Upaya PT Pertamina untuk menyelesaikan konflik dengan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) pada 11 pipa yang berlokasi diwilayah Jawa Barat dan Jawa Timur dinilai tidak efektif.
Peneliti dari Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi berpendapat apa dilakukan oleh perusahaan BUMN yang dipimpin oleh Karen Agustiawan itu bukan merger, melainkan pengambilalihan alias akuisisi PGN oleh Pertagas. Pasalnya, akuisisi umumnya dilakukan perusahaan yang lebih besar terhadap perusahaan yang lebih kecil.
"Dan akan menjadi anomali, jika Pertagas yang asetnya lebih kecil ‘mencaplok’ PGN yang memiliki aset jauh lebih besar. Apalagi, kiprah PGN di perniagaan gas bumi jauh lebih lama ketimbang Pertagas," ujarnya dalam keterangan pers seperti ditulis Senin (25/11/2013).
Menurut Fahmi, hal seperti ini mirip ketika KPC (Kalimantan Prima Coal) diakuisisi Bumi Resources. Sebab itu, dia meminta Pertamina menyediakan dana segar dalam jumlah besar untuk membeli saham PGN. Khususnya, yang dimiliki oleh publik.
Jika merujuk data Bursa Efek Indonesia (BEI), saat ini kapitalisasi saham PGN di pasar bursa mencapai Rp 115 triliun. Pemerintah memiliki 56,97% saham dan 43,03% milik publik. Artinya, jika Pertamina akan membeli saham pemerintah yang ada di PGN, maka Pertamina mesti menyiapkan dana minimal Rp 70 triliun atau setara dengan 56,97% saham.
"Belum lagi ditambah dengan kewajiban untuk melaksanakan tender offer (membeli saham di investor publik) saham PGN sesuai dengan peraturan otoritas pasar modal," jelasnya.
Fahmi mengataka, dana yang dimiliki oleh Pertamina akan jauh lebih produktif jika digunakan untuk membiayai usaha pengeboran dan pembangunan kilang minyak, sehingga tidak perlu membebani APBN.
Diketahui, persaingan antara PGN dengan Pertamina dalam pengelolaan gas kian sengit. Akibatnya, terjadi persinggungan pipa pada 11 titik di area Jawa Barat dan Jawa Timur yang menimbulkan keberatan dari Pertagas, sehingga menghambat pengembangan jaringan pipa yang sedang dibangun PGN. (Dny/Ndw)
Peneliti dari Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi berpendapat apa dilakukan oleh perusahaan BUMN yang dipimpin oleh Karen Agustiawan itu bukan merger, melainkan pengambilalihan alias akuisisi PGN oleh Pertagas. Pasalnya, akuisisi umumnya dilakukan perusahaan yang lebih besar terhadap perusahaan yang lebih kecil.
"Dan akan menjadi anomali, jika Pertagas yang asetnya lebih kecil ‘mencaplok’ PGN yang memiliki aset jauh lebih besar. Apalagi, kiprah PGN di perniagaan gas bumi jauh lebih lama ketimbang Pertagas," ujarnya dalam keterangan pers seperti ditulis Senin (25/11/2013).
Menurut Fahmi, hal seperti ini mirip ketika KPC (Kalimantan Prima Coal) diakuisisi Bumi Resources. Sebab itu, dia meminta Pertamina menyediakan dana segar dalam jumlah besar untuk membeli saham PGN. Khususnya, yang dimiliki oleh publik.
Jika merujuk data Bursa Efek Indonesia (BEI), saat ini kapitalisasi saham PGN di pasar bursa mencapai Rp 115 triliun. Pemerintah memiliki 56,97% saham dan 43,03% milik publik. Artinya, jika Pertamina akan membeli saham pemerintah yang ada di PGN, maka Pertamina mesti menyiapkan dana minimal Rp 70 triliun atau setara dengan 56,97% saham.
"Belum lagi ditambah dengan kewajiban untuk melaksanakan tender offer (membeli saham di investor publik) saham PGN sesuai dengan peraturan otoritas pasar modal," jelasnya.
Fahmi mengataka, dana yang dimiliki oleh Pertamina akan jauh lebih produktif jika digunakan untuk membiayai usaha pengeboran dan pembangunan kilang minyak, sehingga tidak perlu membebani APBN.
Diketahui, persaingan antara PGN dengan Pertamina dalam pengelolaan gas kian sengit. Akibatnya, terjadi persinggungan pipa pada 11 titik di area Jawa Barat dan Jawa Timur yang menimbulkan keberatan dari Pertagas, sehingga menghambat pengembangan jaringan pipa yang sedang dibangun PGN. (Dny/Ndw)