Liputan6.com, Jakarta Memang merupakan sebuah realita yang tak cukup indah bahwa keberlangsungan seni sebagai produk budaya tak lepas dari peranan supply-demand ranah ekonomi. Mengupas bagaimana hubungan sesungguhnya dari 2 komponen itu adalah ladang bajak para filsuf. Bukan bermaksud apatis terhadap pemikiran mereka, tapi rasanya logika sederhana mengatakan bahwa jalur perdagangan adalah `jalan keluar` untuk mencegah kepunahan satu bentuk kesenian.
Hal ini bisa dikatakan tentang Batik Kudus. Pola pencarian penghasilan masyarakat di Kudus, sebagaimana di daerah lainnya, bisa berubah seiring dengan pergeseran berbagai macam hal. Dari basis batik ke industri rokok, ke depan bukan tak mungkin wilayah itu punya warna profesi baru di wajah demografinya. Pada kasus ini, perjuangan untuk menjaga eksistensi batik jelas bukan utamanya mengenai elemen kesejahteraan penduduk itu sendiri, melainkan soal kecintaan akan segi artistiknya.
Baca Juga
Namun pastinya hanya dengan membuktikan bahwa profesi pebatik bisa menyejahterakan hidup, kegiatan membatik itu dapat tetap lestari dan dengan demikian kelahiran keindahannya terus terjadi. Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah apa yang memungkinkan batik itu dikonsumsi sehingga ia akan dibuat selalu? Untuk era kini, fesyen adalah satu jawaban cantik nan konkret. Dan akan semakin kuat dampaknya bila menyentuh genre pret-a-porter atau ready-to-wear.
Advertisement
Desainer Denny Wirawan `resmi` mengaktualisasi hal tersebut sejak tahun 2008. Bali Java, lini ke-2 dari desainer lulusan Lembaga Pengajaran Tata Busana Susan Budihardjo itu, dihadirkan olehnya khusus untuk mengolah kekayaan kain tradisional Nusantara. Pada Kamis 3 September 2015, batik kudus yang mendapat kehormatan tersendiri untuk disentuh oleh tangan kreatif sang desainer tampil di hadapan khalayak.
Nama Bakti Budaya Djarum Foundation tak bisa dilepas kala berbicara tentang proyek tersebut. Badan budaya inilah yang menginisiasi idenya. “Hari ini menjadi momentum besar bagi Batik Kudus dan desainer Denny Wirawan dalam mempersembahkan Bali Java koleksi batik kudus. Kehadiran dalam peragaan tunggal adalah langkah serius kami untuk mengangkat kembali keindahan Batik Kudus ke pasar ritel,” ucap Renita Sari Adrian selaku Program Director dari Bakti Budaya Djarum Foundation.
Foyer dari grand ballroom di Hotel Indonesia Kempinski malam itu gemerlap oleh kehadiran para tamu ternama yang riuh berbincang antar sesama dengan menu-menu tradisional dan jajanan pasar tersaji untuk disantap. Semangkuk lontong tahu telur serta beberapa potong lapis legit menjadi sebuah persiapan yang cukup untuk menikmati suguhan lain berupa karya-karya busana rancangan Denny. Sekitar pukul setengah 9 malam, peragaan busana dibuka dengan kemunculan Atiqah Hasiholan di runway.
Kreatifitas Denny Wirawan Mengolah Batik Kudus
Kreatifitas Denny Wirawan Mengolah Batik Kudus
Sebanyak 80 looks yang dibuat Denny untuk acara fashion show pertama produksi Bakti Budaya Djarum Foundation memiliki beberapa varian karakter. Nafas retro romance dan elegan seperti yang tampak pada busana-busana berkerah lebar atau yang beraksen ruffle berperan sebagai karya penciri gaya desainnya.
Seri yang lebih kekinian bisa temui pada rancangan-rancangan bergaris sleek nan minimalistik sebagaimana terlihat pada boxy tops lengan panjang berdesain drop shoulder. Busana yang dipadukan dengan hot pants itu punya satu hal menarik untuk dipaparkan.
Di sana terlihat bagaimana secara kreatif, desainer kelahiran 1967 itu memadukan print dengan batik, yang pada kasus ini adalah batik cap kembang seruni kuning. Tak berhenti sampai di situ, kreativitas Denny juga mewujud pada adaptasi motif merak njraping menjadi bordir ukuran besar.
Motif lain semisal bunga cattleya bahkan dibuat dalam versi kerancang 3 dimensi. Bersamaan dengan manifestasi kecintannya atas kain-kain tradisional, karya-karya ciptannya menyiratkan pesan soal kewajaran akan interpretasi kreatif atas warisan budaya masa lampau dimana yang lama dan yang baru bukanlah untuk saling meniadakan melainkan memperkaya.
Hal tersebut juga bisa dibaca pada sikapnya di konferensi pers yang dilangsungkan beberapa saat sebelum show dimulai dimana ia secara terbuka mengungkap bahwa sebagian batik yang digunakan sebagai bahan koleksi memiliki motif dan warna yang dibuat atas permintaan dirinya sendiri – dan kemudian lebih lanjut dijelaskannya bahwa hal itu dilakukan dengan tetap menjaga koridor-koridor budaya batik kudus.
Mulai populer pada tahun 1880 sampai 1940 dan berkembang hingga tahun 1970an, batik kudus secara garis besar mendapat pengaruh budaya Tiongkok maupun Timur Tengah. “Sekitar tahun 1980an produksinya mengalami penuruan,” jelas Miranti Serad Ginanjar pada sebuah penjelasan tertulis. Miranti, yang turut menjadi bagian penting dari fashion show ini, sudah membina para pebatik sejak tahun 2011 dengan dukungan penuh dari Bakti Budaya Djarum Foundation.
Rasa cinta dan semangatnya untuk membuat para generasi penerus dapat tetap menikmati keindahan batik kudus kini berbuah manis dengan digunakannya kain-kain perajin batik binaannya sebagai bagian dari koleksi karya desainer yang pada tahun 1999 tergabung dalam Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI). Rancangan-rancangan di koleksi itu akan tersedia di department store Alun Alun Indonesia pada 28 September – 16 Oktober 2015.
Peragaan busana malam itu tetiba mendapat tepuk tangan di pertengahan kala model Karenina berlenggok mengenakan leotard motif beras kecer yang dibuat secara digital.Busana minim itu dibalut dengan sebuah cape batik motif bunga lotus. Beras Kecer, bersama dengan beras kepyar, pada batik kudus adalah motif latar yang mengisi bidang kosong sebuah kain.
Sebagaimana berfungsi mengisi latar, motif itu dalam kain batik kudus aslinya selalu berdampingan dengan motif-motif utama. Di tangan Denny, motif-motif tersebut dibawa lebih jauh untuk menjadi motif tunggal sebuah busana. Bahkan dibuatnya dengan teknik digital.
Pada koleksi Bali Java ini, motif digital beras kecer itu juga menjadi bagian dari keanggunan gaun-gaun malam ciptaan Denny. Salah satu yang bisa disebut adalah cape dress panjang berbelahan dada rendah yang dibawakan oleh Puteri Indonesia 2013, Whulandari Herman.
Jikalau diperkenankan untuk memberi satu masukan atas pagelaran busana yang lancar berjalan hingga akhir acara itu, maka yang ingin dipertanyakan adalah soal tema `Pasar Malam` yang rasanya hanya terasa pada latar catwalk. Selebihnya tercerai-berai. Untuk sebuah acara semarak seperti yang dilangsungkan malam itu, kohesi antara tata panggung, musik, pencahayaan, koreografi, dan pastinya langgam koleksi busana itu sendiri, harusnya bisa digarap lebih padu.
Di atas semuanya, langkah Bakti Budaya Djarum Foundation dan Denny Wirawan dalam mengolah kain tradisional Nusantara tentu diharapkan menjangkiti pelaku industri mode lainnya. Diharapkan pula hal serupa dilakukan dengan tetap memerhatikan aspek kesejahteraan pengrajin maupun konsiderasi mode pada karya-karya yang dihasilkan.
(bio/igw)
Advertisement