Liputan6.com, Jakarta - Memaknai seni pementasan tak selalu dengan mengerti apa yang disampaikan oleh para pelaku di atas pentas. Ada kalanya, pemaknaan dikembalikan pada bagaimana penonton menangkap apa yang ditampilkan. Itulah kira-kira gambaran singkat Pementasan Sandiwara Pekaba yang ditampilkan oleh Ranah Performing Arts Company (PAC).
Baca Juga
Advertisement
Sandiwara yang dipentaskan pada Minggu (03/11/2019) di Galeri Indonesia Kaya itu lebih memusatkan pada bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh para pelaku di atas panggung. Baik dari dentingan piring, gebrakan meja kayu, tabuhan beberapa alat musik, sampai bunyi-bunyian melengking yang dinyanyikan oleh pemain. Memang ada sedikit kata-kata yang dinyanyikan, tapi tidak banyak. Itu pun dalam bahasa Minang yang mungkin tidak semua penonton mengerti.
Meski demikian, secara garis besar penonton dapat menangkap esensi dari sandiwara tersebut. Bagaimana tiap pemain bergantian menabuh, mendenting piring, menggebrak meja. Adakalanya itu dilakukan bersamaan saat menuju klimaks.
Â
Â
Selanjutnya
Sisipan silat Minang dan dendang yang dinyanyikan, menambah daya magis dari pertunjukan tersebut. Beberapa kali, pemain melakukan gerakan akrobatik yang membuat penonton menahan napas.
Minimnya dialog dalam pertunjukan ini bukan tanpa sebab. Pada dasarnya, pentas ini mempertunjukkan para Pakaba (juru cerita dalam tradisi lisan Minangkabau) yang saling bertarung menggunakan bahasa. Namun bila merunut ke masa lampau, bahasa tak hanya berupa kata atau kalimat verbal saja.
"Bahasa sejatinya tidak cuma kata atau kalimat verbal. Tapi bunyi yang datang dari man saja: tubuh, perkakas sehari-hari, alat musik, dan lain-lain," ungkap S Metron M selaku Direktur Artistik Ranah PAC.
Â
Â
Advertisement
Selanjutnya
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dalam Sandiwara Pekaba, bahasa dipulangkan ke hulunya, yakni bunyi. Berinteraksi tak lagi sepenuhnya dengan kosakata, tapi dengan kosabunyi dan kosagerak.
Sandiwara Pekaba telah dipentaskan di beberapa kota. Sejak tahun 2014, pementasan ini telah ditampilkan di kota-kota besar seperti Padang, Pekanbaru, Solo, Medan, Jakarta, bahkan Singapura. Menariknya, seiring berjalannya waktu, sandiwara ini terus mengalami perubahan dan perbaharuan.
Â
Â
Selanjutnya
Metron menjelaskan jalan panjang menuju bisa dipentaskannya sandiwara ini. Menurut dia, ide datang saat ia melihat zikia pano (salah satu alat yang digunakan pada Sandiwara Pekaba, red) dalam sebuah festival. Ia menemukan bahwa alat itu digunakan untuk menandingi bunyi marching band Belanda kala Perang Padri.
"Ini kemudian membuat saya ingin mengangkat pertunjukan yang berdasarkan pada bunyi," ujar dia.
Setelah merampungkan ide, pemain yang terlibat diharuskan belajar silat tradisi untuk menguatkan kuda-kuda. Ini dilakukan selama setahun. Tak hanya itu, pemain juga diminta mempelajari tari piring yang kemudian terdapat di dalam pementasan, langsung dari akarnya.
Â
Â
Advertisement
Selanjutnya
Soal formasi pemain pun, Metron mengakui kerap mengalami perubahan. Ada kalanya pementasan dilakukan oleh tiga, empat, bahkan lima orang. Perubahan dilakukan sesuai dengan kesediaan pemain untuk terlibat dalam sandiwara tersebut saat akan dipentaskan di suatu tempat. Sebab pada faktanya, tidak semua pemain memiliki waktu yang fleksibel untuk terlibat.
Ke depannya, mereka berharap akan semakin banyak yang mengundang Ranah PAC untuk tampil agar seni tradisi bunyi-bunyian Minangkabau dapat menjangkau ke tempat-tempat lainnya. Turut terlibat pada Sandiwara Pekaba yakni Fariq Alfaruqi selaku Pimpinan Produksi, Heru Joni Putra selaku Dramaturgis, S Metron M selaku Direktur Artistik, serta Vendo Olvanlanda, Syahrul Huda, Roby Satria, dan Afdhal Zikri sebagai performer.