ITdBI 2017: Pembalap Terkesan Pakai Sarung dan Kopiah

Etape empat ITdBI dimulai dari Pondok Pesantren Darussalam.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 30 Sep 2017, 16:00 WIB
Diterbitkan 30 Sep 2017, 16:00 WIB
ITdBI
Peserta memakai sarung dan kopiah sebelum memulai etape empat International Tour de Banyuwangi Ijen (ITdBI) 2017, Sabtu (30/9/2017). (Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Banyuwangi - Peserta International Tour de Banyuwangi Ijen (ITdBI) 2017 mencoba memakai sarung dan kopiah sebelum memulai etape empat, Sabtu (30/9/2017). Balap sepeda internasional itu mengambil start di Pondok Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi.

Sebelum ITdBI kembali bergulir, pembalap dan panitia lomba dari Federasi Sepeda Internasional diajak ikut mengenakan sarung dan kopiah. Mereka terkesan dengan tradisi pesantren. Ribuan santri pun menyambut gegap gempita para pembalap yang datang dari 29 negara. Para santri mencoba menjalin komunikasi menggunakan Bahasa Inggris.

Pembalap asal Selandia Baru, Matthew Zennovich, terkesan dengan pengalaman pertamanya mengenakan sarung dan kopiah. Dia sempat bertanya kegunaannya dan para santri lalu menerangkan. "Nyaman juga dipakai. Sedikit seperti orang Skotlandia," ucap Zennovich.

Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas mengatakan, ajang internasional seperti ITdBI sangat efektif dijadikan sarana pengenalan dan promosi terhadap tradisi pesantren yang merupakan ikon pendidikan asli nusantara, sekaligus mengampanyekan nilai-nilai toleransi.

"Kami kenalkan ke publik global tentang tradisi pendidikan Islam di Indonesia yang khas dan punya sejarah panjang dalam menyemaikan nilai-nilai Islam yang penuh damai. Anak-anak muda Banyuwangi yang jadi pendamping tim-tim luar negeri telah kami minta untuk menjelaskan kepada mereka tentang apa itu pesantren dan perannya di Indonesia," tutur Abdullah Azwar Anas.

Dia melanjutkan, Pesantren Darussalam dipilih sebagai lokasi start karena lokasinya berada di daerah yang heterogen. Di sekitar pesantren juga terdapat masyarakat yang memeluk Hindu dan agama lain.“Meski demikian, tak pernah ada konflik karena perbedaan agama. Mereka saling menghormati, gotong-royong membangun daerahnya,” kata Abdullah Azwar Anas.

Keharmonisan yang terjalin di tengah perbedaan agama tak terlepas dari peran pesantren. Pengasuh Ponpes Darussalam, KH Hisyam Syafaat mengatakan, perbedaan agama bukanlah sekat yang jadi pemisah anggota masyarakat.

"Prinsip menjaga kerukunan tidak hanya untuk mereka yang ada di lingkungan pesantren saja, tapi juga diajarkan kepada masyarakat luas. Sehingga prinsip tersebut menjadi budaya yang baik di tengah masyarakat," ujarnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya