Liputan6.com, Jakarta - Direktur PT TRFX Garuda Berjangka, Ibrahim Assuaibi, mengungkapkan ada gesekan dengan Otoritas Jasa Keuangan atau OJK yang berdampak pada telatnya peluncuran bursa kripto.
Hal itu bermula dari pernyataan OJK terkait pelarangan pihak perbankan memfasilitasi transaksi kripto menuai kritik. Lantaran, kripto telah dikukuhkan sebagai salah satu komoditas yang diperdagangkan dengan pengawasan di bawah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti)
Baca Juga
Menurut Ibrahim, fungsi lembaga keuangan, dalam hal ini bank nantinya akan sebagai kustodian untuk perdagangan aset kripto. Kustodian ini paling penting posisinya.
Advertisement
"Jadi saya tidak heran kenapa launching bursa kripto ini molor terus dari semester II/2021 lalu, rupanya ada deadlock antara Bappebti dan OJK dalam melaksanakan perdagangan aset kripto yang diakui negara, dalam hal ini bursa kripto,” ungkap Ibrahim.
Dengan ada kendala itu akan membuat dampak lanjutan seperti kian sulitnya aset kripto diterima di masyarakat.
“Bahkan akan makin berjamuran aktivitas perdagangan kripto yang sulit dipantau keamanannya. Negara makin sulit untuk meregulasi aset kripto ini,” ujar Ibrahim.
Ketua Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo), Teguh K. Harmanda juga mengungkapkan bahwa pihak asosiasi menghargai pernyataan dari otoritas. Namun menurutnya, sejauh ini asosiasi telah berupaya untuk menempatkan perdagangan kripto sesuai aturan main dan melengkapi perlindungan hukum.
“Bahwa sudah semestinya kita harus menjaga industri agar tumbuh secara sehat, contohnya pada industri aset kripto yang sudah menerapkan rekomendasi terhadap APU/PPT, adanya pelaporan yang diwajibkan oleh Bappebti setiap harinya, dan melaporkan jika menemukan transaksi mencurigakan," ujar Teguh.
Pihaknya yakin, transaksi aset kripto yang berjalan saat ini sudah seirama dengan mitigasi risiko yang kita khawatirkan bersama pada industri keuangan secara luas.
Sebelumnya, OJK telah meminta kepada industri perbankan agar penggunaan rekening bank tidak dijadikan sebagai penampung dana dari kegiatan melanggar hukum, termasuk kripto. Hal itu merupakan buntut dari maraknya penipuan investasi dan kejahatan bermodus skema ponzi.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda, menilai pernyataan OJK itu menandakan adanya ketidakselarasan antar instansi pemerintah.
Pasalnya, kripto sendiri telah dirancang sebagai komoditas oleh Bappebti di bawah Kementerian Perdagangan.
Selain itu menurut Nailul, Bappebti juga telah merancang aturan terkait perdagangan dan pedagang kripto secara resmi. Artinya, selama transaksi dilakukan oleh pedagang kripto terdaftar dan diawasi Bappebti, skema perdagangan kripto layaknya komoditas ataupun produk derivatif lainnya.
“Di satu sisi Bappebti berupaya memfasilitasi industri ini, tapi di sisi lain ada institusi lain yang punya pandangan lain. OJK dan Bappebti ini ngobrol dululah, tren aset kripto ini kan sudah jalan beberapa tahun terakhir,” ungkap Nailul.
Nailul memahami sudut pandang OJK yang masih mempersepsikan bahwa aset kripto berpotensi menjadi alat tukar layaknya uang fiat, karena berdasarkan namanya yaitu cryptocurrency atau mata uang kripto.
Sedangkan, hingga saat ini hanya Rupiah yang masih menjadi alat tukar resmi di Indonesia sebagaimana diatur perundang-undangan.
Karena itu, dia menilai ada kejanggalan dengan imbauan dari otoritas agar perbankan tidak memfasilitasi transaksi aset kripto, padahal sejak awal Bappebti merumuskan kripto sebagai komoditas investasi.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
OJK Larang Lembaga Jasa Keuangan Fasilitasi Kripto
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tegas melarang seluruh lembaga jasa keuangan untuk memasarkan atau fasilitasi kripto. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso.
“OJK dengan tegas telah melarang lembaga jasa keuangan untuk menggunakan, memasarkan, dan/atau memfasilitasi perdagangan aset kripto,” kata Wimboh Santoso dalam sebuah pernyataan, Selasa, 25 Januari 2022.
Selain itu, OJK melalui akun Instagram resminya juga mengingatkan pada masyarakat untuk selalu waspada terhadap penipuan skema ponzi yang berkedok kripto.
"Aset kripto sendiri merupakan jenis komoditi yang memiliki fluktuasi nilai yang sewaktu-waktu dapat naik dan turun sehingga masyarakat harus paham risikonya," ujar OJK.
OJK menjelaskan pihaknya tidak melakukan pengawasan dan pengaturan terhadap kripto. Pengaturan dan pengawasan kripto dilakukan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan Kementerian Perdagangan.
Hal serupa pernah disampaikan OJK sebelumnya dalam diskusi Mengelola Demam Aset Kripto pada Juni 2021.
"OJK dengan tegas melarang semua lembaga jasa keuangan untuk menggunakan dan memasarkan produk aset kripto," kata Kepala Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan OJK, Tongam L Tobing, dalam diskusi Mengelola Demam Aset Kripto, Juni 2021.
Hal ini didasari karena aset kripto sendiri bukan menjadi bagian produk keuangan yang diamanatkan sesuai dengan Undang-Undang.
Merujuk pada Peraturan Bappebti Nomor 5 Tahun 2019, crypto asset atau aset kripto adalah komoditi yang tidak berwujud yang berbentuk digital aset, menggunakan kriptografi, jaringan peer-to-peer, dan buku besar yang terdistribusi untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak lain.
Advertisement