Liputan6.com, Jakarta - Piala Dunia 2022 memiliki bakat untuk menjadi edisi paling kontroversial. Di tengah masalah-masalah yang ada, Lionel Messi mempertegas klaim dirinya sebagai pemain terhebat sepanjang masa.
Dugaan suap pada proses pemilihan tuan rumah, cuaca kurang bersahabat, perlakuan terhadap pekerja migran, persamaan hak asasi manusia, hingga penjualan alkohol adalah isu-isu yang mengiringi persiapan Qatar menggelar Piala Dunia pertama di kawasan Timur Tengah.
Kampanye negatif dan gugatan datang bertubi-tubi dari Barat. Belum lagi muncul problema lain kala kompetisi digelar, di antaranya akomodasi yang tidak memadai.
Advertisement
Situasi ini begitu menggangu sejumlah kontestan, sehingga memengaruhi performa di lapangan. Jerman kecewa rencana mengenakan ban kapten pelangi sebagai tanda dukungan terhadap LGBT ditolak FIFA, yang mengancam bakal menjatuhkan sanksi disiplin kepada pemain.
Manuel Neuer dan kawan-kawan lalu memilih protes dengan menutup mulut pada sesi foto tim jelang pertandingan pembuka melawan Jepang. Mereka takluk 1-2 di laga tersebut meski sempat memimpin. Der Panzer sempat bangkit dengan mengimbangi Spanyol. Namun, Jerman pada akhirnya tersisih di fase grup karena kemenangan atas Kosta Rika tidak cukup.
Juara dunia empat kali itu bukan satu-satunya negara unggulan yang gagal memenuhi ekspektasi. Belgia, Uruguay, Brasil, hingga Portugal juga urung memenuhi standar. Belanda dan Inggris boleh berkilah karena disisihkan sesama tim kuat. Namun, rasa penyesalan akan tetap ada mengingat cara mereka tersingkir.
Seiring keterpurukan favorit, muncul kuda hitam yang menarik perhatian. Arab Saudi sukses membungkam Argentina. Korea Selatan dan Jepang mampu mencapai babak gugur, dengan Kroasia hampir mengulang capaian empat tahun lalu di Rusia.
Kejutan terbesar jadi milik Maroko. Mereka mengukuhkan diri sebagai negara Afrika terbaik di Piala Dunia dengan mencapai semifinal.
Panggung La Pulga
Sepanjang sejarah kompetisi, aksi brilian individu yang menentukan keberhasilan tim menjadi juara bisa dihitung dengan jari. Performa Messi di Qatar 2022 masuk kategori itu, mengikuti Meksiko 1986 ketika Diego Maradona membawa Negeri Tango menduduki takhta.
Seakan jadi suratan taknir, Messi memang diharapkan bisa mengakhiri paceklik Argentina sejak muncul di pentas utama. Sebuah tuntutan yang juga dialami bocah ajaib Argentina pendahulunya, mulai Ariel Ortega, Juan Roman Riquelme, hingga Pablo Aimar.
Messi gagal membantu para seniornya itu saat ambil bagian di Piala Dunia 2006 dan 2010. Sosok kelahiran Rosario ini juga urung melakukannya saat berada pada usia emas dan memimpin La Albiceleste di 2014 atau 2018.
Baru di penghujung karier Messi bisa mewujudkan harapan. Dia membantu Argentina menaklukkan Prancis 4-2 (3-3) melalui adu penalti untuk merebut gelar ketiga sepanjang sejarah. Messi mencapai ini pada usia 35 tahun dalam penampilan terakhir di Piala Dunia.
"Ini adalah impian setiap anak-anak. Saya beruntung bisa memenangkan segalanya dalam karier. Tapi ada satu yang hilang," ungkap Messi, dilansir ESPN.
"Lihat dia, betapa indahnya! Saya sangat menginginkan trofi ini. Kami sempat menderita dalam perjalanan, namun akhirnya bisa mendapatkannya. Saya ingin menutup karier dengan trofi ini. Sekarang saya tidak bakal meminta apa-apa lagi. Terima kasih Tuhan yang sudah memberi semuanya," sambung Messi.
Peran krusial La Pulga Messi terlihat dari berbagai statistik. Dia tercatat cuma gagal menyumbang gol atau assist pada duel kontra Polandia di fase Grup C.
Performa tersebut berbuah sejumlah rekor. Messi mengukuhkan diri sebagai pemain pertama yang mencetak gol pada tiap fase Piala Dunia. Selain dua gol di final, sebelumnya Messi merobek gawang Arab Saudi dan Meksiko (grup), Australia (16 besar), Belanda (8 besar), serta Kroasia (semifinal).
Messi juga jadi pemain dengan jumlah pertandingan terbanyak di Piala Dunia. Melakoni 26 partai, dia mengungguli legenda Jerman Lothar Matthaus.
La Pulga turut menahbiskan diri sebagai pemain tersubur sepanjang masa Argentina di Piala Dunia. Sebelumnya tertinggal dari Gabriel Batistuta, dia kini unggul tiga angka atas sang legenda dengan total menciptakan 13 gol.
Pemain Paris Saint-Germain ini total mencetak tujuh gol di turnamen, hanya kalah dari striker Prancis Kylian Mbappe. Messi turut membuat tiga assist, tertinggi pada kategori statistik tersebut bersama empat pemain lain.
Advertisement
Gebrakan Maroko
Di balik aksi Messi, cerita besar lain hadir dari Qatar. Maroko mencatat sejarah dalam kondisi unik. Mayoritas dari anggota skuad lahir di negara lain, tepatnya 14 dari 26 orang. Daftarnya pun bukan sembarangan, melainkan pilar-pilar tim.
Yassine Bounou, yang sudah membukukan tiga clean sheet di Piala Dunia Qatar, lahir di Montreal, Kanada. Achraf Hakimi (Madrid) dan Munir Mohamedi (Melilla) lahir di Spanyol.
Kapten Romain Saiss (Bourg-de-Peage) dan Sofiane Boufal (Paris) lahir di Prancis. Sedangkan Noussair Mazraoui (Leiderdorp), Sofyan Amrabat (Huizen), Hakim Ziyech (Dronten), hingga Zakaria Aboukhlal (Rotterdam) lahir di Belanda.
Dari Belgia ada Selim Amallah (Hautrage), Ilias Chair (Antwerp), Bilal El Khannous (Strombeek-Bever), dan Anass Zaroury (Mechelen). Sementara Walid Cheddira lahir di Loreto, Italia.
Bersama putra-putra kelahiran Casablanca, Safi, Fes, dan Beni Mellal, mereka menciptakan sejarah menjadi wakil Afrika pertama yang mencapai semifinal Piala Dunia. Maroko melampaui capaian Kamerun (1990), Senegal (2002), dan Ghana (2010) yang terhenti di 8 besar.
Kumpulan diaspora ini bukanlah kacang yang lupa kulitnya. Ziyech dan kawan-kawan memaksimalkan keuntungan yang didapat dari negara kelahiran untuk kepentingan tanah leluhur.
Dalam hal ini bekal yang diterima adalah ilmu sepak bola. Harus diakui pembinaan sepak bola lebih baik di Eropa. Sistem di sana sudah berjalan mulus untuk melahirkan pemain-pemain terbaik.
Anak-anak keturunan Maroko berkembang di sana dan hasilnya terlihat di Qatar.
Padahal, dengan pembinaan dan talenta yang dimliki, para diaspora Maroko sudah mendapat godaan untuk membela tanah kelahiran di pentas internasional. Ada banyak keuntungan juga yang didapat. Salah satunya berupa prestise. Dengan memperkuat negara Eropa, karier mereka otomatis turut terdongkrak.
Beberapa diaspora itu bahkan sudah tampil bersama tim nasional junior negara kelahiran. Namun, ketika proposal sesungguhnya tiba, para diaspora Maroko memilih membela tanah leluhur.
"Meski lahir di Belanda, saya merasa sebagai orang Maroko. Banyak orang tidak mengerti perasaan yang saya punya," kata Ziyech saat memilih tim nasional, tujuh tahun lalu.
Seperti diketahui, FIFA mengizinkan pemain berganti haluan di level internasional, asalkan yang bersangkutan belum bermain di level senior. Maroko memaksimalkan itu untuk membangun timnas yang kini ditakuti.