Liputan6.com, Jakarta Di Indonesia setiap tahunnya tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Hari Kartini merupakan hari untuk mengenang jasa Raden Adjeng Kartini sebagai pahlawan perempuan dan pejuang emansipasi wanita di Indonesia.
Seperti yang diketahui, R.A. Kartini sangat dikenal di Indonesia sebagai pahlawan yang gigih memperjuangkan emansipasi wanita. Wanita yang lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879, ini dikenal sebagai wanita yang mempelopori kesetaraan antara wanita dan pria di Indonesia.
Advertisement
Baca Juga
Semasa hidupnya, R.A. Kartini merasa banyak diskriminasi yang terjadi antara pria dan wanita pada masa itu di mana beberapa perempuan sama sekali tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan.
Dikutip laman Kemdikbud, Rabu (20/4/2022), R.A. Kartini lahir dari keluarga bangsawan dari seorang ayah yang bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang bangsawan yang menjabat sebagai Bupati Jepara dan Ibunya bernama M.A. Ngasirah.
Sebagai seorang bangsawan, R.A. Kartini berhak memperoleh pendidikan. Ayahnya kemudian menyekolahkan Kartini di ELS (Europese Lagere School). Di sana R.A. Kartini belajar bahasa Belanda. Lantaran tradisi ketika itu, anak perempuan harus tinggal di rumah untuk ‘dipingit’, maka Kartini hanya bersekolah hingga usia 12 tahun.
Disinilah sejarah perjuangan R.A. Kartini bermula. Selama tinggal di rumah, Kartini belajar sendiri dan mulai menulis surat-surat kepada teman korespondensinya yang kebanyakan berasal dari Belanda.
Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari Abendanon, Kartini mulai sering membaca buku-buku dan koran Eropa yang menyulut api baru di dalam hati Kartini, yaitu tentang kemajuan berpikir perempuan Eropa. Lalu timbulah keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi yang saat itu memiliki status sosial yang amat rendah.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Memiliki Perhatian pada Emansipasi Wanita
R.A. Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan Eropa yang menjadi langganannya yang berbahasa Belanda.
Di usinya yang ke-20, Kartini banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt serta berbagai roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa Belanda, selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.
Kartini juga mulai banyak membaca De Locomotief, surat kabar dari Semarang yang ada di bawah asuhan Pieter Brooshoof. Kartini juga mendapatkan leestrommel, sebuah paketan majalah yang dikirimkan oleh toko buku kepada langganan mereka yang di dalamnya terdapat majalah-majalah tentang kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Kartini kecil sering juga mengirimkan beberapa tulisan yang kemudian ia kirimkan kepada salah satu majalah wanita Belanda yang ia baca, yaitu De Hollandsche Lelie. Buku-buku bertuliskan Belanda tersebut membuat pikiran Kartini semakin terbuka dan semakin maju.
Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat beliau memiliki pengetahuan yang cukup luas soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum.
Advertisement
Meninggal Dunia di Usia 25 Tahun
Kartini pun melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Pada tanggal 12 November 1903, Kartini menikah dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang telah memiliki tiga istri.
Suaminya sangat mengerti cita-cita Kartini dan mengizinknnya untuk membangun sebuah sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Dari pernikahannya, Kartini memiliki seorang anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini menghembuskan napas terakhirnya pada usia 25 tahun dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihan R.A. Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912 dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya. Nama sekolah-sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”.