Liputan6.com, Jakarta Epilepsi, gangguan neurologis yang ditandai dengan kejang berulang akibat aktivitas listrik otak abnormal, memengaruhi jutaan orang di dunia. Gangguan neurologis yang paling umum ini memengaruhi sekitar 1 hingga 5 persen populasi di seluruh dunia. Sangat perlu diperhatikan, kejang epilepsi yang terjadi tiba-tiba dan tak terduga seringkali membuat khawatir, baik bagi pengidap maupun keluarga. Memahami penyebab kambuhnya epilepsi sangat penting untuk pencegahan dan penanganan yang efektif.
Banyak faktor yang dapat memicu kambuhnya epilepsi, mulai dari faktor gaya hidup seperti kurang tidur dan stres hingga kondisi medis seperti cedera kepala dan tumor otak. Bahkan, faktor genetik juga berperan, di mana riwayat keluarga dengan epilepsi meningkatkan risiko seseorang mengalaminya. Oleh karena itu, penting untuk mengenali pemicu pribadi dan menerapkan strategi pengelolaan yang tepat.
Penyakit ini dapat muncul di semua kelompok usia, bisa terjadi pada anak-anak dan orang dewasa yang lebih tua. Penyakit ini juga tidak memandang etnis tertentu.
Advertisement
Pengidap epilepsi juga rentan mengalami disabilitas akibat perubahan emosi, perubahan perilaku, dan kesehatan mental. Menurut Ketua Lingkar Sosial Indonesia, Ken Kerta, orang dengan epilepsi atau ODE bisa mengalami depresi atau suasana hati yang rendah dan perasaan sedih yang berkepanjangan. ODE juga mengalami ansietas (kecemasan), perubahan suasana hati, fluktuasi emosi, bahkan pikiran bunuh diri akibat epilepsi yang dialami.
Bagaimana Epilepsi Terjadi?
Epilepsi disebabkan oleh aktivitas listrik abnormal di otak. Aktivitas ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk faktor genetik, cedera kepala, infeksi, stroke, dan tumor otak.
Meskipun penyebab pasti epilepsi seringkali tidak diketahui, beberapa faktor risiko telah diidentifikasi. Faktor-faktor ini dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami epilepsi.
Penting untuk diingat bahwa tidak semua orang dengan faktor risiko akan mengembangkan epilepsi. Beberapa individu mungkin memiliki pemicu unik, sementara yang lain mungkin tidak memiliki pemicu yang jelas.
“Setiap individu mungkin mengalami gejala yang berbeda. Sementara beberapa pasien mungkin hanya mengalami kejang ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari, yang lainnya dapat mengalami kejang yang lebih kompleks dan mengganggu,” jelas Retno Jayantri Ketaren, dokter spesialis saraf RS Siloam Lippo Village Karawaci..
Advertisement
Bagaimana Mendiagnosis Epilepsi?
Diagnosis epilepsi melibatkan pengumpulan riwayat medis lengkap, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dokter akan menanyakan tentang frekuensi, durasi, dan karakteristik kejang.
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk mengevaluasi kesehatan secara keseluruhan dan mendeteksi kelainan neurologis lainnya. Pemeriksaan penunjang, seperti EEG (Electroencephalogram) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging), sangat penting.
EEG merekam aktivitas listrik otak untuk mengidentifikasi pola abnormal yang terkait dengan epilepsi. MRI digunakan untuk memvisualisasikan struktur otak dan mendeteksi kelainan seperti tumor atau lesi.
Bagaimana Menangani Penderita Epilepsi Saat Kejang Terjadi?
Saat kejang terjadi, tindakan cepat dan tepat sangat penting. Lindungi kepala penderita dari benturan dengan meletakkan sesuatu yang lembut di bawahnya.
Jangan mencoba menahan gerakan penderita selama kejang. Singkirkan benda-benda berbahaya di sekitar penderita untuk mencegah cedera.
Setelah kejang berhenti, posisikan penderita miring untuk mencegah tersedak. Awasi pernapasan dan denyut nadi penderita. Segera hubungi layanan medis darurat jika kejang berlangsung lama atau penderita tidak sadarkan diri setelah kejang.
"Sangatlah penting untuk membedakan epilepsi dari gangguan kejang lainnya, seperti kejang febrile atau kejang akibat infeksi. Gangguan tersebut tidak berulang dan tidak disebabkan oleh masalah neurologis yang mendasar, sehingga pengetahuan tentang perbedaan ini sangat penting," jelas Retno.
Advertisement
Bagaimana Mengobati Epilepsi?
Pengobatan epilepsi bertujuan untuk mengontrol kejang dan meningkatkan kualitas hidup penderita. Obat antiepilepsi (OAE) merupakan pengobatan lini pertama.
Pemilihan OAE dan dosisnya disesuaikan dengan jenis epilepsi, usia, dan kondisi kesehatan penderita. Pemantauan berkala sangat penting untuk memastikan pengobatan efektif dan meminimalkan efek samping.
Selain OAE, beberapa terapi lain dapat dipertimbangkan, seperti pembedahan, stimulasi saraf vagus (VNS), dan diet ketogenik. "VNS biasanya ditawarkan kepada pasien yang tidak mendapatkan hasil yang memuaskan dari pengobatan antiepilepsi konvensional," jelas dokter spesialis bedah saraf RS Siloam Lippo Village Karawaci, Made Agus Mahendra Inggas.
Faktor-faktor yang Memicu Kambuhnya Epilepsi
Beberapa faktor dapat memicu kambuhnya epilepsi. Faktor gaya hidup dan lingkungan meliputi kurang tidur, stres, stimulasi visual yang kuat (lampu terang atau berkedip), alkohol, obat-obatan, demam, dan siklus menstruasi (pada wanita).
Faktor medis yang dapat memicu kambuh antara lain: berhenti minum obat secara tiba-tiba, cedera kepala, infeksi sistem saraf pusat (meningitis, ensefalitis), stroke, tumor otak, dan demensia.
Faktor genetik juga berperan, di mana riwayat keluarga dengan epilepsi meningkatkan risiko kambuh. Penting untuk berkonsultasi dengan dokter untuk mengidentifikasi pemicu pribadi dan mengembangkan strategi pencegahan yang tepat.
- Kurang tidur atau kelelahan
- Stres
- Waktu tertentu (pagi atau malam)
- Lampu terang atau berkedip
- Alkohol, obat-obatan, atau narkoba
- Demam atau sakit
- Siklus menstruasi (pada wanita)
- Berhenti minum obat
- Cedera kepala
- Infeksi sistem saraf pusat
- Stroke
- Tumor otak
- Demensia
- Riwayat keluarga dengan epilepsi
Advertisement
