Liputan6.com, New Jersey - Paul James Lioy tak sekedar menjadi saksi mata kepulan debu pekat yang membumbung saat 2 gedung berlantai 110 ambruk dalam serangan teror World Trade Center tanggal 11 September 2001 atau 9/11. Ilmuwan lingkungan itu kemudian menganalisis dampaknya terhadap kesehatan manusia.
Kini, kabar duka datang dari pria kelahiran 1947 itu. Ia meninggal dunia pada usia 68 tahun setelah tiba-tiba kolaps di Bandara Internasional Newark Liberty. Istrinya, Jean Lioy, kepada New York Times mengatakan, penyebab kematian suaminya sejauh ini belum diketahui.
Paul James Lioy pada 2010 mempublikasikan buku berjudul "Dust: The Inside Story of Its Role in the September 11th Aftermath".
Advertisement
Ia kemudian mendapatkan 2 penghargaan seumur hidup: Wesolowski Award dari International Society of Exposure Analysis dan Frank Chambers Award dari the Air and Waste Management Association.
Lioy adalah profesor ilmu kesehatan lingkungan dan kerja di Rutgers University School of Public Health, di mana ia memiliki spesialisasi dalam hal ilmu paparan.
Ia juga menjadi deputi direktur hubungan dengan pemerintah di Fakultas Kesehatan Publik Rutgers University. Dalam hal itu, Lioy memiliki spesialisasi di bidang racun dan polutan yang mempengaruhi kesehatan lingkungan dan kerja.
Lioy menjadi saksi mata kepulan debu 9/11, ketika ia dalam perjalanan pulang ke rumahnya di Cranford, New Jersey. Ia menjadi salah satu ilmuwan pertama yang mengumpulkan sampel dan menguji debu dari lokasi kejadian.
"Karakteristik material yang dilepaskan sungguh kompleks, hal tersebut belum pernah ditemui sebelumnya," kata Lioy kepada USA Today, seperti Liputan6.com kutip dari CNN, Senin (13/7/2015).
'Batuk World Trade Center'
'Batuk World Trade Center'
Mendiang pernah menjelaskan temuannya di situs universitas tempatnya mengajar. Bahwa debu tersebut terkait dengan berbagai masalah kesehatan jangka panjang, gejala yang paling mengkhawatirkan adalah batuk terus-menerus yang tak terduga yang dialami oleh beberapa petugas polisi, warga sekitar, dan kru pemadam kebakaran.
"Dalam 48 jam pertama, pemerintah mengkhawatirkan asbes menjadi ancaman utama (kesehatan)," kata Lioy. Tapi bukan itu sebenarnya. Paparan asbes adalah masakah jangka panjang. Sejak 'batuk World Trade Center' mulai muncul, kami menyadari itu bukan disebabkan oleh asbes."
Menurutnya, ada 3 faktor yang mengakibatkan batuk. Pertama adalah debu semen yang bersifat basa (alkaline). "pH-nya di atas 10 kata dia. Itu menyebabkan iritasi di lapisan paru-paru," kata pria sepuh itu.
Faktor kedua adalah, serat kaca terjebak di saluran pernafasan atas. "Serupa batangan kayu yang berada di aliran air yang sempit, yang menjebak partikel semen dan meningkatkan iritasi." Juga ada partikel yang sangat kasar yang terdiri massa debu dengan kuantitas relatif besar.
Sementara, berdasarkan data yang keluar pada 2011 lalu, lebih dari 18 ribu orang menderita sakit berkepanjangan terkait debu WTC. Penyakit yang umum terjadi berhubungan dengan gangguan saluran pernafasan termasuk asma dan sinusitis. Namun dilaporkan pula terjadi sakit otot dan usus.
Pejabat AS memperingatkan bahwa kemungkinan terjadi kematian lebih awal di antara mereka yang selamat.
Hampir 3.000 orang tewas ketika dua gedung berlantai 110 ambruk namun mereka yang datang menolong juga berpotensi menjadi korban karena menyerap racun. Sebanyak 80.000 orang termasuk petugas pemadam kebakaran, polisi, petugas darurat, kontraktor dan petugas kebersihan diyakini terdampak.
Tidak lama setelah serangan itu orang-orang melaporkan apa yang dikenal sebagai "batuk World Trade Center" namun gejalanya kemudian menjadi lebih serius. (Ein/Mut)
Advertisement