PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) meminta pemerintah terlebih dulu menghabiskan kontrak karya awal sebelum membicarakan negosiasi kontrak baru pertambangan ini.
"Mbok ya, bahwa kontrak karya yang sudah pernah ditandatangani tahun 1986 biar saja sampai selesai, kan begitu. Baru nanti kalau sudah selesai baru kita ikut. Itu harapan kita," ujar Presiden Direktur PT Newmont NTT Martiono Hadianto saat menggelar halal bihalal dengan Media di Hotel JW Marriot, Jakarta, Selasa (27/8/2013).
Kontrak karya yang ditandatangani Newmont pada tahun 1986 tersebut baru berakhir pada 2030. Pemerintah selanjutnya berencana membeli 7% sisa saham melalui pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat (NTB).
Mationo menambahkan apabila dalam perjalanan kontrak tersebut terdapat perubahan aturan atau undang-undang (UU) dan perlu dibicarakan dengan manajemen, pihaknya membuka pintu lebar-lebar untuk berdiskusi. "Tapi kalau satu renegosiasi kontrak kerja, satu negosiasi undang-undang sulit ketemu," tegas dia.
Lebih lanjut mengenai kontrak karya, kata Martiono, saat ini pembicaraan dengan pemerintah dan perseroan masih dalam taraf penegasan posisi dan kewenangan.
"Perkara ketemu dan diskusi itu sudah tahun 2010, ada prinsip-prinsip dan sudah hampir ada kesepakatan. Terakhir, posisi pemerintah apa, posisi kita apa, situasinya begitu," jelas dia.
Sesuai kontrak karya, Newmont diwajibkan menjual 31% sahamnya kepada pemerintah Indonesia dan ditargetkan selesai pada 2010.
Pada tahap awal, sebesar 24% saham dibeli pemerintah daerah senilai US$ 1,17 miliar, namun sisanya sebesar 7% hingga saat ini masih bermasalah.
Hal tersebut karena pemerintah pusat ingin menguasai sisa saham Newmont, sementara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melarang dengan alasan akan menganggu anggaran negara jika digunakan untuk membeli saham Newmont dan pemerintah daerah NTB lebih berhak memiliki sisa saham tersebut.
Padahal hasil negosiasi antara pemerintah pusat dan Newmont telah menyepakati harga 7% saham senilai US$ 246,8 juta. (Yas/Nur)
"Mbok ya, bahwa kontrak karya yang sudah pernah ditandatangani tahun 1986 biar saja sampai selesai, kan begitu. Baru nanti kalau sudah selesai baru kita ikut. Itu harapan kita," ujar Presiden Direktur PT Newmont NTT Martiono Hadianto saat menggelar halal bihalal dengan Media di Hotel JW Marriot, Jakarta, Selasa (27/8/2013).
Kontrak karya yang ditandatangani Newmont pada tahun 1986 tersebut baru berakhir pada 2030. Pemerintah selanjutnya berencana membeli 7% sisa saham melalui pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat (NTB).
Mationo menambahkan apabila dalam perjalanan kontrak tersebut terdapat perubahan aturan atau undang-undang (UU) dan perlu dibicarakan dengan manajemen, pihaknya membuka pintu lebar-lebar untuk berdiskusi. "Tapi kalau satu renegosiasi kontrak kerja, satu negosiasi undang-undang sulit ketemu," tegas dia.
Lebih lanjut mengenai kontrak karya, kata Martiono, saat ini pembicaraan dengan pemerintah dan perseroan masih dalam taraf penegasan posisi dan kewenangan.
"Perkara ketemu dan diskusi itu sudah tahun 2010, ada prinsip-prinsip dan sudah hampir ada kesepakatan. Terakhir, posisi pemerintah apa, posisi kita apa, situasinya begitu," jelas dia.
Sesuai kontrak karya, Newmont diwajibkan menjual 31% sahamnya kepada pemerintah Indonesia dan ditargetkan selesai pada 2010.
Pada tahap awal, sebesar 24% saham dibeli pemerintah daerah senilai US$ 1,17 miliar, namun sisanya sebesar 7% hingga saat ini masih bermasalah.
Hal tersebut karena pemerintah pusat ingin menguasai sisa saham Newmont, sementara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melarang dengan alasan akan menganggu anggaran negara jika digunakan untuk membeli saham Newmont dan pemerintah daerah NTB lebih berhak memiliki sisa saham tersebut.
Padahal hasil negosiasi antara pemerintah pusat dan Newmont telah menyepakati harga 7% saham senilai US$ 246,8 juta. (Yas/Nur)