Liputan6.com, Jakarta - Malaysia menjadi negara pertama di dunia yang mengizinkan pembayaran zakat menggunakan aset digital. Kepala Eksekutif Pusat Pengumpulan Zakat Majlis Agama Islam Wilayah Persekutuan (PPZ-MAIWP) Datuk Abdul Hakim Amir Osman mengatakan inisiatif ini bertujuan untuk mengedukasi umat Islam tentang kewajiban zakat mereka di era teknologi blockchain dan mata uang kripto.
Melansir New Straits Time, upaya inovatif oleh PPZ-MAIWP ini merupakan inisiatif terbaru untuk menyederhanakan pembayaran zakat. Warga Malaysia dilaporkan memiliki aset digital senilai RM 16 miliar, yang wajib dizakati.
Advertisement
Baca Juga
"Di antara mereka yang berusia 18 hingga 34 tahun, 54,2 persen dari total investor terlibat dalam dunia kripto. Oleh karena itu, kami melihat ini sebagai sumber zakat baru, sumber kekayaan baru, terutama bagi generasi muda," kata dia, dikutip Kamis (26/12/2024).
Advertisement
Datuk Abdul Hakim Amir Osman menambahkan, sidang ke-134 Komite Konsultatif Hukum Islam Wilayah Federal juga memutuskan bahwa mata uang digital adalah komoditas yang dapat diperdagangkan, dengan zakat bisnis ditetapkan pada tingkat 2,5 persen.
"Digitalisasi praktik keagamaan menunjukkan bahwa Islam terus berkembang dan beradaptasi dengan kebutuhan para pengikutnya yang terus berkembang," kata dia.
Dilaporkan pengumpulan zakat dari aset digital meningkat sebesar 73 persen, sebesar RM25.983,91 pada 2023. Pengumpulan tahun ini telah mencapai sekitar RM 44.991,97.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Pencurian Kripto Sentuh Rp 35,7 Triliun Sepanjang 2024
Sebelumnya, sepanjang 2024 pencurian kripto melonjak 21 persen, mencapai USD 2,2 miliar atau setara Rp 35,7 triliun (asumsi kurs Rp 16.246 per dolar AS) menurut laporan terbaru Chainalysis.
Dilansir dari Yahoo Finance, Sabtu (21/12/2024), menurut Chainalysis lebih dari setengah dari jumlah ini dicuri oleh kelompok peretas yang berafiliasi dengan Korea Utara. Awal tahun ini, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan peretas Korea Utara mencuri aset mata uang kripto senilai USD 3 miliar antara tahun 2017 dan 2023.
Pada 2024, peretas yang terkait dengan Korea Utara menyumbang 61 persen dari total jumlah yang dicuri senilai USD 1,34 miliar, dalam 47 kasus, menurut laporan oleh Chainalysis.
Laporan tersebut menyoroti sebagian besar peretasan kripto terjadi antara Januari dan Juli 2024, tetapi jumlah yang dicuri telah melampaui USD 1,58 miliar, sekitar 84,4 persen lebih tinggi dari periode yang sama pada 2023.
Namun, setelah Juli, peristiwa peretasan menjadi sangat jarang terjadi, mungkin karena geopolitik. Chainalysis mengaitkannya dengan aliansi Korea Utara dengan Rusia, yang muncul setelah pertemuan antara Vladimir Putin, presiden Rusia, dan Kim Jong Un, pemimpin Korea Utara, pada bulan Juni.
Jumlah aset kripto yang dicuri oleh peretas yang terkait dengan Korea Utara turun sebesar 53,73 persen setelah pertemuan puncak bulan Juni, menurut Chainalysis. Korea Utara, yang telah meningkatkan kerja samanya dengan Rusia, mungkin telah mengubah taktik kejahatan dunia mayanya, kata laporan tersebut.
Advertisement
Peretas Korea Utara Curi Kripto Rp 21 Triliun Sepanjang 2024
Sebelumnya, peretas yang terkait dengan Korea Utara dilaporkan menggandakan jumlah aset digital curian dari 2023 hingga 2024.
Hal itu diungkapkan dalam laporan firma analitik, Chainalysis. Mengutip Cointelegraph, Jumat (20/12/2024) Chainalysis dalam laporannya mengatakan bahwa peretas Korea Utara mencuri kripto senilai lebih dari USD 1,3 miliar (Rp.21,1 triliun) pada tahun 2024 melalui 47 insiden, atau sekitar 61% dari semua pencurian yang dilaporkan untuk tahun tersebut.
Perusahaan tersebut juga melaporkan bahwa peretas yang terkait dengan Korea Utara mencuri lebih dari USD 660 juta (Rp10,3 triliun) pada 2023.
"Tampaknya serangan kripto Korea Utara menjadi lebih sering,” kata Chainalysis.
"Terutama, serangan antara senilai USD 50 dan USD 100 juta, dan yang di atas USD 100 juta terjadi jauh lebih sering pada tahun 2024 daripada yang terjadi pada tahun 2023, yang menunjukkan bahwa Korea Utara menjadi lebih lihai dan cepat dalam eksploitasi besar-besaran. Hal ini sangat kontras dengan dua tahun sebelumnya, di mana eksploitasinya lebih sering menghasilkan keuntungan di bawah USD 50 juta,” papar Chainalysis.
Meskipun Chainalysis mengatakan Korea Utara mengalami tahun yang sangat aktif pada peretasan kripto, aktivitas global secara keseluruhan menurun pada kuartal ketiga dan keempat 2024.
Perusahaan analitik tersebut menyatakan Korea Utara mungkin menjadi kurang bergantung pada pencurian kripto setelah memperdalam hubungan politik dan militer dengan Rusia.
Chainalysis juga melaporkan peretas di seluruh dunia telah mencuri kripto senilai sekitar USD 2,2 miliar atau Rp 35,7 triliun secara global pada 2024.
Angka tersebut merupakan peningkatan 21% secara tahunan, tetapi jauh di bawah sekitar USD 3,7 miliar (Rp.60,1 triliun) yang tercatat pada tahun 2022.
Menurut perusahaan tersebut, aset dari platform DeFi menyumbang bagian terbesar dari kripto yang dicuri pada kuartal pertama tahun 2024, sementara layanan terpusat paling banyak menjadi sasaran pada kuartal kedua dan ketiga.
Marak Pencurian Kripto, Regulator Jerman Minta Investor Waspada
Sebelumnya, Kantor Federal Jerman untuk Keamanan Informasi (BSI) telah menyarankan pengguna kripto untuk melindungi aset digital mereka menggunakan dompet perangkat keras.
Dilansir dari Coinmarketcap, Selasa (20/8/2024), dalam sebuah posting LinkedIn, BSI mengatakan dompet perangkat keras adalah metode penyimpanan mata uang kripto yang paling aman karena menyimpan kunci kriptografi pribadi dalam penyimpanan offline meminimalkan risiko serangan peretasan.
Badan tersebut menyoroti kerentanan penyimpanan aset pada platform pihak ketiga seperti bursa, yang, meskipun nyaman, rentan terhadap serangan peretasan. Demikian pula, dompet penyimpanan mandiri di ponsel atau PC juga menimbulkan risiko keamanan yang signifikan.
Konsultasi ini dilakukan sebagai respons terhadap meningkatnya ancaman pencurian mata uang kripto. Perusahaan analis Chainalysis melaporkan pada paruh pertama tahun 2024, hampir USD 1,6 miliar atau setara Rp 25,1 triliun (asumsi kurs Rp 15.690 per dolar AS) hilang akibat serangan peretasan mata uang kripto, dengan jumlah rata-rata yang dicuri per insiden naik 80% dari tahun sebelumnya.
Selain itu, serangan phishing yang menargetkan pengguna kripto perorangan telah meningkat tajam, dengan kerugian mencapai USD 341 juta atau setara Rp 5,3 triliun, melampaui jumlah total yang dicuri pada 2023.
Rekomendasi BSI menyoroti semakin pentingnya langkah-langkah keamanan yang kuat dalam menghadapi meningkatnya ancaman siber di dunia kripto.
Advertisement