Nelayan, Jadi Bintang Iklan Kampanye Lalu Dilupakan

Musim kampanye dimanfaatkan oleh sejumlah politikus dengan menggaet para petani dan nelayan sebagai bintang iklan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 21 Okt 2013, 15:55 WIB
Diterbitkan 21 Okt 2013, 15:55 WIB
nelayan-bbg-130707b.jpg
Musim kampanye kerap dimanfaatkan sejumlah politikus untuk jor-joran mengumbar janji manis kepada seluruh masyarakat Indonesia. Salah satu caranya menggunakan bintang iklan para petani dan nelayan guna menarik perhatian publik.

"Petani dan nelayan selalu menjadi jargon atau bintang iklan kampanye. Tapi ujung-ujungnya malah dilupakan," kata Wakil Ketua Umum Kelautan dan Perikanan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Yugi Prayanto di kantor Kementerian Perekonomian, Senin (21/10/2013).  

Lebih jauh dia mengeluhkan, sektor perikanan masih dianggap sebelah mata. Padahal industri ini merupakan salah satu sektor andalan masa depan untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Sehingga sektor perikanan menjadi wajib untuk diprioritaskan para orang-orang yang terpilih dalam pemilihan umum tahun depan.  

"Masyarakat bertambah, tapi makanan begini-begini saja. Makanan olahan dari ikan lebih sehat daripada daging merah, sehingga potensi bisnis bagi pelaku usaha sangat besar di sektor tersebut ke depan," tutur dia.

Menurut Yugi, kebutuhan para nelayan dan pengusaha di sektor perikanan dan kelautan saat ini adalah perbaikan sistem logistik nasional, bahan bakar, serta pinjaman kredit perbankan.

"Di Kamboja dan Vietnam, nelayan dan pengusaha lebih mudah menjalankan bisnisnya karena perbankan berani memberikan pinjaman dengan kredit di bawah dobel digit. Infrastruktur juga dipersiapkan sehingga distribusi hasil tangkapan laut ke berbagai daerah lebih mudah," ujar Yugi.

Asisten Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Pangan dan Sumber Daya Hayati Kementerian Bidang Perekonomian, Wiwiek Dwi Saksiwi menambahkan, transportasi menjadi masalah terbesar di Papua Barat atau daerah Indonesia Timur yang memiliki potensi cukup besar di sektor ini.

"Untuk bawa hasil tangkapan dari Papua Barat ke kontainer 20 feet menuju Pelabuhan di Surabaya atau Makassar, biayanya hamoir Rp 25 juta sehingga harga jadi susah bersaing. Harga bahan bakar juga mahal bisa mencapai Rp 12 ribu per liter bikin nelayan mengeluh, dan bangsa ini bangkrut," kata Wiwiek.

Kondisi tersebut, tambah Wiwiek, mendorong biaya eksploitasi dan penangkapan yang bisa berhari-hari menjadi semakin tinggi. "Jadi saran saya, pemerintah harus memperbesar anggaran kelautan dan perikanan supaya bisa memberikan subsidi bagi nelayan," tutur Wiwiek. (Fik/Ahm)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya