Pemerintah pekan ini dijadwalkan akan mengeluarkan paket kebijakan jilid dua yang diyakini mampu meredam gejolak melebarnya defisit neraca transaksi berjalan. Sayangnya, kebijakan yang diharapkan bisa menjadi solusi ini justru ditanggapi miring kalangan ekonom.
Forum Ekonom Indonesia menilai kebijakan baru yang dikeluarkan pemerintah tidak akan terlalu berdampak terhadap neraca transaksi berjalan karena langkah-langkah yang diutamakan dalam paket kebijakan kurang strategis.
"Kebijakan yang baru itu efektivitasnya akan berkurang karena impact terlalu kecil, karena mobil mewah atau barang mewah itu orang Indonesia makin mahal harganya makin dibeli, jadi tidak akan ada impact," ungkap anggota Forum Ekonom Indonesia, Aviliani di Jakarta, Senin (2/12/2013).
Aviliani menjelaskan, kenaikan pajak barang mewwah yang diharapkan mengurangi laju impor, tidak seimbang dengan konsumsi domestik terkait barang-barang dari luar negeri.
"Kata Pak Fuad (Dirjen Pajak,red) kenaikan pajak naik, tapi kenaikan pajak tidak seimbang dengan kenaikan impornya yang membuat rupiah semakin melemah. Menurut saya kalau mau memilih itu pilihlah yang signifikan," tegasnya.
Melihat tujuan dari kebijakan jilid dua yang diarahkan untuk mengurangi kebutuhan barang-barang impor, Aviliani mengungkapkan ada sejumlah item pengenaan pajak impor yang seharusnya meningkat. Salah satunya adalah Bahan Bakar Minyak (BBM) dan baja yang memiliki porsi cukup besar dalam importasi.
"Impor baja kita tinggi karena itu ada pembangunan infrastruktur dan properti, ini yang harusnya dipilah lagi. Dimana yang berkaitan dengan infrastruktur itu tidak bisa direm, jadi dari sini kalau sebenarnya efektifitasnya akan relatif terlihat kalau mainnya disitu," kata Aviliani.
Sementara untuk menekan impor BBM, aviliani mendukung untuk menerapkan penggunaan BBM non subsidi bagi kendaraan pribadi dan peningkatan mandatori mengenai konversi BBM ke biodisel dari 10% menjadi 30%. (Yas/Shd)
Forum Ekonom Indonesia menilai kebijakan baru yang dikeluarkan pemerintah tidak akan terlalu berdampak terhadap neraca transaksi berjalan karena langkah-langkah yang diutamakan dalam paket kebijakan kurang strategis.
"Kebijakan yang baru itu efektivitasnya akan berkurang karena impact terlalu kecil, karena mobil mewah atau barang mewah itu orang Indonesia makin mahal harganya makin dibeli, jadi tidak akan ada impact," ungkap anggota Forum Ekonom Indonesia, Aviliani di Jakarta, Senin (2/12/2013).
Aviliani menjelaskan, kenaikan pajak barang mewwah yang diharapkan mengurangi laju impor, tidak seimbang dengan konsumsi domestik terkait barang-barang dari luar negeri.
"Kata Pak Fuad (Dirjen Pajak,red) kenaikan pajak naik, tapi kenaikan pajak tidak seimbang dengan kenaikan impornya yang membuat rupiah semakin melemah. Menurut saya kalau mau memilih itu pilihlah yang signifikan," tegasnya.
Melihat tujuan dari kebijakan jilid dua yang diarahkan untuk mengurangi kebutuhan barang-barang impor, Aviliani mengungkapkan ada sejumlah item pengenaan pajak impor yang seharusnya meningkat. Salah satunya adalah Bahan Bakar Minyak (BBM) dan baja yang memiliki porsi cukup besar dalam importasi.
"Impor baja kita tinggi karena itu ada pembangunan infrastruktur dan properti, ini yang harusnya dipilah lagi. Dimana yang berkaitan dengan infrastruktur itu tidak bisa direm, jadi dari sini kalau sebenarnya efektifitasnya akan relatif terlihat kalau mainnya disitu," kata Aviliani.
Sementara untuk menekan impor BBM, aviliani mendukung untuk menerapkan penggunaan BBM non subsidi bagi kendaraan pribadi dan peningkatan mandatori mengenai konversi BBM ke biodisel dari 10% menjadi 30%. (Yas/Shd)