Liputan6.com, Jakarta - Sebagai komposer, iktikad Rico Gusmanto adalah mengelola keahliannya untuk membawa pesan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan tetap menjunjung tinggi nilai toleransi, salah satu cara menjaga persatuan dan kesatuan antaretnis diwujudkannya melalui sarana musik.
Pria berusia 24 tahun itu menciptakan sebuah karya musik yang mengungkapkan identitas kultural Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat yang beretnis Minang berkolaborasi dengan etnis Jawa dan Batak.
Advertisement
Baca Juga
Dengan euforia yang begitu tinggi, Rico, panggilan akrabnya, memainkan alat musik talempong dengan begitu lihai. Melalui alat musik khas Minang itu, dia menciptakan harmonisasi yang begitu indah didengar.
Tak hanya Talempong, tapi juga terdapat beberapa peralatan tradisonal lain, seperti saron, kempul, demung, taganing, suling, canang, sarunai, dan gandang. Semua alat musik tersebut dikolaborasikannya menjadi sebuah karya yang bertajuk “Kekitaan” sebagai media penyampaian pesan yang dibingkai dengan irama musik mengenai persoalan bangsa yang beranekaragam.
Untuk itu, menciptakan karya “Kekitaan” sebagai suatu cara untuk membentuk sikap toleransi dalam kehidupan sosial.
”Baginya toleransi merupakan hal penting yang harus ada di tengah keberagaman dan perbedaan, menjunjung tinggi nilai toleransi dalam kehidupan akan meleburkan perbedaan dan menciptakan sebuah keharmonisan menjadi identitas bersama,” kata Rico saat ditemui di Padang Tujuh, Kenagarian Aua Kuniang, Kecamatan Pasaman, Kabupaten Pasaman Barat, Sumbar, Sabtu (22/7/2017).
Di balik suatu cara untuk membentuk sikap toleransi dalam kehidupan sosial, tujuan diangkatnya karya ini agar kesenian ronggiang Pasaman Barat dapat dijadikan sebagai representasi identitas kultural multietnis Pasaman Barat. Karya “kekitaan” merupakan trilogi musik yang diproduksi pertama kali.
”Besar harapan saya agar karya ini dapat memotivasi pemerintah daerah untuk mem-publish kesenian ronggiang Pasaman serta mengukuhkan sebagai identitas kultural Pasaman Barat. Karya ini juga merupakan kritik kepada pemerintah yang selalu acuh akan seni budaya yang penerusnya semakin minim, intinya kalau tidak kita siapa lagi,” lanjutnya.
Rico fokus berseni sejak kecil, dia mengawali karirnya ketika mengikuti salah satu paguyuban kuda kepang di Koto Baru Simpang 3, Pasaman Barat, Sumbar. Ia mulai menggeluti dunia musik ketika ia duduk dibangku SMP dalam kegiatan ekstrakulikuler tahun 2006. Ketika berumur 16 tahun, ia fokus di dunia musik.
Pria yang baru saja menyelesaikan program pancasarjana ISI Padangpanjang ini telah memproduksi berbagai karya. Karya-karya tersebut bertajuk Zizobang 2013, la quint 2014, Konstanitas 2015, Snow at Foam 2015, dan kekitaan 2016. Beberapa karya juga ia ciptakan bersama Tangka Project salah satu komunitasnya, karya tersebut bertema mamatang hari 2011, Aksentak Of Zapin 2014, Alunan Penta 2014, garis kejayaan 2015, fantasi dawai 2015.
Di usianya yang masih muda, sebagai generasi bangsa dia memiliki impian agar dalam kehidupan bermasyarakat yang multietnis tetap mengedepankan nilai toleransi melalui karya-karya seni anak bangsa. Dia juga mengajak berbagai pihak masyarakat maupun pemerintah agar tetap peduli terhadap kesenian tradisi sebagai salah satu cara mempromosikan kesenian daerah.
”Bagi saya, masyarakat harus berpegang teguh pada nilai toleransi, agar setiap unsur perbedaan saling menyatakan dirinya sebagai bagian dari kebersamaan, suka duka, dan bersinergi menjadi sesuatu yang di sebut “Kekitaan” dalam karya terbaru saya," tambah Rico. *
Penulis:
Delvia Yosa Amanda
**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6