Pemilu 2024 Diharapkan Jadi Ajang Merawat Keberagaman Masyarakat

Merawat keberagaman sebagai aset perubahan bisa meminimalisir terjadinya polarisasi.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Des 2022, 12:00 WIB
Diterbitkan 17 Des 2022, 12:00 WIB
Ilustrasi Pemilu 2019
Badut berbentuk kotak suara Komisi Pemilihan Umum (KPU), ondel-ondel, dan marching band ikut meramaikan pawai Deklarasi Kampanye Damai di Monas, Minggu (23/9). (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia akan kembali menggelar Pemilihan Umum (Pemilu) pada 2024 mendatang. Pemilu yang digelar serantak ini, tak hanya memilih partai politik, anggota dewan, presiden, dan wakil presiden. Namun juga memilih kepala daerah.

Pemilu 2024 diharapkan jadi ajang untuk merawat keberagaman masyarakat serta mencegah munculnya polarisasi seperti yang terjadi pada Pemilu 2019.

Polarisasi terjadi karena pengaruh informasi yang sangat pesat melalui media sosial. Termasuk di dalamnya ada berita bohong atau hoaks, disinformasi, serta misinformasi.

Polarisasi juga muncul karena politik identitas, pemanfaatan isu, sara, politik permusuhan, hate speech, black campaign, politik uang, dan politik intimidasi.

Direktur Eksekutif Yayasan Tifa, Shita Laksmi mengungkapkan, Pemilu 2024 kemungkinan besar akan diisi dengan berbagai praktik buruk politik yang mengancam memperdalam polarisasi.

Berdasarkan pantauan Drone Emprit, sebuah sistem yang memonitor dan menganalisa media sosial berbasis big data, selama tiga bulan jelang akhir 2022, peta pola narasi Pemilu 2024 yang terbangun di media sosial tidak jauh berbeda dari Pemilu 2019.

Shita menambahkan, isu polarisasi semakin menguat diantaranya karena adanya pelemahan ragam ruang publik dan kebebasan bersuara, serta meningkatnya celah praktik oligarki. Merawat keberagaman sebagai aset perubahan, kata Shita, bisa meminimalisir terjadinya polarisasi.

"Tifa percaya kedewasaan demokrasi bisa kita raih dengan merawat keberagaman di tengah-tengah masyarakat. Bahkan memandang keragaman sebagai aset perubahan. Pemilu perlu dipandang sebagai suatu momen berdemokrasi yang adil dan setara, juga menyenangkan. Perbedaan pandangan maupun pilihan pemimpin patut dilandasi oleh rasa saling percaya, toleransi, dan menghargai. Tifa melihat pentingnya merawat keberagaman dalam Pemilu 2024 karena keberagaman adalah esensi Indonesia yang sudah mulai sulit dipertahankan," kata Shita dalam pesan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (17/12/2022). 

Shita mengungkapkan, politik identitas juga bisa menjadi salah satu penyebab munculnya polarisasi. Sebab, banyak elite politik yang menggunakan politik identitas untuk mendapatkan dukungan politik.

"Strategi politik identitas baik agama, suku, ras atau antar golongan membuat muncul banyak pola intoleransi dan konflik horizontal semakin mengemuka. Minimnya jumlah capres-cawapres yang hanya dua pasang juga membuat masyarakat terbelah dua. Polarisasi bisa diminimalisir apabila ada lebih dari dua pasangan capres-cawapres pada pemilu 2024," lanjut Shita.

Sementara, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Tifa, Endy Bayuni mengatakan, demorasi di Indonesia akan selalu menjadi sebuah work in progress. Menurut dia, Indonesia sekarang sudah jauh beranjak dari sebuah masyarakat yang tertekan, yang tidak demokratis dan tidak ada keterbukaan.

"Proses reformasi yang kita jalankan menunjukkan bahwa semakin demokratis sebuah bangsa, semakin besar tantangan yang dihadapi, bukannya mengecil.Melihat perkembangan politik dan sosial Indonesia saat ini, sangat mudah kita untuk merasakan frustrasi dan kesal, apalagi ditengah banyaknya komentar mengenai terjadinya democratic stagnation, regression dan backsliding. Namun, sentimen ini janganlah menjadikan kita mundur atau menyerah terhadap keadaan ini. Sebaliknya, ini menjadi cambukan bagi kita semua yang bergerak di dunia Civil Society untuk semakin memperkuat usaha dan perjuangan membangun masyarakat yang terbuka dan demokratis berkhidmat pada pluralisme, kesetaraan dan keadilan," kata Endy.

 


HUT ke-22 Yayasan Tifa

Pada perayaan HUT ke-22, Tifa menghadirkan perayaan Hari Ulang Tahun ke-22: Panggung Terbuka, “Merawat Keragaman, Sambut Pemilu yang Bermakna”.

Panggung ini dimaksudkan untuk menjadi ruang kolaborasi dari mitra, lembaga, serta pegiat seni untuk ambil bagian dalam menyuarakan upaya menuju Pemilu 2024 yang bermakna; yakni Pemilu yang berkhidmat pada kebhinekaan dan keadilan yang dilandasi oleh keragaman Indonesia.

Endy menambahkan, selama 22 tahun ini, TIFA telah meluncurkan ratusan program dalam rangka perwujudan masyarakat yang terbuka dan demokratis, bekerja sama dengan mitra yang jumlahnya belasan.

"Maaf kami tidak bisa menyebut nama mereka satu persatu, memerlukan satu malam untuk itu. Beberapa diantaranya ada wakilnya malam ini. Izinkan kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kerjasama yang sudah terjalin selama ini. Para mitra ini adalah bagian penting dalam perjalanan sejarah TIFA," lanjut Endy.

Tifa akan terus mempromosikan terwujudnya masyarakat terbuka, memperkuat kualitas demokrasi, memupuk pluralisme dan toleransi, serta mengawal tegaknya hukum dan HAM.

Untuk terus menjalankan visi ini, Tifa fokus pada 3 isu utama: demokrasi dan HAM, tata kelola Sumber Daya Alam (SDA), dan tata kelola data digital.

Tifa berkolaborasi dengan berbagai organisasi masyarakat sipil dari pelbagai wilayah di Indonesia, peneliti dan akademisi, serta pemerintah, dalam pasang surut demokratisasi Indonesia.

Direktur the Asia Research Centre di Universitas Indonesia (UI) Dr. Inaya Rakhmani mengungkapkan, ulang tahun ke-22 Yayasan TIFA adalah momen konstruktif untuk merefleksikan kondisi demokrasi Indonesia 24 tahun setelah reformasi.

Berbagai studi dan diskusi mengenai kondisi demokrasi saat ini secara umum sepakat bahwa ruang deliberasi menjadi semakin sempit dan terfragmentasi.

"Saya berharap kita, intelektual publik dan aktivis, yang sama-sama menghadapi hambatan struktural dan kelembagaan tiap kali kita berusaha mendahulukan orang rentan, semakin menerima bahwa kekuatan material yang melandasi kesamaan praktik kita secara empirik lebih besar daripada kekuatan simbolik perbedaan ideasional," kata Dr. Inaya

 


Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.

Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi patner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.

Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.

Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya