Liputan6.com, Jakarta - Standard Chartered tengah mendirikan spot perdagangan untuk sistem jual beli mata uang kripto, bitcoin (BTC) dan ethereum (ETH). Pendirian spot perdagangan ini dinilai sebagai strategi mendukung klien di seluruh ekosistem.
Menurut kabar yang dikutip dari laman Coindesk, ditulis Minggu (23/6/2024), spot perdagangan baru yang berbasis di London ini akan segera mulai beroperasi, dan menjadi bagian dari untuk perdagangan valuta asing (valas) di bank tersebut.
Baca Juga
Adapun Standard Chartered akan jadi salah satu bank global pertama yang memasuki spot perdagangan cryptocyurrency, meskipun bank lainnya telah memperdagangkan derivatif kripto selama beberapa tahun.
Advertisement
Dalam sebuah pernyataan, Standard Chartered mengaku telah bekerjasama dengan pihak otoritas di tempatnya berasal (Inggris), guna mendukung permintaan dari pihak klien institusional untuk memperdagangkan bitcoin dan ethereum.
"Itu sejalan dengan strategi kami untuk mendukung klien di seluruh ekosistem aset digital yang lebih luas. Mulai dari akses dan Kustodian, hingga tokenisasi dan interoperabilitas," kata Standard Chartered dalam sebuah pesan digital.
Keterlibatan raksasa perbankan ini dalan industri mata uang kripto terbilang sudah mapan, sebagai penyokong dari bank kustodian Zodia Custody, dan cabang bursanya Zodia Markets.
Namun, hingga berita ini dinaikan, Standard Chartered belum berbicara banyak terkait keterlibatannya di spot perdagangan bitcoin dan ethereum.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
JPMorgan Ragu Izin ETF Kripto Bakal Bertambah Usai Bitcoin dan Ethereum
Sebelumnya, bank investasi asal Amerika Serikt, JPMorgan mengungkapkan keraguannya terkait persetujuan izin ETF kripto spot lainnya selain bitcoin dan Ether oleh Komisi Sekuritas dan Bursa AS (SEC).
Direktur pelaksana JPMorgan dan ahli strategi pasar global, Nikolaos Panigirtzoglou, melihat keputusan SEC untuk menyetujui perizinan ETF Ether tidak akan meluas mengingat ketidakpastian tentang apakah Ethereum harus diklasifikasikan sebagai sekuritas.
“Kami ragu. Keputusan SEC untuk menyetujui ETF ETH sudah terlalu besar mengingat adanya ambiguitas tentang apakah Ethereum harus diklasifikasikan sebagai keamanan atau tidak,” kata Direktur pelaksana JPMorgan dan ahli strategi pasar global, Nikolaos Panigirtzoglou, dikutip dari News.bitcoin.com, Selasa (28/5/2024).
“Kami tidak berpikir SEC akan melangkah lebih jauh dengan menyetujui Solana atau token ETF lainnya mengingat SEC memiliki pendapat yang lebih kuat (relatif terhadap Ethereum) bahwa token di luar Bitcoin dan Ethereum harus diklasifikasikan sebagai sekuritas,” jelas fia.
Panigirtzoglou menyoroti sifat kontroversial dari keputusan SEC mengenai ETF Ethereum, yang diyakini beberapa analis dipengaruhi secara politik.
Dia menjelaskan bahwa, jika pembuat kebijakan AS meloloskan undang-undang yang mendefinisikan sebagian besar mata uang kripto sebagai non-sekuritas, SEC kemungkinan besar tidak akan menyetujui ETF spot mata uang kripto lainnya.
Banyak pengusaha di industri kripto, termasuk penerbit ETF spot Ether, tidak mengantisipasi SEC akan menyetujui permohonan mereka.
Sebelum persetujuan, Panigirtzoglou memperkirakan kemungkinan 50% SEC menyetujui izin ETF spot Ether. Meskipun demikian, pada tanggal 23 Mei, SEC menyetujui delapan formulir 19b-4 untuk ETF spot Ether.
Ketua SEC Gary Gensler secara konsisten menyatakan sebagian besar token kripto, kecuali Bitcoin, adalah sekuritas. Namun, ia belum secara eksplisit mengkonfirmasi bahwa eter bukanlah suatu sekuritas.
Dokumen pengadilan di AS baru-baru ini mengungkapkan bahwa SEC memulai penyelidikan formal terhadap Ether sebagai potensi keamanan tahun lalu.
Advertisement
2 Pengusaha AS Ditangkap karena Jalankan Bisnis Kripto Tak Berizin
Sebelumnya, Departemen Kehakiman (DOJ) dan Kantor Kejaksaan Amerika Serikat (AS) Distrik Utah mengungkapkan bahwa pihaknya telah mendakwa dua individu karena menjalankan bisnis dan transaksi kripto tak berizin. Dua terdakwa tersebut adalah Brian Garry Sewell dan Keen Lee Ellsworth yang menjalankan bisnis di St. George, Utah, AS.
Mengutip News.bitcoin.com, Kamis (20/6/2024) Sewell dan Ellsworth didapati mengubah dana senilai USD 2,5 juta atau sekitar Rp 40,9 miliar menjadi mata uang kripto, antara Maret hingga September 2020.
Penangkapan kedua terdakwa ini dilakukan pada akhir pekan di Washington County.
Dokumen pengadilan mengungkapkan bahwa selama periode tersebut, Sewell dan Ellsworth mengelola bisnis pengiriman uang tanpa izin, dengan Ellsworth menggunakan entitasnya Ellsworth & Associates untuk mentransfer lebih dari Rp 40,9 miliar ke Sewell.
Kemudian, Sewell mengubah dana tersebut menjadi mata uang kripto melalui entitasnya, Rockwell Capital Management.
Namun, kedua bisnis tersebut ternyata belum memperoleh izin.
Dalam periode Juni 2020 hingga Mei 2021, Sewell juga menggunakan Rockwell Capital Management untuk mentransfer lebih dari Rp 42,6 miliar atas nama entitas lain.
"Sewell menerima dana melalui transfer kawat dan kemudian mengubah dana tersebut menjadi mata uang kripto," kata DOJ.
Dalam kasus terpisah, Sewell muncul di pengadilan pekan lalu, menyusul dakwaan dewan juri federal. Berbagai tuduhan federal dihadapi Sewell termasuk penipuan kabel, membuat pernyataan palsu sehubungan dengan pinjaman, dan pencucian uang.
Menipu Investor
Selain itu, Sewell juga didapati terlibat dalam skema untuk menipu investor dengan salah mengartikan pengalaman, pendidikan, dan kemampuannya untuk menghasilkan keuntungan besar selama periode Desember 2017 hingga April 2024.
"Misalnya, Sewell secara salah mengklaim kepada investor bahwa dia menjalankan dana mata uang kripto sebelumnya dan menghasilkan keuntungan yang signifikan," terang DOJ.
Setidaknya Rp. 40,9 miliar raib akibat aktivitas penipuan tersebut. Sewell secara keliru mengklaim telah berhasil mengelola dana cryptocurrency dan memalsukan kredensial pendidikannya, dengan menyatakan gelar dari Universitas Johns Hopkins dan Universitas Stanford.
Advertisement