalah Rancangan Permenkes yang merupakan aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Kris menganggap rencana aturan ini bisa mengancam pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap para pekerja di industri tembakau yang padat karya. Padahal, pada masa pandemi lalu, pemerintah melakukan berbagai langkah tepat untuk melindungi masyarakat yang terlibat dalam sektor padat karya seraya meningkatkan pendapatan negara. Oleh sebab itu, ia mengimbau pemerintah untuk tetap mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang melindungi perekonomian nasional pascapandemi.
“Yang perlu kita lihat secara lebih bijaksana adalah apakah betul kebijakan itu, dalam bentuk hukum, akan bisa mendorong kemajuan, kesejahteraan masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Maka, dalam menentukan kebijakan yang mendorong tujuan tersebut, Kris meminta pemerintah untuk mengeluarkan aturan yang sesuai dengan tujuan pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Presiden RI Prabowo Subianto. Ia juga menilai perlu adanya pelibatan publik dari berbagai sektor agar pemerintah memiliki pertimbangan yang kuat untuk mengambil keputusan yang tepat dalam mengedepankan seluruh aspek kepentingan nasional.
Selain itu, Kris menilai bahwa suatu kebijakan harus dilihat dari sisi positive externality dan negative externality atau manfaat serta biaya yang ditimbulkan dari kegiatan ekonomi. Jika memang terdapat negative externality, maka pemerintah akan melakukan pengendalian dengan berbagai opsi yang tidak merugikan perekonomian nasional. Dalam hal ini, Rancangan Permenkes dinilai berisiko menggerus pendapatan negara, sedangkan visi pengendalian konsumsi rokok dalam beleid tersebut masih diragukan.
Advertisement