Kisah Mbah Dono, Empu Kekinian dari Kampung Pegiringan

Empu, pandhe atau pandai besi adalah profesi yang kian langka. Mbah Dono salah satunya.

oleh Liputan6 diperbarui 05 Jan 2017, 11:30 WIB
Diterbitkan 05 Jan 2017, 11:30 WIB
mbah Dono
mbah Dono

Liputan6.com, Jakarta Pandhe atau pandai besi (empu) adalah profesi yang kian langka di masyarakat kita. Banyaknya peralatan dapur produksi pabrik, berkurangnya sektor pertanian menjadi penyebab banyak pandai besi yang tutup tidak lagi beraktivitas.

Di tengah fenomena tersebut, siapa sangka profesi pandai besi masih ditekuni salah satu warga di Pegiringan. Mbah Dono adalah satu-satunya pandai besi yang tetap eksis tidak terpengaruh oleh perubahan jaman.

Sejak dulu sampai sekarang mbah Dono selalu setia melayani pelanggan dengan baik, masyarakat menjuluki Mbah Dono “Empu Tantularnya Pegiringan” Setiap hari mbah Dono beraktivitas dari pagi hingga sore hari.

Mbah Dono menekuni prefesi sebagai pandai besi sejak masih muda, menurutnya profesi ini adalah warisan nenek moyang yang belum tentu semua orang bisa, maka dari itu dia tetap mempertahankannya sampai dengan sekarang.

Dia bekerja setiap hari sendirian dari mulai mengolah bahan mentah sampai jadi, sesuai pesanan pelanggannya. Selain membuat peralatan seperti sabit atau pisau, para pandai besi juga melayani jasa perbaikan alat alat pertanian tradisional seperti sabit atau cangkul.

Sabtu 30 Desember 2016, Kepala Desa Pegiringan berkesempatan mengunjungi mbah Dono untuk memesan 1 golok untuk keperluan keluarga dan melihat langsung proses pembuatan golok tersebut.

Melihat proses pembuatan golok, sungguh luar biasa, mulai dari proses gerinda dengan gerinda manual, memompa udara ke tungku dengan ubub, memipih, membentuk sampai proses finishing membutuhkan proses yang lama. Setiap hari mbah Dono membuat alat-alat pertanian dan bangunan seperti cangkul, golok, pisau, kampak dan linggis serta alat-alat lainnya.

Tidak banyak yang diproduksi, tergantung pesanan yang datang. Dalam sehari mbah Dono mengaku membuat 2 hingga 4 buah cangkul, atau beberapa buah linggis.

Sedikitnya pesanan yang datang, seiring perkembangan jaman yang semakin modern, lain halnya dengan dulu kebutuhan cangkul banyak karena banyak petani yang butuh, sekarang petani juga jarang mencangkul paling untuk pematang, karena sawahnya sendiri dibajak dengan trakstor,b elum lagi makin banyaknya alat-lat pertanian yang diproduksi pabrik, ujar mbah Dono.

Rata rata yang datang adalah petani tradisional yang membawa alat pertanian seperti cangkul, gancu atau sabit. Alat tersebut disepuh dan ditajamkan, ongkos pembuatan dan service bervariasi tergantung model, kualitas dan tingkat kesulitannya, rata-rata sekitar 50-150 ribu rupiah.

Kalau cangkul ramainya di bulan Oktober, pada bulan tersebut permintaan bisa mencapai 10 hingga 12 buah, di bulan-bulan seperti sekarang tutur mbah Dono. Sedangkan untuk bahan baku menurut perajin kini mudah diperoleh karena banyak penjual besi atau plat baja di pasar Bantarbbolang atau di Randudongkal.

Harga satu buah plat untuk cangkul harganya Rp 18.000 per 2 kilogram. Sedangkan harga besi untuk pembuatan linggis harganya Rp 15.000 per kg.

Nenek moyangnya dulu bisa hidup sejahtera dari pekerjaan sebagai pandai besi karena kebutuhan alat pertanian masih banyak diperlukan. Selain itu pesanan roda delman, roda pedati dan barang lainnya juga cukup banyak karena alat transportasi masa itu menggunakan delman.

Dari sosok mbah Dono tersebut kita dapat belajar banyak tentang kerja keras dan tekad menghadapi kehidupan. Semoga tetap sehat dan semangat mbah Dono.

Pengirim:

Jirman

**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini

**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya