Liputan6.com, Jakarta - Susi Susanti adalah Ratu Bulu Tangkis Dunia. Ini tak lepas dari prestasi yang dia torehkan sepanjang lebih 20 tahun di olahraga tepok bulu itu, tidak hanya membuat harum Indonesia, melainkan juga menjadi kekaguman dunia.
Wanita kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 11 Februari 1971, itu pernah memenangkan All England 1990, 1991, 1993, dan 1994. Selain itu, Susi juga pernah menjuarai World Badminton Grand Prix Finals lima kali berturut-turut dari 1990 hingga 1994 serta di 1996, dan Kejuaraan Dunia IBF pada 1993.
Baca Juga
Puncaknya, Susi memenangkan medali emas tunggal putri Olimpiade Barcelona 1992 di Spanyol. Dia juga meraih perunggu Olimpiade Atlanta 1996 di Amerika Serikat.
Advertisement
Wanita yang dijuluki ballerina ketika masih bermain ini juga memimpin tim Indonesia menang atas juara abadi Tiongkok di Piala Uber 1994 dan 1996. Dia juga meraih gelar Japan Open tiga kali dan Indonesian Open lima kali. Susi juga memenangkan banyak seri Badminton Grand Prix dan lima Badminton World Cup.
Hebatnya, pemilik nama lengkap Lucia Francisca Susy Susanti Haditono ini merupakan satu-satunya pebulu tangkis wanita yang memegang gelar tunggal putri Olimpiade, Kejuaraan Dunia, dan All-England secara bersamaan.
Tetapi untuk meraih itu semua, kisah hidup Susi yang dibuat menjadi film biopik berjudul Susi Susanti: Love All, ini tak mudah. Banyak rintangan dan jalan tidak dilurus yang harus dilewati istri dari Alan Budi Kusuma ini, pebulu tangkis yang bersama Susi meraih medali emas tunggal putra Olimpiade Barcelona 1992.
Â
Â
Hijrah ke Jakarta Berpisah dengan Orang Tua
Perjuangan Susi Susanti menjadi Ratu Bulu Tangkis Dunia dimulai dengan keputusan hijrah ke Jakarta pada 1985 saat usia 14 tahun. Dia menerima pinangan dari Jaya Raya setelah bakatnya terpantau dalam kejuaraan-kejuaraan bulu tangkis di sejumlah daerah.
Sebenarnya Susi juga mendapat tawaran dari klub besar lainnya, yakni Djarum. Namun, setelah berunding dengan orang tuanya, dia memutuskan memilih Jaya Raya yang berada di Jakarta. "Salah satunya mungkin idola saya, Pak Rudy Hartono yang menjadi pelatih di sana," kata Susi kepada Sheila Octarina dalam program Bincang Liputan6.
"Lalu alasan kedua juga karena saudara-saudara banyak di Jakarta dibanding di Kudus. Nah, itu yang menjadi pilihan orangtua saya. Akhirnya di usia 14 tahun saya pindah ke Jakarta, masuk ke asrama, dan di situlah saya memutuskan bahwa ini adalah mungkin karier saya, impian saya dan bulu tangkis tidak hanya sebagai hobi buat saya, tapi sudah menjadi profesi saya," lanjut Susi.
Berpisah dengan orang tua adalah salah satu momen terberat untuk Susi Susanti. "Pada saat dalam proses menuju impian saya, bagaimana saya harus berpisah dari orang tua, saya harus mandiri," ucapnya.
"Saya masuk asrama otomatis semua sendiri. Kalau dulu waktu di Tasik apa-apa ada Mama-Papa, lalu juga ada Mbak, semuanya terasa mudah. Tapi di saat saya masuk ke asrama tentunya sangat berbeda jauh. Saya harus mandiri."
Advertisement
Atur diri sendiri
Tinggal di asrama Jaya Raya, Susi Susanti harus mengatur diri sendiri saat usianya baru menginjak 14 tahun. "Pukul 5 pagi saya harus sudah bangun, karena setengah enam harus sudah berlatih, sampai pukul 8. Karena, pukul setengah sembilan saya harus sekolah. Kebetulan kompleknya sangat mendukung sekali untuk seorang atlet, karena ada sekolah, tempat latihan, dan asrama menjadi satu di komplek itu," papar Susi.
"Lalu saya bersekolah di jam setengah sembilan sampai jam 2 siang. Pukul 3 sore saya sudah berlatih lagi sampai pukul 7. Nah, itu rutinitas yang harus saya jalankan sehari-hari. Dari Senin sampai Sabtu. Libur hanya Minggu."
Namun, Susi menyadari itu sudah menjadi pilihannya untuk menjadi juara dunia seperti idolanya, Rudy Hartono. "Mungkin awal-awal cukup berat karena pada saat pertama kali pisah dari orang tua. Itu kayanya ada kerinduan, jadi ada kehilangan yah, di mana biasanya selalu berkumpul, selalu ada Mama-Papa yang selalu di samping saya," ucapnya.
"Di sini saya harus sendiri, tapi saya harus, bukan hanya memberanikan diri, tapi mempunyai tekad yang kuat karena demi prestasi. Saya menyadari bahwa kalau saya mungkin di Tasikmalaya saja, mungkin tinggal enak ya, tapi untuk apa?"
Susi pun pernah merasakan lelah dan menyerah dengan keadaan itu. Tapi, biasanya orang tuanya selalu memberikan support.
"Mereka mengatakan, 'kan kamu maunya juara dunia, ya kamu harus lewati, kamu harus jalani, karena kan balik lagi itu semua untuk kamu. Kalau kamu mau berusaha dan tentunya apa impian itu ada di depan kamu'. itu yang selalu menjadikan motivasi buat saya, penyemangat dan yang menguatkan saya untuk bisa melewati itu semua," ujar Susi.Â
Â
Berpikir positif
Rutinitas yang harus dijalani menimbulkan kebosanan hingga nyaris membuat Susi Susanti menyerah mengejar mimpi menjadi juara dunia bulu tangkis. "Jadi kalau ditanya apakah saya senang-senang saja? Enggak," katanya.
"Karena, setiap hari saya berlatih. Udah gitu juga disiplin kan harus tinggi, ada jam malam, makan saja juga ada aturannya, ada gizinya mungkin, berapa yang kita harus habisin. Lalu latihan juga enggak boleh terlambat, enggak boleh kurang, atau mungkin ngurangin jadwal latihan."
"Hal-hal itu yang mungkin kalau dibilang membuat kebosanan ya. Apalagi mungkin di asrama kadang-kadang kita juga berantem sama teman, enggak omongan nanti gimana, itu banyaklah, bukan drama-drama. Tapi, memang kehidupan sehari-hari pasti akan ada ya seperti itu," Susi melanjutnya.
Untuk mengatasi semua itu, Susi biasanya selalu berpikir positif. Dia juga menyalurkannya dengan berkomunikasi dengan orang tuanya.
"Paling kalau curhatan saya biasanya, kalau dulu kan belum ada ya telepon, WA, sehingga nulis surat, dan rutin ke Mama-Papa. Selalu mengirim surat untuk tentunya mendukung saya, men-support saya. Kadang-kadang saya juga kalau ada masalah apa, aduh kok gini-gini, Papa atau Mama selalu menguatkan," ungkap Susi.
"Enggak apa-apa, kamu harus tegar, kamu harus kuat, kamu harus semangat, karena kan itu adalah masa depan kamu. Di saat kamu sudah memilih, kamu harus konsekuen, kamu harus bertanggung jawab dengan pilihan kamu, karena. Masa depan ada di tangan kamu sendiri. Jadi itu yang selalu menguatkan saya."
Semua perjuangan yang dijalani Susi Susanti tidak sia-sia. Meski berperawakan relatif kecil, dia memiliki gaya servis yang begitu tersohor, footwoork tanpa tanding, pergelangan tangan kuat, dan punya mental tangguh. Susi pun dianggap banyak orang sebagai salah satu pebulu tangkis tunggal putri terhebat sepanjang masa.
Susi memutuskan gantung raket pada 1998 setelah dinyatakan hamil, setahun setelah menikah dengan Alan Budikusuma. Acara pelepasan Susi berlangsung di Istora Senayan pada 30 Oktober 1999, merupakan pelepasan pertama kali yang pernah dilakukan PBSI. Dihadiri 2.500 penonton, pada kesempatan itu PBSI memberikan hadiah penghargaan berupa emas seberat 25 gram.
International Badminton Federation (sekarang Badminton World Federation) pada Mei 2004 memberikan penghargaan Badminton Hall of Fame kepada Susi Susanti. Sebelumnya, dia juga menerima Tanda Kehormatan Republik Indonesia Bintang Jasa Utama pada 1992.
Advertisement