Liputan6.com, Jakarta - Insulin, serotonin, dan feses. Di antara ketiganya, mungkin Anda menganggap yang ketiga bukanlah obat. Namun, bulan lalu, BPOM Amerika Serikat (FDA) baru saja menyetujui pengobatan berbasis tinja untuk pertama kalinya.Â
Obat dari feses yang diberi nama 'Rebyota' disetujui untuk orang-orang dengan infeksi bakteri Clostridium difficle yang berulang. Bakteri ini menyebabkan diare dan radang usus besar yang bertanggung jawab atas kematian puluhan ribu jiwa di Amerika Serikat setiap tahunnya.Â
Terlepas dari persetujuan obat feses yang baru pertama kali ini, dokter telah menggunakan transplantasi mikroba tinja --- kotoran dari donor ditransplantasikan untuk mengubah komunitas mikroba di usus besar penerima --- selama bertahun-tahun.Â
Advertisement
Mikrobioma usus adalah koloni triliunan mikroba, termasuk bakteri, virus, dan jamur, yang hidup di saluran pencernaan kita. Selama dekade terakhir, penelitian tentang mikrobioma usus telah menunjukkan bahwa koloni ini berkontribusi pada berbagai kondisi dan penyakit yang luar biasa.Â
Menurut Ivan Vujkovic-Cvijin, asisten profesor di Cedars-Sinai Divisions of Biomedical Science, Gastroenterology, dan F. Widjaja Inflammatory Bowel and Immunobiology Research Institute, menanamkan mikroba usus donor yang sehat ke dalam usus penerima dapat membantu mengurangi penyakit yang dipengaruhi oleh mikrobioma usus.
Lalu, kondisi seperti apa saja yang mungkin dapat diobati oleh transplantasi mikroba tinja?
Amy Barto, seorang profesor kedokteran di Duke dan direktur program transplantasi mikrobiota tinja, mengatakan kepada Inverse bahwa FMT bekerja untuk beberapa penyakit infeksi di pencernaan, mengutip Inverse, Senin (26/12/2022).
FMT dan Penyakit
Amy Barto, lebih khusus lagi mengatakan bahwa transplantasi feses mikroba (FMT) dapat bekerja untuk infeksi C.diff.
"Karena memanfaatkan mikrobioma utuh yang ditempatkan di dalam feses donor yang sehat dapat membantu memulihkan mikrobioma penerima," katanya kepada Inverse.Â
Antibiotik yang digunakan untuk mengobati bakteri C. difficile biasanya hanya menghilangkan bakteri dalam fase aktif saja. Spora terkadang masih tetap ada dan kembali aktif lau menyebabkan infeksi kembali terjadi pada seseorang.Â
Pada saat seperti itu, kerusakan mikrobioma terjadi dan membutuhkan pendekatan yang lebih global dah hal tersebut disediakan oleh FMT.Â
Selain C.diff., "ada bukti yang relatif kuat bahwa FMT bekerja dengan baik untuk subset pasien dengan kolitis ulserativa," kata Vujkovic-Cvijin.
Advertisement
FMT
Bukti bahwa FMT bekerja baik terbukti dalam beberapa penelitian terdahulu.Â
Misalnya, uji coba terkontrol secara acak tahun 2015 yang diterbitkan dalam jurnal Gastroenterology menemukan bahwa setelah tujuh minggu FMT, 24 persen dari 70 orang dengan kolitis ulserativa berada dalam remisi klinis dan endoskopi (yang berarti tidak ada bukti peradangan atau penyakit) dibandingkan dengan lima persen pada kelompok plasebo.
Sebuah uji coba terkontrol secara acak tahun 2017 yang diterbitkan dalam The Lancet menemukan bahwa setelah delapan minggu pengobatan, 44 persen dari kelompok FMT berada dalam remisi klinis dari kolitis ulserativa, dan 54 persen memiliki respons klinis terhadap perawatan; pada kelompok plasebo, angka-angka itu masing-masing 20 persen dan 23 persen.
Selain kolitis ulseratif, penelitian awal menunjukkan bahwa "Hasil yang menjanjikan untuk FMT dalam autisme, imunoterapi kanker, dan kondisi lainnya," kata Vujkovic-Cvijin.
Melakukan Hal yang Tidak Bisa Dilakukan Obat
Salah satu alasan feses mungkin sangat menjanjikan untuk kondisi yang sulit diobati, kata Vujkovic-Cvijin, adalah karena banyak penyakit yang paling menantang adalah 'multi-faktorial'.Â
Hal tersebut berarti beberapa sistem biologis 'serba salah' atau mengalami disregulasi dengan cara yang membuat penyakit bermanifestasi.Â
Banyak pengobatan saat ini untuk penyakit semacam itu hanya menyerang satu bagian dari masalah, menghasilkan pengobatan yang bahkan tidak efektif.
Sebaliknya,"Mikrobioma tampaknya memiliki peran uniknya sendiri dalam banyak penyakit, dan jadi mungkin saja kita dapat meningkatkan hasil pengobatan jika kita juga menangani organ penting ini," kata Vujkovic-Cvijin.
"FMT adalah salah satu strategi pertama yang ditemukan di lapangan untuk mengubah mikrobioma, dan hasil menjanjikan yang kita lihat dalam berbagai penyakit sangat menarik dan mendorong kita untuk belajar lebih banyak."
Barto setuju, dengan mengatakan bahwa gangguan mikrobioma, yang disebut disbiosis, dapat menyebabkan serangkaian peristiwa yang dapat menciptakan keadaan pro-inflamasi yang mempengaruhi seluruh tubuh.
"Keadaan pro-inflamasi ini berpotensi mempengaruhi berbagai proses penyakit di dalam tubuh," katanya.
Advertisement