Citizen6, Surabaya: Sudah jatuh, tertimpa tangga. Pepatah ini yang dialami oleh Nur Hidayat (18), remaja dari keluarga miskin (gakin) yang tinggal di Labansari, Kecamatan Mulyorejo, Surabaya.
 Anak kedua dari Tarmudji (48) dan Muntiani (42) ini hanya sempat bekerja sehari saja sebagai pelayan di salah satu restoran di kawasan Arif Rahman Hakim, Agustus 2013 lalu.
Dikisahkan Dayat (panggilan akrab Nur Hidayat), malamnya pas usai jam kerja, dia dipanggil supervisornya. Sembari memberi uang Rp. 26 ribu, si supervisor berkata, "Mulai besok, tidak usah bekerja disini lagi ya," kata Dayat lirih mengingat kenyataan pahit tersebut.
Kejadian hampir serupa juga pernah dialami Dayat pada Mei 2013 lalu. Baru 4 hari bekerja sebagai tukang bersih-bersih di salah satu showroom mobil di kawasan Kertajaya, Dayat pun terpaksa tidak bisa melanjutkan kerja lantaran berbentrokkan dengan jadwal kontrol berobatnya.
"Saya jadi tidak enak sendiri sama bosnya. Akhirnya, saya pamit mengundurkan diri," kenang Dayat.
 Tak hanya diberi uang lelah sebesar Rp.104.000, namun bosnya Dayat juga sempat berujar, "Kalau sudah baikan, kamu silahkan bekerja lagi disini," ujar si bos pada remaja lulusan SMA swasta di kawasan Surabaya Timur ini.
Ya, begitu selesai menempuh Ujian Akhir Nasional (UAS), Dayat langsung berusaha mencari pekerjaan untuk membantu perekonomian keluarga. Sembari bermaksud untuk mencari biaya guna berobatnya.
Karena sejak 5 Maret 2013, dari hasil pemeriksaan Patologi Anatomi RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, Dayat dinyatakan mengidap penyakit Undifferentiated Carcinoma (Stadium 3).
Berbagai upaya untuk mengobati penyakitnya sudah dilakukan termasuk pengobatan alternatif. Tidak kunjung sembuh, malah Dayat merasakan kondisi penyakitnya semakin parah.
Hidungnya sering mengeluarkan darah. Jumlahnya lumayan banyak. Kondisi ini dialami Dayat mulai bulan September ini. Tak hanya itu, Dayat juga sering mengeluh pegal dan kram di sekujur tubuhnya. Kepalanya pun sering pusing.
"Kalau sudah seperti itu, saya hanya bisa berdoa," kata Dayat saat ditemui di ruang rawat jalan RSUD dr.Soetomo, Senin, 23 September 2013 lalu. Dayat menjalani pengobatan lagi secara medis setelah sebelumnya sempat berhenti pasca Ujian Akhir Nasional.
 Ironisnya, ayah kandung Dayat terpaksa berhenti berobat karena mengalah dengan anaknya. Padahal, Tarmudji, ayah Dayat juga mengalami sakit patah tulang setelah terjatuh dari proyeknya di Wamena, Papua, 2010 lalu.
 Dijelaskan Muntiani, tak hanya berhenti berobat, suaminya tersebut juga tidak bisa mengkonsumsi obat dan susu untuk tulangnya lagi dikarenakan ketidakmampuan mereka.
 Obat senilai Rp. 200 ribu berisikan 30 butir untuk jatah sebulan itu tidak mampu dibelinya sejak Agustus lalu. Apalagi susu untuk tulangnya.
"Pekerjaan saya sebagai pembantu rumah tangga lepas tidak cukup untuk membiayai berobat suami dan anak saya," ungkap Muntiani yang hanya berpenghasilan Rp. 90 ribu/minggu.
Otomatis, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka dibantu tetangga yang merasa iba. Dan untuk berobat pun, Muntiani sudah memiliki hutang sejumlah Rp. 24 juta.
 Muntiani kini hanya pasrah dengan semua cobaan ini. Dia hanya bisa "mengadu" pada Sang Pencipta dengan tidak lupa melaksanakan rutin sholat 5 waktunya.
Sementara itu, Daniel Lukas Rorong, selaku relawan pendamping Dayat dari Komunitas Tolong-Menolong berharap agar pemerintah segera tanggap terhadap nasib generasi penerus bangsa ini.
"Dan berharap, uluran tangan dari para donatur agar dapat meringankan beban hidup dari keluarga miskin ini," harap Daniel yang juga aktifis kemanusiaan ini. (Daniel Lukas Rorong/Arn)
*Daniel Lukas Rorong adalah relawan dari Komunitas Tolong-Menolong.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.
 Anak kedua dari Tarmudji (48) dan Muntiani (42) ini hanya sempat bekerja sehari saja sebagai pelayan di salah satu restoran di kawasan Arif Rahman Hakim, Agustus 2013 lalu.
Dikisahkan Dayat (panggilan akrab Nur Hidayat), malamnya pas usai jam kerja, dia dipanggil supervisornya. Sembari memberi uang Rp. 26 ribu, si supervisor berkata, "Mulai besok, tidak usah bekerja disini lagi ya," kata Dayat lirih mengingat kenyataan pahit tersebut.
Kejadian hampir serupa juga pernah dialami Dayat pada Mei 2013 lalu. Baru 4 hari bekerja sebagai tukang bersih-bersih di salah satu showroom mobil di kawasan Kertajaya, Dayat pun terpaksa tidak bisa melanjutkan kerja lantaran berbentrokkan dengan jadwal kontrol berobatnya.
"Saya jadi tidak enak sendiri sama bosnya. Akhirnya, saya pamit mengundurkan diri," kenang Dayat.
 Tak hanya diberi uang lelah sebesar Rp.104.000, namun bosnya Dayat juga sempat berujar, "Kalau sudah baikan, kamu silahkan bekerja lagi disini," ujar si bos pada remaja lulusan SMA swasta di kawasan Surabaya Timur ini.
Ya, begitu selesai menempuh Ujian Akhir Nasional (UAS), Dayat langsung berusaha mencari pekerjaan untuk membantu perekonomian keluarga. Sembari bermaksud untuk mencari biaya guna berobatnya.
Karena sejak 5 Maret 2013, dari hasil pemeriksaan Patologi Anatomi RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, Dayat dinyatakan mengidap penyakit Undifferentiated Carcinoma (Stadium 3).
Berbagai upaya untuk mengobati penyakitnya sudah dilakukan termasuk pengobatan alternatif. Tidak kunjung sembuh, malah Dayat merasakan kondisi penyakitnya semakin parah.
Hidungnya sering mengeluarkan darah. Jumlahnya lumayan banyak. Kondisi ini dialami Dayat mulai bulan September ini. Tak hanya itu, Dayat juga sering mengeluh pegal dan kram di sekujur tubuhnya. Kepalanya pun sering pusing.
"Kalau sudah seperti itu, saya hanya bisa berdoa," kata Dayat saat ditemui di ruang rawat jalan RSUD dr.Soetomo, Senin, 23 September 2013 lalu. Dayat menjalani pengobatan lagi secara medis setelah sebelumnya sempat berhenti pasca Ujian Akhir Nasional.
 Ironisnya, ayah kandung Dayat terpaksa berhenti berobat karena mengalah dengan anaknya. Padahal, Tarmudji, ayah Dayat juga mengalami sakit patah tulang setelah terjatuh dari proyeknya di Wamena, Papua, 2010 lalu.
 Dijelaskan Muntiani, tak hanya berhenti berobat, suaminya tersebut juga tidak bisa mengkonsumsi obat dan susu untuk tulangnya lagi dikarenakan ketidakmampuan mereka.
 Obat senilai Rp. 200 ribu berisikan 30 butir untuk jatah sebulan itu tidak mampu dibelinya sejak Agustus lalu. Apalagi susu untuk tulangnya.
"Pekerjaan saya sebagai pembantu rumah tangga lepas tidak cukup untuk membiayai berobat suami dan anak saya," ungkap Muntiani yang hanya berpenghasilan Rp. 90 ribu/minggu.
Otomatis, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka dibantu tetangga yang merasa iba. Dan untuk berobat pun, Muntiani sudah memiliki hutang sejumlah Rp. 24 juta.
 Muntiani kini hanya pasrah dengan semua cobaan ini. Dia hanya bisa "mengadu" pada Sang Pencipta dengan tidak lupa melaksanakan rutin sholat 5 waktunya.
Sementara itu, Daniel Lukas Rorong, selaku relawan pendamping Dayat dari Komunitas Tolong-Menolong berharap agar pemerintah segera tanggap terhadap nasib generasi penerus bangsa ini.
"Dan berharap, uluran tangan dari para donatur agar dapat meringankan beban hidup dari keluarga miskin ini," harap Daniel yang juga aktifis kemanusiaan ini. (Daniel Lukas Rorong/Arn)
*Daniel Lukas Rorong adalah relawan dari Komunitas Tolong-Menolong.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atau opini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com.