Nama Evan Dimas kini amat tersohor. Sosok muda yang kalem itu sangat dikenal publik sepakbola Indonesia. Kepopuleran itu datang bersama prestasinya yang mengagumkan. Evan tak sendiri, kehebatannya di lapangan hijau tercipta berkat dukungan seluruh tim yang tergabung dalam skuat Timnas U-19. Evan Dimas dan armada Garuda Muda memang layak mendapatkan pujian.
----------
Publik sepakbola di Tanah Air kini sudah mendapat idola baru: Evan Dimas. Kepopuleran Evan tidak diperoleh secara instan, tapi dicapai lewat proses panjang, ketekunan berlatih, pembelajaran yang terus menerus, dan kerja keras.
Jalan terjal dan berliku rupanya memang harus dilalui Evan Dimas saat dirinya ingin mewujudkan keinginannya menjadi pemain sepakbola. Evan menyadari, orangtuanya hidup dalam keadaan ekonomi yang pas-pasan. Bahkan untuk membeli sepasang sepatu sepakbola saja, ia harus bersabar menunggu orangtuanya punya uang.
Pekerja Keras
Evan Dimas berasal dari keluarga sangat sederhana. Ayahnya, Condro Darmono bekerja sebagai petugas keamanan. Sementara sang ibu, Ana kini lebih banyak berada di rumah mengurusi rumah tangga dan karier Evan. Dulu, Ana pernah bekerja serabutan urusan rumah tangga. Mereka tinggal di Desa Ngemplak RT 3 RW 5, Kelurahan Made, Kecamatan Sambikerep, Surabaya Barat, Jawa Timur.
Sebagai anak pertama, Evan terbiasa mengurusi dan melindungi tiga adiknya. Dua adiknya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Sementara si bungsu masih belum bersekolah.
Kondisi pas-pasan keluarga Condro Darmono dan Ana tak menyurutkan semangat mereka mendidik Evan dan ketiga adiknya. Mereka selalu mendukung setiap langkah Evan untuk menggapai cita-cita putra tercintanya itu. Terutama cita-cita ingin menjadi pemain sepakbola.
Ibunda Evan masih ingat benar bagaimana pertama kali Evan meminta dibelikan sepatu sepakbola. Ketika itu umur Evan masih 9 tahun. Permintaan Evan untuk dibelikan sepatu bola sempat membuatnya kelimpungan dan memutar otak lebih keras. Maklum, ketika itu dirinya hanya ibu rumahtangga biasa dan sang suami berjualan sayuran keliling sebelum beralih profesi menjadi petugas keamanan.
"Demi anak, kami akhirnya mengupayakan. Saya ke pasar dan membeli sepatu bola yang harganya Rp 20 ribu. Yang murah-murah saja wis, asal Evan senang," kenang Ana ibunda Evan sambil mengingat masa lalu.
Sepatu bola pertama Evan itu dibeli dari hasil jualan sayur sang ayah berkeliling kampung. Walaupun murah, tapi Evan tak menolak pemberian dari orangtuanya itu. Evan mengaku, ketika itu sebenarnya sepatu bola baru itu ukurannya sedikit kebesaran ketika dipakai.
"Sepatu sepakbola pertama saya mereknya Diadora, harganya Rp 20.000. Saya ingat dulu sepatu saya terlalu besar sehingga harus saya masukkan kain agar bisa pas. Umur sepatu itu tidak lama, kira-kira 3 minggu karena sepatunya sangat murah sehingga cepat rusak,” ungkap pemuda kelahiran 13 Maret 1995 tersebut.
Diejek Saat Pinjam Motor
Cerita masa lalu kadang memang indah untuk diingat, atau lucu bila dirunut lagi peristiwanya. Tapi kadang juga membuat sedih. Namun kehidupan itu bagai roda. Sekali tempo berada di atas, atau suatu waktu berada di bawah. Ada duka, ada senang, dan kadan pula ada keharuan. Orangtua Evan Dimas telah mengalami semuanya, pahit dan getir kehidupan. Sebagai anak, Evan pun tumbuh berkembang dan menjadi kuat.
"Pernah ketika itu saya mau latihan, ibu saya pinjam sepeda motor sama orang, lalu diledek, 'Makanya beli sepeda motor. Lalu ada orang kampung saya yang membela, 'Jangan begitu. Semua ingin beli sepeda motor kalau punya (uang)," kenang Evan.
Perkataan tersebut membuat Ana menangis dan Evan pun tidak tega melihat air matanya ibunya. Ana juga kerap menangis setiap kali melihat teman-teman Evan berangkat berlatih dengan mengendarai sepeda motor, namun kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinan untuk membeli sepeda motor. Evan pun hanya bisa terdiam dan tidak bisa meminta dibelikan.
Lainnya, terkadang, untuk membeli kaus kaki saja Evan sampai berpikir ulang bagaimana cara meminta kepada Ana. Sang ibu bahkan sampai berpatungan dengan saudara-saudaranya untuk membelikan Evan sepasang sepatu sepakbola.
Pernah Merasa Iri
Lingkungan sosial tempat Evan hidup amat heterogen. Di usia remajanya, Evan Dimas kerap mengalami godaan yang memang sulit ditolak. Sekali waktu, kadang Eva merasa iri ketika melihat teman-temannya bisa memakai sepatu baru.
"Terkadang saya iri lihat orang-orang yang bisa membeli sepatu baru untuk anaknya. Saya hanya berpikir kapan bisa membeli sepatu seperti itu, sedangkan ibu hanya jadi pembantu dan kadang berjualan kacang keliling kampung," sambung Evan mengenang.
Kondisi yang serba terbatas itu justru membuat Evan terpacu untuk lebih bersemangat dan menjadi lebih baik. Evan mengaku, pertama kali menekuni sepakbola sejak kelas 4 SD. Ia sempat menimba ilmu di SSB Sasana Bhakti (Sakti) bersama saudara sepupunya, Feri Ariawan. Bakatnya semakin terasah, ketika bergabung dengan SSB Mitra Surabaya pada 2007, saat itu Evan masih berusia 12 tahun.
Di lapangan hijau, Evan berperan sebagai gelandang. Meski posturnya mungil, daya jelajahnya sangat tinggi. Tak hanya itu, kaki kiri dan kanannya juga 'hidup'. Evan juga dikenal sebagai gelandang yang memiliki tenaga ekstra. Semangatnya seperti tak pernah habis untuk mengejar kemenangan tim yang dibelanya. Hanya satu yang menjadi kelemahannya saat ini, yakni kontrol emosi. Sebuah hal yang lumrah dimiliki seorang pemain muda.
Sebenarnya, rengekan Evan yang ingin bermain bola sudah terjadi sejak umur tiga tahun. Bahkan waktu itu, Evan minta masuk sekolah sepakbola di Sekolah Sepakbola Sasana Bhakti Surabaya. Namun keinginan itu sulit diwujudkan karena harus punya sepatu bola.
Bagaimana cerita kehidupan Evan Dimas selanjutnya? Bagaimana kisah cintanya? Ikuti terus Kisah Sang El Capitano Timnas Garuda Jaya selanjutnya. (Vin)
----------
Publik sepakbola di Tanah Air kini sudah mendapat idola baru: Evan Dimas. Kepopuleran Evan tidak diperoleh secara instan, tapi dicapai lewat proses panjang, ketekunan berlatih, pembelajaran yang terus menerus, dan kerja keras.
Jalan terjal dan berliku rupanya memang harus dilalui Evan Dimas saat dirinya ingin mewujudkan keinginannya menjadi pemain sepakbola. Evan menyadari, orangtuanya hidup dalam keadaan ekonomi yang pas-pasan. Bahkan untuk membeli sepasang sepatu sepakbola saja, ia harus bersabar menunggu orangtuanya punya uang.
Pekerja Keras
Evan Dimas berasal dari keluarga sangat sederhana. Ayahnya, Condro Darmono bekerja sebagai petugas keamanan. Sementara sang ibu, Ana kini lebih banyak berada di rumah mengurusi rumah tangga dan karier Evan. Dulu, Ana pernah bekerja serabutan urusan rumah tangga. Mereka tinggal di Desa Ngemplak RT 3 RW 5, Kelurahan Made, Kecamatan Sambikerep, Surabaya Barat, Jawa Timur.
Sebagai anak pertama, Evan terbiasa mengurusi dan melindungi tiga adiknya. Dua adiknya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Sementara si bungsu masih belum bersekolah.
Kondisi pas-pasan keluarga Condro Darmono dan Ana tak menyurutkan semangat mereka mendidik Evan dan ketiga adiknya. Mereka selalu mendukung setiap langkah Evan untuk menggapai cita-cita putra tercintanya itu. Terutama cita-cita ingin menjadi pemain sepakbola.
Ibunda Evan masih ingat benar bagaimana pertama kali Evan meminta dibelikan sepatu sepakbola. Ketika itu umur Evan masih 9 tahun. Permintaan Evan untuk dibelikan sepatu bola sempat membuatnya kelimpungan dan memutar otak lebih keras. Maklum, ketika itu dirinya hanya ibu rumahtangga biasa dan sang suami berjualan sayuran keliling sebelum beralih profesi menjadi petugas keamanan.
"Demi anak, kami akhirnya mengupayakan. Saya ke pasar dan membeli sepatu bola yang harganya Rp 20 ribu. Yang murah-murah saja wis, asal Evan senang," kenang Ana ibunda Evan sambil mengingat masa lalu.
Sepatu bola pertama Evan itu dibeli dari hasil jualan sayur sang ayah berkeliling kampung. Walaupun murah, tapi Evan tak menolak pemberian dari orangtuanya itu. Evan mengaku, ketika itu sebenarnya sepatu bola baru itu ukurannya sedikit kebesaran ketika dipakai.
"Sepatu sepakbola pertama saya mereknya Diadora, harganya Rp 20.000. Saya ingat dulu sepatu saya terlalu besar sehingga harus saya masukkan kain agar bisa pas. Umur sepatu itu tidak lama, kira-kira 3 minggu karena sepatunya sangat murah sehingga cepat rusak,” ungkap pemuda kelahiran 13 Maret 1995 tersebut.
Diejek Saat Pinjam Motor
Cerita masa lalu kadang memang indah untuk diingat, atau lucu bila dirunut lagi peristiwanya. Tapi kadang juga membuat sedih. Namun kehidupan itu bagai roda. Sekali tempo berada di atas, atau suatu waktu berada di bawah. Ada duka, ada senang, dan kadan pula ada keharuan. Orangtua Evan Dimas telah mengalami semuanya, pahit dan getir kehidupan. Sebagai anak, Evan pun tumbuh berkembang dan menjadi kuat.
"Pernah ketika itu saya mau latihan, ibu saya pinjam sepeda motor sama orang, lalu diledek, 'Makanya beli sepeda motor. Lalu ada orang kampung saya yang membela, 'Jangan begitu. Semua ingin beli sepeda motor kalau punya (uang)," kenang Evan.
Perkataan tersebut membuat Ana menangis dan Evan pun tidak tega melihat air matanya ibunya. Ana juga kerap menangis setiap kali melihat teman-teman Evan berangkat berlatih dengan mengendarai sepeda motor, namun kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinan untuk membeli sepeda motor. Evan pun hanya bisa terdiam dan tidak bisa meminta dibelikan.
Lainnya, terkadang, untuk membeli kaus kaki saja Evan sampai berpikir ulang bagaimana cara meminta kepada Ana. Sang ibu bahkan sampai berpatungan dengan saudara-saudaranya untuk membelikan Evan sepasang sepatu sepakbola.
Pernah Merasa Iri
Lingkungan sosial tempat Evan hidup amat heterogen. Di usia remajanya, Evan Dimas kerap mengalami godaan yang memang sulit ditolak. Sekali waktu, kadang Eva merasa iri ketika melihat teman-temannya bisa memakai sepatu baru.
"Terkadang saya iri lihat orang-orang yang bisa membeli sepatu baru untuk anaknya. Saya hanya berpikir kapan bisa membeli sepatu seperti itu, sedangkan ibu hanya jadi pembantu dan kadang berjualan kacang keliling kampung," sambung Evan mengenang.
Kondisi yang serba terbatas itu justru membuat Evan terpacu untuk lebih bersemangat dan menjadi lebih baik. Evan mengaku, pertama kali menekuni sepakbola sejak kelas 4 SD. Ia sempat menimba ilmu di SSB Sasana Bhakti (Sakti) bersama saudara sepupunya, Feri Ariawan. Bakatnya semakin terasah, ketika bergabung dengan SSB Mitra Surabaya pada 2007, saat itu Evan masih berusia 12 tahun.
Di lapangan hijau, Evan berperan sebagai gelandang. Meski posturnya mungil, daya jelajahnya sangat tinggi. Tak hanya itu, kaki kiri dan kanannya juga 'hidup'. Evan juga dikenal sebagai gelandang yang memiliki tenaga ekstra. Semangatnya seperti tak pernah habis untuk mengejar kemenangan tim yang dibelanya. Hanya satu yang menjadi kelemahannya saat ini, yakni kontrol emosi. Sebuah hal yang lumrah dimiliki seorang pemain muda.
Sebenarnya, rengekan Evan yang ingin bermain bola sudah terjadi sejak umur tiga tahun. Bahkan waktu itu, Evan minta masuk sekolah sepakbola di Sekolah Sepakbola Sasana Bhakti Surabaya. Namun keinginan itu sulit diwujudkan karena harus punya sepatu bola.
Bagaimana cerita kehidupan Evan Dimas selanjutnya? Bagaimana kisah cintanya? Ikuti terus Kisah Sang El Capitano Timnas Garuda Jaya selanjutnya. (Vin)