Razia Buku Kiri Efek Gagal Baper AADC2?

Seru juga menikmati kesibukan negeri ini menyikapi tren gambar palu arit.

oleh Liputan6 diperbarui 15 Mei 2016, 10:33 WIB
Diterbitkan 15 Mei 2016, 10:33 WIB
Razia Buku Kiri Efek Gagal Baper AADC2?
Seru juga menikmati kesibukan negeri ini menyikapi tren gambar palu arit.

Citizen6, Jakarta - Seru juga menikmati kesibukan negeri ini menyikapi tren gambar palu arit. Rasanya jadi kasihan banget lihat tentara yang dilatih berperang, berdoktrin "hancurkan musuh" malah akhirnya cuma sibuk mencari apapun yang bernuansa tukang dan petani. Palu dan arit.

Mulai dari pin, stiker, kaos, bahkan sekedar singkatan Papa Kilo Indonesia, sebuah sandi organisasi pilot Indonesia juga dicurigai akronim PKI. Penjelasan bahwa Papa Kilo Indonesia yang lengkapnya berbunyi PAPA KILO INDONESIA PILOT adalah kata sandi untuk Indonesia dalam penerbangan luar negeri, tak lantas menghapus keraguan.

Kode Papa Kilo = PK adalah registrasi penerbangan Indonesia serta Indonesia Pilot adalah organisasi Pilot Indonesia (PKIP).

Ada juga yang seru ketika dipersoalkan juga akronim dari Pecinta Kopi Indonesia. Gambar cangkir yang digunakan untuk merendam palu dan arit, ternyata berbuntut penangkapan. Adlun Fikry dan Supriyadi ditetapkan jadi tersangka. Meski sejatinya dua anak muda ini adalah aktivis sosial yang mengajar anak-anak membaca dan menulis.

Baiklah. Heboh palu arit memang sudah jadi paranoia tentara yang menular kepada publik. kini bukan lagi razia logo atau gambar-gambar palu dan arit. Ada sebuah dekadensi pencapaian independensi berpikir. Pencapaian yang jelas menjadi mundur adalah kebebasan membicarakan dan mempelajari komunis dan kisah sekitar peristiwa 1965.

Apapun jika sudah terkait dengan peristiwa 1965 atau komunis langsung "boleh" dibubarkan. Padahal sebelumnya buku-buku kiri keadaannya sudah lebih sehat. Pasca-Suharto kita sudah bebas mengakses buku-buku Ben Anderson, Ruth McVey, Olle Tornquist, Karl Marx, Tan Malaka, Sobron Aidit dan lain-lain.

Semua sekarang menjadi sia-sia. Razia buku-buku kiri sudah terjadi lagi. Tak usah berharap bisa berdialog dengan mereka yang merazia. Doktrin tentara untuk menghancurkan musuh akhirnya menjadi senjata makan tuan. Menganggap warga sebagai musuh.

Baiklah. Mari kita sekarang bermain melankolia saja. Agar capaian kebebasan berwacana, kebebasan membaca buku tak sirna, baiknya mulai hati-hati bermain singkatan. Bagi para pecinta kopi, saya usul gunakan saja singkatan "KPK" biar kayak pendekar anti korupsi. "Komunitas Pecinta Kopi". Atau "PKK", Penggemar Kopi di Kesunyian. Melankolis bukan?

Logonya boleh deh diganti biji kopi yang dibelah, diapit ekor luwak. Ya....mirip-mirip bulan sabit. Hmmm tapi kalau itu singkatannya harus berubah, menjadi "PKS" atau Penikmat Kopi Sejati.

Untuk para aktivis-aktivis kiri, perbanyaklah berada di masjid atau musholla. Berdoa yang penting-penting saja. Misalnya berdoa agar terhindar dari godaan menonton AADC2, atau malah Civil War.

Para pemilik buku-buku kanan dan kiri ekstrim, baiknya juga mulai menaruh buku-buku itu di tengah. Biar tak kena tuduhan menyimpan buku kiri. Nantinya rak sebelah kiri diisi buku-buku tentang Pancasila. Rak sebelah kanan diisi buku-buku pelajaran SD-SMa dan materi penataran P4.

Ayo mensikapi paranoia palu arit dan reaksi TNI/Polri yang terbaper peristiwa 1965 secara komedi. Seperti kita melawan teroris Sarinah dengan selfie, berjualan rujak, menawarkan ojek.

Mengertilah bahwa para perazia buku-buku itu karena tak bisa terbaper suasana AADC2. Seru kan?

Edhie Prayitno Ige ~ penulis, guyonis, cerpenis, novelis Tinggal di Tanjungsari Semarang. Twiter : @edhiepra1

**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini.

**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6.

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya