Perbedaan Pendapat dalam Islam: Menyikapi dengan Bijak dan Toleran

Perbedaan pendapat dalam Islam adalah keniscayaan. Pelajari cara menyikapinya dengan bijak dan toleran untuk menjaga persatuan umat.

oleh Ayu Isti Prabandari Diperbarui 06 Mar 2025, 14:38 WIB
Diterbitkan 06 Mar 2025, 14:38 WIB
perbedaan pendapat dalam islam
perbedaan pendapat dalam islam ©Ilustrasi dibuat AI... Selengkapnya

Definisi Perbedaan Pendapat dalam Islam

Liputan6.com, Jakarta Perbedaan pendapat atau ikhtilaf dalam Islam merujuk pada keragaman pandangan dan interpretasi di kalangan umat Muslim terkait berbagai persoalan agama, terutama dalam masalah fikih dan hukum Islam. Fenomena ini merupakan konsekuensi logis dari keluasan ajaran Islam serta perbedaan kapasitas intelektual dan metodologi ijtihad para ulama.

Dalam konteks Islam, perbedaan pendapat yang dimaksud bukanlah pertentangan prinsip-prinsip fundamental agama yang telah disepakati (ijma'), melainkan variasi pemahaman dalam masalah-masalah cabang (furu'iyah) yang masih terbuka ruang interpretasi. Perbedaan semacam ini telah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat, serta terus berlanjut hingga era modern.

Beberapa karakteristik penting dari perbedaan pendapat dalam Islam antara lain:

  • Bersumber dari upaya sungguh-sungguh (ijtihad) para ulama dalam memahami nash Al-Qur'an dan Hadits
  • Terjadi dalam masalah-masalah yang tidak ada nash yang qath'i (pasti) tentangnya
  • Tidak menyentuh prinsip-prinsip dasar akidah dan ibadah yang telah disepakati
  • Merupakan rahmat dan keluasan bagi umat, bukan perpecahan
  • Para ulama yang berbeda pendapat tetap saling menghormati dan tidak saling mencela

Dengan demikian, perbedaan pendapat dalam Islam bukanlah hal yang tercela, melainkan keniscayaan yang harus disikapi dengan bijak. Justru keragaman pemikiran ini menunjukkan dinamika dan vitalitas pemikiran Islam sepanjang sejarah.

Promosi 1

Sejarah Perbedaan Pendapat di Masa Nabi dan Sahabat

Perbedaan pendapat dalam Islam telah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW, meskipun dalam skala yang terbatas. Beberapa contoh perbedaan pendapat di kalangan sahabat yang terjadi pada masa Nabi antara lain:

1. Peristiwa Bani Quraizhah

Ketika Nabi memerintahkan para sahabat, "Janganlah seseorang shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah", sebagian sahabat memahaminya secara tekstual sehingga menunda shalat Ashar hingga tiba di Bani Quraizhah meski waktu Ashar telah habis. Sementara sebagian lain memahaminya sebagai perintah untuk bergegas, sehingga tetap melaksanakan shalat Ashar tepat waktu sebelum tiba di tujuan. Nabi tidak menyalahkan salah satu dari kedua kelompok tersebut.

2. Perbedaan cara bertayamum

Dua orang sahabat yang sedang dalam perjalanan kehabisan air untuk berwudhu. Keduanya bertayamum lalu shalat. Setelah menemukan air, salah seorang dari mereka mengulangi shalatnya sementara yang lain tidak. Ketika hal ini diadukan kepada Nabi, beliau membenarkan keduanya.

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, perbedaan pendapat di kalangan sahabat semakin meluas seiring dengan munculnya berbagai persoalan baru yang belum pernah terjadi di masa Nabi. Beberapa contoh perbedaan pendapat di era sahabat antara lain:

1. Penunjukan khalifah pengganti Nabi

Para sahabat berbeda pendapat mengenai siapa yang paling berhak menggantikan posisi Nabi sebagai pemimpin umat. Sebagian mendukung Abu Bakar, sebagian lain mendukung Ali bin Abi Thalib. Akhirnya dicapai kesepakatan untuk membaiat Abu Bakar sebagai khalifah pertama.

2. Pembagian harta rampasan perang

Umar bin Khattab berpendapat bahwa tanah-tanah taklukan tidak dibagi-bagikan kepada para prajurit, melainkan dibiarkan di tangan pemiliknya dengan kewajiban membayar pajak. Sementara beberapa sahabat lain berpendapat tanah tersebut harus dibagi sebagai ghanimah.

3. Hukum membagikan zakat kepada muallaf

Abu Bakar dan Umar berbeda pendapat mengenai apakah masih perlu memberikan zakat kepada golongan muallaf setelah Islam menjadi kuat. Umar berpendapat hal itu tidak lagi diperlukan.

Perbedaan pendapat di kalangan sahabat ini menjadi cikal bakal berkembangnya mazhab-mazhab fikih di kemudian hari. Para sahabat menunjukkan teladan bagaimana menyikapi perbedaan dengan tetap menjaga persaudaraan dan tidak saling mencela.

Penyebab Terjadinya Perbedaan Pendapat

Terdapat beragam faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam memahami dan menafsirkan ajaran Islam, antara lain:

1. Perbedaan dalam memahami nash Al-Qur'an dan Hadits

Teks-teks keagamaan terkadang mengandung lafaz musytarak (kata bermakna ganda) atau memiliki makna hakiki dan majazi. Misalnya kata "quru'" dalam QS Al-Baqarah: 228 yang bisa diartikan suci atau haid, sehingga mempengaruhi penentuan masa iddah wanita yang dicerai.

2. Perbedaan dalam menilai keshahihan dan pemaknaan hadits

Para ulama terkadang berbeda dalam menilai keshahihan suatu hadits atau dalam memahami maksudnya. Misalnya hadits tentang larangan wanita bepergian tanpa mahram, sebagian ulama memahaminya secara tekstual sementara yang lain memahaminya kontekstual.

3. Perbedaan metodologi ijtihad

Setiap mazhab fikih memiliki kaidah-kaidah ushul fikih tersendiri dalam melakukan istinbath hukum. Misalnya perbedaan dalam menggunakan qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, dan metode ijtihad lainnya.

4. Perbedaan latar belakang sosial-budaya

Perbedaan kondisi geografis, budaya, dan problematika masyarakat di berbagai wilayah Islam turut mempengaruhi cara pandang para ulama dalam berijtihad.

5. Perbedaan kapasitas intelektual

Tingkat kecerdasan dan keluasan wawasan yang berbeda-beda di antara para ulama turut berkontribusi pada keragaman hasil ijtihad mereka.

6. Perbedaan informasi yang diterima

Tidak semua hadits atau atsar sahabat sampai kepada seluruh ulama, sehingga ada kalanya mereka berfatwa tanpa mengetahui adanya dalil lain yang lebih kuat.

7. Perbedaan dalam memahami maqashid syariah

Para ulama terkadang berbeda dalam menentukan illat hukum dan tujuan pensyariatan suatu ketentuan, sehingga menghasilkan kesimpulan hukum yang berbeda pula.

Faktor-faktor di atas menunjukkan bahwa perbedaan pendapat dalam Islam merupakan sesuatu yang alamiah dan tak terhindarkan. Justru keragaman pemahaman ini menjadi bukti fleksibilitas dan dinamisme ajaran Islam dalam merespon berbagai konteks dan problematika umat.

Jenis-Jenis Perbedaan Pendapat dalam Islam

Perbedaan pendapat dalam Islam dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan sifat dan dampaknya, antara lain:

1. Perbedaan yang diperbolehkan (ikhtilaf mahmud)

Ini adalah perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang tidak memiliki dalil qath'i (pasti). Perbedaan jenis ini justru menjadi rahmat dan keluasan bagi umat. Contohnya perbedaan pendapat tentang cara mengangkat tangan ketika takbiratul ihram atau tentang bacaan doa qunut.

2. Perbedaan yang tercela (ikhtilaf madzmum)

Yaitu perbedaan yang bertentangan dengan nash-nash yang qath'i atau ijma' ulama. Perbedaan semacam ini tidak dibenarkan dan dapat mengarah pada perpecahan. Misalnya perbedaan pendapat tentang kewajiban shalat lima waktu atau keharaman zina.

3. Perbedaan lafzhiy (verbal)

Perbedaan ini hanya terjadi dalam penggunaan istilah, sementara substansinya sama. Misalnya perbedaan ulama dalam mendefinisikan iman, sebagian menyebutnya keyakinan dalam hati dan amal perbuatan, sementara yang lain menyebutnya hanya keyakinan dalam hati. Padahal keduanya sepakat bahwa amal perbuatan adalah bagian dari kesempurnaan iman.

4. Perbedaan haqiqi (substansial)

Yaitu perbedaan yang memang berbeda secara substansi. Misalnya perbedaan pendapat tentang hukum musik dan nyanyian, sebagian ulama mengharamkan sementara yang lain membolehkan dengan syarat-syarat tertentu.

5. Perbedaan dalam masalah ushul (pokok agama)

Perbedaan dalam masalah akidah dan prinsip-prinsip dasar agama. Perbedaan jenis ini sangat sensitif dan berpotensi menimbulkan perpecahan jika tidak disikapi dengan bijak. Misalnya perbedaan antara Ahlus Sunnah dan Mu'tazilah dalam memahami sifat-sifat Allah.

6. Perbedaan dalam masalah furu' (cabang agama)

Yaitu perbedaan dalam masalah-masalah detail fikih yang masih terbuka ruang ijtihad. Perbedaan jenis ini wajar terjadi dan tidak seharusnya menimbulkan perpecahan. Contohnya perbedaan pendapat tentang hukum qunut dalam shalat Subuh.

7. Perbedaan yang disebabkan perkembangan zaman

Munculnya berbagai persoalan kontemporer yang belum ada di zaman dahulu sering kali memicu perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menyikapinya. Misalnya perbedaan pendapat tentang hukum transplantasi organ atau bayi tabung.

Memahami berbagai jenis perbedaan pendapat ini penting agar kita bisa menyikapinya secara proporsional. Perbedaan dalam masalah-masalah ijtihadiyah hendaknya disikapi dengan lapang dada dan saling menghormati. Sementara perbedaan yang menyangkut prinsip-prinsip dasar agama perlu didiskusikan secara ilmiah dengan tetap menjaga persaudaraan.

Manfaat Perbedaan Pendapat

Meski kerap dipandang negatif, perbedaan pendapat dalam Islam sesungguhnya memiliki berbagai manfaat dan hikmah, di antaranya:

1. Menunjukkan keluasan dan fleksibilitas syariat Islam

Keragaman pendapat ulama membuktikan bahwa Islam adalah agama yang luwes dan mampu merespon berbagai konteks dan problematika umat. Hal ini menegaskan universalitas Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.

2. Memperkaya khazanah pemikiran Islam

Perbedaan pendapat mendorong para ulama untuk terus mengkaji dan mendalami dalil-dalil syariat, sehingga melahirkan karya-karya intelektual yang luar biasa dalam berbagai disiplin ilmu keislaman.

3. Memberikan kemudahan bagi umat

Adanya beragam pendapat memungkinkan umat untuk memilih pendapat yang lebih sesuai dengan kondisi dan kemampuan mereka, selama masih dalam koridor syariat.

4. Melatih sikap toleransi dan lapang dada

Perbedaan pendapat mengajarkan umat Islam untuk bersikap dewasa dalam menyikapi keragaman, tidak mudah menyalahkan orang lain, dan menghargai hasil ijtihad ulama.

5. Mendorong semangat ijtihad dan penelitian ilmiah

Adanya perbedaan pendapat memotivasi para ulama dan cendekiawan Muslim untuk terus melakukan kajian dan penelitian guna menemukan pendapat yang lebih kuat atau solusi yang lebih tepat.

6. Menjaga vitalitas pemikiran Islam

Perbedaan pendapat mencegah stagnasi pemikiran dan mendorong dinamika intelektual yang sehat dalam dunia Islam. Hal ini penting untuk menjaga relevansi Islam di tengah perkembangan zaman.

7. Menunjukkan objektivitas ulama

Perbedaan pendapat di kalangan ulama membuktikan bahwa mereka berijtihad secara objektif berdasarkan dalil, bukan sekadar taklid atau mengikuti hawa nafsu.

8. Memperkuat ukhuwah Islamiyah

Jika disikapi dengan bijak, perbedaan pendapat justru dapat mempererat persaudaraan sesama Muslim. Sebab mereka akan saling menghargai dan memahami bahwa perbedaan adalah keniscayaan.

9. Meningkatkan kualitas argumentasi

Adanya perbedaan pendapat mendorong para ulama untuk memperkuat argumentasi mereka dengan dalil-dalil yang lebih kuat dan analisis yang lebih mendalam.

10. Menjadi sarana dakwah dan pendidikan

Perbedaan pendapat dapat menjadi media untuk mengedukasi umat tentang adab berbeda pendapat dan etika berdiskusi dalam Islam.

Dengan memahami berbagai manfaat ini, diharapkan umat Islam dapat menyikapi perbedaan pendapat secara lebih positif dan konstruktif. Perbedaan hendaknya dipandang sebagai kekayaan intelektual, bukan ancaman yang harus dihindari.

Etika Menyikapi Perbedaan Pendapat

Dalam menyikapi perbedaan pendapat, Islam telah mengajarkan berbagai adab dan etika yang perlu diperhatikan, antara lain:

1. Menyadari bahwa perbedaan adalah keniscayaan

Kita harus memahami bahwa perbedaan pendapat, terutama dalam masalah-masalah ijtihadiyah, adalah sesuatu yang wajar dan tak terhindarkan. Allah berfirman:

"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?" (QS. Yunus: 99)

2. Berprasangka baik kepada sesama Muslim

Hendaknya kita selalu berprasangka baik bahwa orang yang berbeda pendapat dengan kita juga memiliki niat baik dan dalil yang diyakininya kuat. Rasulullah SAW bersabda:

"Jauhilah prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah ucapan yang paling dusta." (HR. Bukhari)

3. Menghindari sikap merasa paling benar sendiri

Kita perlu menyadari keterbatasan ilmu kita dan kemungkinan adanya kebenaran pada pendapat orang lain. Imam Syafi'i berkata:

"Pendapatku benar tapi mungkin salah, dan pendapat orang lain salah tapi mungkin benar."

4. Fokus pada persamaan, bukan perbedaan

Alih-alih terjebak dalam perdebatan yang tidak produktif, lebih baik fokus pada hal-hal yang disepakati bersama. Allah berfirman:

"Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu..." (QS. Ali Imran: 64)

5. Menjaga adab dalam berdiskusi

Ketika mendiskusikan perbedaan pendapat, hendaknya dilakukan dengan cara yang santun dan argumentatif, bukan dengan mencela atau merendahkan. Allah berfirman:

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik..." (QS. An-Nahl: 125)

6. Menghormati hasil ijtihad ulama

Kita perlu menghargai hasil ijtihad para ulama meski berbeda dengan pendapat yang kita anut. Rasulullah SAW bersabda:

"Apabila seorang hakim memutuskan perkara dengan berijtihad kemudian benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan apabila ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala." (HR. Bukhari)

7. Tidak memaksakan pendapat kepada orang lain

Kita tidak boleh memaksa orang lain untuk mengikuti pendapat kita, terutama dalam masalah-masalah khilafiyah. Allah berfirman:

"Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam)..." (QS. Al-Baqarah: 256)

8. Menjaga persaudaraan di atas perbedaan

Perbedaan pendapat tidak boleh mengorbankan persaudaraan sesama Muslim. Allah berfirman:

"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara..." (QS. Al-Hujurat: 10)

9. Bersikap objektif dalam menilai pendapat

Hendaknya kita menilai suatu pendapat berdasarkan kekuatan dalilnya, bukan berdasarkan siapa yang mengemukakannya. Imam Syafi'i berkata:

"Aku rela pendapatku diambil oleh orang lain asalkan tidak dinisbatkan kepadaku, dan aku rela mengambil kebenaran dari orang lain asalkan dinisbatkan kepadanya."

10. Introspeksi diri dan terbuka pada kebenaran

Kita harus selalu siap mengoreksi pendapat sendiri jika menemukan dalil yang lebih kuat. Umar bin Khattab pernah berkata:

"Barangsiapa melihat kesalahan pada dirinya lalu meninggalkannya, maka ia telah menang."

Dengan menerapkan etika-etika di atas, diharapkan perbedaan pendapat dapat menjadi sarana untuk saling melengkapi dan memperkaya wawasan, bukan menjadi sumber perpecahan di kalangan umat Islam.

Teladan Ulama dalam Menyikapi Perbedaan

Para ulama terdahulu telah memberikan teladan yang luar biasa dalam menyikapi perbedaan pendapat. Beberapa contoh sikap mereka yang patut kita teladani antara lain:

1. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik

Meski sering berbeda pendapat, kedua imam ini saling menghormati. Imam Abu Hanifah pernah berkata, "Malik adalah hujjah antara aku dan Allah." Sementara Imam Malik memuji kecerdasan Abu Hanifah dengan mengatakan, "Abu Hanifah sangat fasih dalam berdebat, seandainya ia berdebat bahwa tiang ini terbuat dari emas, niscaya ia akan menang."

2. Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal

Imam Syafi'i adalah guru Imam Ahmad, namun keduanya sering berbeda pendapat. Meski demikian, mereka tetap saling menghormati. Imam Ahmad berkata, "Tidak ada seorang pun yang memegang pena dan tinta melainkan ia berhutang budi pada Imam Syafi'i." Sementara Imam Syafi'i memuji Imam Ahmad dengan mengatakan, "Aku keluar dari Baghdad dan tidak meninggalkan orang yang lebih takwa dan lebih alim daripada Ahmad bin Hanbal."

3. Imam Malik dan murid-muridnya

Imam Malik sangat menghargai pendapat murid-muridnya. Ia pernah berkata, "Aku hanyalah manusia biasa yang bisa salah dan benar. Maka telitilah pendapatku, jika sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah maka ambillah, dan jika tidak sesuai maka tinggalkanlah."

4. Imam Syafi'i dan kritik terhadap gurunya

Meski sangat menghormati gurunya Imam Malik, Imam Syafi'i tidak segan mengkritik beberapa pendapat gurunya yang menurutnya kurang kuat. Namun ia melakukannya dengan sangat sopan dan argumentatif. Ia berkata, "Jika ada hadits shahih yang menyelisihi pendapatku, maka hadits itu adalah madzhabku, dan buanglah pendapatku ke tembok."

5. Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih

Kedua ulama ini sering berbeda pendapat, namun tetap saling memuji. Imam Ahmad berkata, "Tidak ada yang menyeberangi jembatan Khurasan yang lebih alim daripada Ishaq." Sementara Ishaq berkata, "Ahmad adalah imam dunia."

6. Imam Bukhari dan Imam Muslim

Meski keduanya sama-sama ahli hadits, mereka terkadang berbeda dalam menilai keshahihan suatu hadits. Namun mereka tetap saling menghormati. Imam Muslim bahkan menyebut Imam Bukhari sebagai "tidak ada tandingannya di dunia ini dalam ilmu hadits."

7. Ibnu Taimiyah dan para penentangnya

Meski banyak ulama yang menentang pemikirannya, Ibnu Taimiyah tetap menghormati mereka. Ia berkata, "Saya tidak pernah mengatakan bahwa salah seorang dari imam kaum muslimin sengaja menyelisihi Rasulullah SAW. Mereka semua sepakat bahwa wajib mengikuti Rasulullah SAW."

8. Imam Ghazali dan para filsuf

Meski mengkritik keras pemikiran para filsuf dalam kitabnya "Tahafut al-Falasifah", Imam Ghazali tetap menghargai kontribusi mereka dalam bidang-bidang lain. Ia bahkan mempelajari dan mengambil manfaat dari logika yang dikembangkan para filsuf.

9. Imam Syaukani dan para pengikut mazhab

Meski mengkritik taklid buta pada mazhab, Imam Syaukani tetap menghargai para imam mazhab. Ia berkata, "Kita wajib mengikuti dalil, bukan person. Namun ini tidak berarti meremehkan para imam mujtahid yang telah berjasa besar bagi umat."

10. Syaikh Bin Baz dan Syaikh Al-Albani

Kedua ulama kontemporer ini sering berbeda pendapat dalam berbagai masalah fikih, namun tetap saling menghormati. Syaikh Bin Baz bahkan menyebut Syaikh Al-Albani sebagai "mujaddid abad ini dalam bidang hadits."

Teladan para ulama di atas menunjukkan bahwa perbedaan pendapat tidak menghalangi mereka untuk tetap saling menghormati dan mengakui kelebihan satu sama lain. Inilah sikap yang seharusnya kita teladani dalam menyikapi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam.

Solusi Mengatasi Perbedaan yang Berlebihan

Meski perbedaan pendapat adalah hal yang wajar, terkadang ia dapat menimbulkan ketegangan dan perpecahan jika tidak dikelola dengan baik. Berikut beberapa solusi untuk mengatasi perbedaan yang berlebihan:

1. Kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah

Ketika terjadi perbedaan pendapat, hendaknya kita kembali merujuk pada sumber utama ajaran Islam. Allah berfirman:

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya)..." (QS. An-Nisa: 59)

2. Mengedepankan dialog dan diskusi ilmiah

Perbedaan pendapat sebaiknya dibahas dalam forum-forum ilmiah yang kondusif, bukan di media sosial atau mimbar-mimbar yang memicu emosi massa. Para ulama dan cendekiawan Muslim perlu lebih sering mengadakan halaqah dan mudzakarah untuk membahas isu-isu khilafiyah.

3. Memahami hierarki hukum Islam

Penting untuk membedakan antara perkara ushul (pokok) dan furu' (cabang) dalam agama. Perbedaan dalam masalah furu' tidak seharusnya mengorbankan persatuan umat dalam masalah ushul. Kaidah fikih menyebutkan: "Pengingkaran hanya pada perkara yang dis epakati keharamannya."

4. Memperluas wawasan

Seringkali perbedaan yang berlebihan terjadi karena keterbatasan wawasan. Dengan mempelajari berbagai pendapat ulama beserta dalil-dalilnya, kita akan lebih bijak dalam menyikapi perbedaan. Imam Syafi'i berkata, "Pendapatku benar tapi mungkin salah, pendapat orang lain salah tapi mungkin benar."

5. Menghindari fanatisme berlebihan

Sikap fanatik buta terhadap satu pendapat atau mazhab tertentu sering kali menjadi pemicu konflik. Kita perlu bersikap terbuka terhadap kemungkinan adanya kebenaran pada pendapat lain. Imam Malik berkata, "Setiap orang bisa diterima atau ditolak perkataannya, kecuali penghuni kubur ini (Nabi Muhammad SAW)."

6. Fokus pada persamaan, bukan perbedaan

Alih-alih terjebak dalam perdebatan yang tidak produktif, lebih baik memusatkan perhatian pada hal-hal yang disepakati bersama. Ini akan mempererat persatuan umat dan meminimalisir potensi konflik.

7. Menjaga adab berbeda pendapat

Perbedaan pendapat harus disampaikan dengan cara yang santun dan argumentatif, bukan dengan mencela atau merendahkan pihak lain. Allah berfirman:

"Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik..." (QS. Al-Ankabut: 46)

8. Menerapkan prinsip "agree to disagree"

Dalam masalah-masalah khilafiyah yang sulit dicapai kesepakatan, kita bisa menerapkan prinsip "sepakat untuk tidak sepakat" sambil tetap saling menghormati. Imam Syafi'i berkata, "Kita bekerjasama dalam hal-hal yang kita sepakati, dan saling memaafkan dalam hal-hal yang kita perselisihkan."

9. Memprioritaskan kemaslahatan umat

Ketika perbedaan pendapat berpotensi menimbulkan perpecahan, kita perlu mengedepankan kemaslahatan umat yang lebih besar. Kaidah fikih menyebutkan: "Mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan."

10. Meningkatkan ukhuwah Islamiyah

Memperkuat ikatan persaudaraan sesama Muslim dapat meredam potensi konflik akibat perbedaan pendapat. Rasulullah SAW bersabda:

"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, saling menyayangi, dan saling mengasihi adalah seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan demam dan tidak bisa tidur." (HR. Muslim)

Kesalahan Umum dalam Menyikapi Perbedaan

Dalam menyikapi perbedaan pendapat, seringkali terjadi beberapa kesalahan yang justru memperkeruh suasana dan menjauhkan dari solusi. Beberapa kesalahan umum tersebut antara lain:

1. Menganggap pendapat sendiri paling benar

Sikap merasa paling benar sendiri dan menganggap pendapat orang lain pasti salah adalah kesalahan fatal yang sering terjadi. Padahal, Imam Syafi'i berkata, "Pendapatku benar tapi mungkin salah, pendapat orang lain salah tapi mungkin benar." Sikap ini menunjukkan kerendahan hati dan keterbukaan terhadap kemungkinan adanya kebenaran pada pendapat orang lain.

2. Menyalahkan tanpa ilmu

Terkadang orang terburu-buru menyalahkan pendapat orang lain tanpa memiliki pengetahuan yang cukup tentang masalah yang diperselisihkan. Allah berfirman:

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya..." (QS. Al-Isra: 36)

3. Fanatisme berlebihan terhadap tokoh atau mazhab tertentu

Sikap fanatik buta terhadap satu tokoh atau mazhab tertentu sering kali menjadi penghalang untuk menerima kebenaran dari pihak lain. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, "Janganlah engkau taklid kepadaku, kepada Malik, Syafi'i, Al-Auza'i, dan Ats-Tsauri. Tetapi ambillah dari mana mereka mengambil (yaitu Al-Qur'an dan Sunnah)."

4. Mencela dan merendahkan pihak yang berbeda pendapat

Mencela atau merendahkan orang yang berbeda pendapat adalah tindakan yang tidak terpuji dan bertentangan dengan adab Islam. Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain..." (QS. Al-Hujurat: 11)

5. Memperbesar masalah kecil

Terkadang perbedaan dalam masalah-masalah kecil dan tidak prinsipil dibesar-besarkan sehingga menimbulkan perpecahan yang tidak perlu. Padahal Rasulullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal bagi kalian dan membenci tiga hal. Dia meridhai kalian untuk menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, berpegang teguh dengan tali Allah dan tidak berpecah belah..." (HR. Muslim)

6. Memaksakan pendapat kepada orang lain

Memaksakan pendapat kepada orang lain, terutama dalam masalah-masalah khilafiyah, adalah tindakan yang tidak bijaksana. Allah berfirman:

"Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam)..." (QS. Al-Baqarah: 256)

7. Mengkafirkan atau memvonis sesat

Mengkafirkan atau memvonis sesat orang yang berbeda pendapat, terutama dalam masalah-masalah ijtihadiyah, adalah kesalahan besar yang harus dihindari. Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya: 'Wahai kafir', maka ucapan itu kembali kepada salah satu dari keduanya." (HR. Bukhari)

8. Menganggap semua pendapat benar

Di sisi lain, menganggap semua pendapat benar tanpa mempertimbangkan kekuatan dalil juga merupakan kesalahan. Sikap ini bisa mengarah pada relativisme yang berbahaya. Yang benar adalah berusaha mencari pendapat yang paling kuat dalilnya.

9. Mengabaikan konteks

Terkadang orang mengabaikan konteks historis, sosial, dan budaya ketika memahami suatu pendapat atau fatwa ulama. Padahal konteks sangat penting untuk memahami latar belakang dan relevansi suatu pendapat.

10. Menutup diri dari dialog

Menolak untuk berdialog dan bertukar pikiran dengan pihak yang berbeda pendapat adalah sikap yang tidak produktif. Padahal dialog yang sehat bisa menjadi sarana untuk saling memahami dan menemukan titik temu.

Pertanyaan Seputar Perbedaan Pendapat dalam Islam

Berikut beberapa pertanyaan yang sering muncul seputar perbedaan pendapat dalam Islam beserta jawabannya:

1. Apakah perbedaan pendapat dibolehkan dalam Islam?

Jawab: Ya, perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah (yang tidak ada nash yang qath'i tentangnya) adalah hal yang wajar dan dibolehkan dalam Islam. Bahkan, keragaman pendapat bisa menjadi rahmat dan keluasan bagi umat. Yang tidak dibolehkan adalah perbedaan dalam masalah-masalah ushul (pokok) agama yang sudah jelas dan disepakati.

2. Bagaimana cara memilih di antara pendapat-pendapat yang berbeda?

Jawab: Cara terbaik adalah dengan menimbang kekuatan dalil masing-masing pendapat. Jika kita mampu melakukannya sendiri, maka kita bisa memilih pendapat yang menurut kita paling kuat dalilnya. Jika tidak mampu, kita bisa bertanya kepada ulama yang terpercaya dan mengikuti pendapat yang menurut kita paling sesuai dengan kondisi kita.

3. Apakah boleh berpindah-pindah mazhab?

Jawab: Pada dasarnya boleh, selama tidak dilakukan dengan sembarangan atau hanya untuk mencari yang paling mudah (tatabbu' ar-rukhash). Yang terpenting adalah konsisten dalam satu masalah dan tidak mencampur adukkan antar mazhab dalam satu ibadah.

4. Bagaimana sikap kita terhadap orang yang berbeda pendapat dengan kita?

Jawab: Kita harus tetap menghormati dan tidak mencela mereka, terutama jika perbedaan tersebut dalam masalah-masalah ijtihadiyah. Kita boleh mendiskusikan perbedaan tersebut dengan cara yang santun dan ilmiah, namun tidak boleh memaksakan pendapat kita kepada mereka.

5. Apakah perbedaan pendapat bisa menjadi penyebab perpecahan umat?

Jawab: Perbedaan pendapat seharusnya tidak menjadi penyebab perpecahan umat. Justru jika disikapi dengan bijak, perbedaan bisa menjadi rahmat dan memperkaya khazanah pemikiran Islam. Yang menyebabkan perpecahan adalah sikap fanatisme berlebihan dan tidak adanya toleransi terhadap perbedaan.

6. Bagaimana cara menyikapi perbedaan pendapat dalam keluarga atau masyarakat?

Jawab: Cara terbaik adalah dengan saling menghormati dan tidak memaksakan pendapat. Dalam masalah-masalah khilafiyah, kita bisa menerapkan prinsip "sepakat untuk tidak sepakat" (agree to disagree) sambil tetap menjaga persaudaraan dan kerjasama dalam hal-hal yang disepakati bersama.

7. Apakah boleh mengikuti pendapat yang lebih mudah?

Jawab: Pada dasarnya boleh memilih pendapat yang lebih mudah selama pendapat tersebut memiliki dalil yang kuat dan tidak bertentangan dengan ijma' ulama. Namun tidak dibenarkan mencari-cari keringanan semata (tatabbu' ar-rukhash) tanpa mempertimbangkan kekuatan dalil.

8. Bagaimana cara mengetahui pendapat yang paling kuat?

Jawab: Untuk mengetahui pendapat yang paling kuat, kita perlu mempelajari dalil-dalil yang digunakan oleh masing-masing pendapat, memahami argumentasi mereka, dan menimbang mana yang lebih sesuai dengan nash-nash syariat serta maqashid (tujuan) syariah. Jika kita tidak mampu melakukannya sendiri, kita bisa bertanya kepada ulama yang terpercaya.

9. Apakah perbedaan pendapat hanya terjadi di zaman sekarang?

Jawab: Tidak, perbedaan pendapat sudah ada sejak zaman sahabat Nabi SAW. Bahkan, beberapa perbedaan pendapat di kalangan sahabat telah diakui dan dibenarkan oleh Nabi SAW sendiri. Perbedaan pendapat adalah hal yang alamiah dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.

10. Bagaimana cara meminimalisir dampak negatif dari perbedaan pendapat?

Jawab: Beberapa cara untuk meminimalisir dampak negatif perbedaan pendapat antara lain: meningkatkan pemahaman tentang adab berbeda pendapat dalam Islam, mengedepankan dialog dan diskusi ilmiah, fokus pada persamaan daripada perbedaan, menjaga ukhuwah Islamiyah, dan selalu kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah sebagai rujukan utama.

Kesimpulan

Perbedaan pendapat dalam Islam, terutama dalam masalah-masalah ijtihadiyah, adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Keragaman pemahaman ini justru menunjukkan keluasan dan fleksibilitas syariat Islam dalam merespon berbagai konteks dan problematika umat. Namun, perbedaan pendapat ini perlu disikapi dengan bijak agar tidak menimbulkan perpecahan dan permusuhan di kalangan umat Islam.

Beberapa poin penting yang perlu digarisbawahi dalam menyikapi perbedaan pendapat antara lain:

1. Menyadari bahwa perbedaan adalah rahmat dan keniscayaan dalam Islam.

2. Kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah sebagai rujukan utama ketika terjadi perbedaan.

3. Menghormati hasil ijtihad ulama dan tidak fanatik buta terhadap satu pendapat.

4. Menjaga adab dalam berdiskusi dan tidak mencela pihak yang berbeda pendapat.

5. Fokus pada persamaan dan kerjasama dalam hal-hal yang disepakati.

6. Mengedepankan persatuan umat di atas perbedaan pendapat.

7. Memperluas wawasan dan bersikap objektif dalam menilai berbagai pendapat.

8. Menerapkan prinsip "sepakat untuk tidak sepakat" dalam masalah-masalah khilafiyah.

9. Memprioritaskan kemaslahatan umat yang lebih besar.

10. Terus meningkatkan ukhuwah Islamiyah di tengah keragaman pemahaman.

Dengan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip di atas, diharapkan perbedaan pendapat dalam Islam dapat menjadi sarana untuk saling melengkapi dan memperkaya wawasan, bukan menjadi sumber perpecahan. Pada akhirnya, sikap bijak dalam menghadapi perbedaan akan semakin menguatkan persatuan umat dan membuktikan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya